Panji-panji dikibarkan. Sangkakala ditiup. Perang besar pun pecah. Perang saudara yang menurut takdir tidak bisa dihindari oleh kedua pihak. Perang dipentaskan dengan tari-tarian yang gesit, gagah, dan menampilkan keberanian. Kedua belah pihak sama-sama kuat. Semakin hari semakin banyak korban. Banjir darah. Kesedihan. Ketakutan.
Pertarungan sengit terjadi saat Arjuna berhadapan dengan Bhisma. Kakek Pandawa dan Kurawa yang sama-sama mereka hormati. Dia maju membela negara, walaupun tak menginginkan perang. Bhisma berkali-kali memuji kemampuan perang Arjuna. Kemampuan memanah tokoh yang berjuluk Lelananging Jagaddalam pewayangan Jawa. Duryudana pun protes pada kakeknya yang tak kunjung mengalahkan Arjuna. Dia menganggap Bhisma tidak berperang dengan serius.
Tata suara berubah haru walaupun perang sedang berlangsung. Bhisma gugur. Kematian tokoh Mahabharata yang paling mengharukan. Kesatria paling agung dalam Mahabharata gugur di tangan cucunya sendiri. Kawan dan lawan segan pada Bhisma. Saat menjelang kematiannya, kedua pihak mengheningkan cipta. Bahkan dewata di langit pun ikut hening. Keagungan Bhisma tak hanya pada kemampuan perangnya. Jiwa, hati dan hidupnya juga agung.
Seribu anak panah menancap di tubuhnya. Dalam beberapa versi cerita, Bhisma terbaring di atas anak panah yang menancap di punggungnya. Kata-kata terakhirnya adalah “Ini panah Arjuna!” sambil menunjuk anak panah yang menancap tepat di jantungnya.
Kematian Bhisma biasa diceritakan dalam lakon sendiri. Beberapa karya yang saya tahu tentang gugurnya Bhisma yaitu lagu Sujiwo Tejo berjudul “Gugur Bhisma” dan cerpen Yanusa Nugroho berjudul “Setubuh Seribu Mawar”. Dunia berduka. Kesatria berjiwa besar gugur.
Hilang
Secara visual dan kerja keras pemainnya yang merangkap peran memang baik. Namun ada beberapa yang perlu, bisa dikatakan dikritisi. Bahasa dalam pentas Mahabharata di Jawa adalah hal penting. Bahasa Jawa kromo digunakan pada wayangan klasik. Jika tidak, dialog dalam Bahasa Indonesia disusun rapi bahkan puitis. Dalam pentas ini, dialog dilakukan dengan setidaknya enam bahasa yaitu Jawa, Indonesia, Mandarin, Tagalog, Inggris, dan Jepang. Unik memang, namun satu yang menjadi tidak pas adalah tokoh Bhisma yang berlogat mandarin kental namun berbahasa Indonesia. Itu menjadi kelucuan yang seharusnya tidak perlu.
Kematian Bhisma menjadi akhir “Mahabharata Part 3” ini. Ya, cerita masih berlanjut tapi tidak di Indonesia. Perang belum usai. Pentas berskala Internasional ini ditutup dengan adegan seorang raja yang nyaris dijatuhi panah besar. Seperti pada bagian pembuka. Bagi saya, pentas ini menghibur. Dan Indonesia beruntung disinggahi HKBP yang akan berkelana lagi. Beruntung pula mendapatkan adegan gugurnya Bhisma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H