Setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam melihat realitas. Kedudukan berbeda maka pandangan berbeda, tak mungkin sama antara orang seorang bangsawan dan rakyat jelata. Pun akan berbeda jika profesi berbeda. Orang-orang biasa hanya akan melihat kehidupan keseharian yang sederhana. Seorang ilmuwan, berdasarkan data hasil penelitian tentu lebih jauh melihat kehidupan. Begitu juga seniman. Dengan imajinasinya yang memang tajam, mereka lebih jauh mencermati jalannya realitas di sekitarnya.
Seniman dalam karya-karyanya baik berupa untaian-untaian kata, goresan-goresan rupa, gerak-gerak tari, emosi-emosi peran, dan alunan-alunan nada merupakan hasil perenungan dan imajinasi-imajinasi liar dan banal mereka. Dalam karya yang dibuat secara 'serius' bukan tidak mungkin memiliki daya magis dalam melihat realita. Baik mengkritisi, mengapresiasi, atau sekadar menceritakan kembali realita yang ada.
Liar, banal, nakal, invinity dalam memadukan realitas dengan imajinasi adalah ciri yang ada dalam cerpen-cerpen Danarto. Malah kadang di luar akal sehat sampai sulit dimengerti pembaca awam. Sifat-sifat itulah yang menjadikan cerpen-cerpennya berpredikat realisme magis. Jika boleh meminjam istilah yang di dunia internasional melekat pada sastrawan berkebangsaan Colombia, Gabriel Garcia Marquez.
Berasal dari dua tatanan budaya berbeda, Marquez menampilkan kehidupan masyarakat Amerika Latin yang penuh kejutan magis. Danarto tak kalah dalam membawa unsur magis di masyarakat Indonesia, terutama Jawa. Penulis yang lahir di Sragen, Jawa Tengah 76 tahun silam ini banyak bermain pada tataran magisme agama, sufistik, sejarah, folklor, dan adat Jawa.
Magisme di Indonesia memang berkembang sejak lama. Hal yang berusaha dipatahkan oleh setidaknya teori Madilog-nya Tan Malaka. Namun, tak mudah. Kombinasi antara kepercayaan agama yakni pada Tuhan, roh nenek moyang, dewa-dewa, dan makhluk halus nyatanya masih ada hingga zaman ini. Sesuatu yang bisa disebut tatanan budaya ini, di Jawa sendiri merupakan warisan Hindu, Budha, dan Islam yang secara beruntun masuk ke Jawa. Saling meleburkan kegiatan, kepercayaan, upacara, dan filsafat masing-masing hingga menjadi agama dan kepercayaan dengan rasa Indonesia. Beragam ilmu di luar itu juga menjadi rujukan masyarakat Jawa. Misalnya ilmu kejawen atau ilmu kebatinan yang juga jadi rujukan bagi sufisme selain ilmu agama.
Danarto yang sejak kecil hidup di lingkungan Kejawen yang kental, membuat karya-karyanya pun saling berkelindan antara yang real dan sureal, antara yang nyata dan tidak nyata, saling jalin menjalin seolah tak ada batasan. Kentalnya kepercayaan magis yang melekat di realita kehidupan, bahkan di zaman modern itulah yang dipotret Danarto dalam cerpen-cerpennya. Tentu dengan bumbu imajinasi yang tinggi. Jika tidak, bagaimana bisa Danarto menyatakan kalau malaikat Jibril adalah malaikat pengangguran karena zaman sekarang sudah tidak ada Nabi yang perlu diberikan wahyu. Beberapa cerpen yang menggugah nalar itulah yang menjadi bahan 'garapan' Mimbar Teater Indonesia ke-5 (MTI). Bertajuk 'Panggung Realisme Magis Cerpen-cerpen Danarto', mereka memanggungkan cerpen-cerpen Danarto dalam bentuk monolog.
Saya hanya sempat menyaksikan pentas pada hari terakhir. Malam itu sebagai malam penutup, menampilkan pentas Menjaring Malaikat oleh Jamaluddin Latif, Abrakadabra oleh Ade Ceguuk, dan Rintrik oleh Ida Ayu Putu Bulan. Ketiga pentas tersebut diadaptasi dari cerpen Danarto berjudul 'Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat', 'Rintrik', dan 'Abracadabra'. Dari ketiganya, yang mudah dimengerti jalan ceritanya bagi saya sendiri adalah 'Menjaring Malaikat'.
Mengusik
Pentas malam itu berlangsung di suasana yang dingin selepas hujan mengguyur Solo. 'Menjaring Malaikat' menampilkan cerita yang mengusik tatanan baku keagamaan. Agama yang sakral dan tabu untuk dibuat bercanda, malah setidaknya bisa sesekali mengundang tawa. Bagaimana tidak, cerita itu menceritakan Malaikat Jibril, tukang kebun, anak-anak sekolah, dan seorang guru yang kolot. Semuanya diperankan oleh Jamaluddin Latif dengan apik.
Menanyakan apa kegiatan malaikat di langit pada seorang guru ngaji tentu akan dijawab bahwa mereka hanya beribadah. Namun tidak dalam cerita ini. Jibril di sini adalah malaikat pengangguran. Tak ada wahyu yang harus disampaikan lagi karena Nabi Muhammad ditetapkan sebagai nabi akhir zaman. Sama halnya dengan malaikat Israfil yang belum waktunya meniup sangkakalanya. Jibril adalah malaikat pengangguran.
Untuk mengisi waktu luang itulah Jibril turun ke bumi dan ingin bermain bersama anak-anak sekolah dasar. Di daerah yang merupakan bagian dari negara yang bisa dibilang korup itulah ia menjatuhkan genting sekolah dan membuat hujan hanya pada genting yang bolong. Anak-anak yang ketakutan dan berhamburan keluar kelas disambut tawa geli sang ketua malaikat.
Anak-anak dan si tukang kebun berkumpul mengelilingi jaring. Jibril pun sengaja memerangkapkan dirinya pada jaring dan bernyanyi bersama anak-anak. Namun keinginan si tukang kebun agar Jibril tetap tinggal dan menuntaskan korupsi di negerinya tidak terwujud. Sepertinya memang dosa korupsi di negeri si tukang kebun adalah dosa manusia yang hanya bisa diselesaikan oleh manusia sendiri. Bahkan malaikat pun enggan menyentuhnya. Menjijikkan bagi malaikat yang suci.
Di ujung cerita, malaikat Jibril meninggalkan sebuah layang-layang yang menggantung di langit. Siapa pun boleh berusaha mengambil layang-layang itu atau meninggalkannya. Siapa pun boleh saja mendapat 'wahyu' atas usahanya atau mendiamkannya saja. Jibril pergi dan pentas selesai.
Pentas selanjutnya adalah Rintrik yang menceritakan tentang seorang renta dan buta penggali kubur di lembah yang seram karena banyak bayi-bayi hasil hubungan gelap dibuang di sana. Ida Ayu Putu Bulan dengan dewasa berperan sebagai seorang gadis yang sempat dibuang di lembah itu namun tidak dikubur dan tumbuh besar. Dia juga berperan menjadi ayah si gadis. Seorang pemburu yang berkuasa dan pongah di lembah itu.
Pentas ditutup dengan Abrakadabra yang bagi saya abstrak dan tidak bisa dimengerti. Panggung yang penuh kertas aluminium berwarna perak memantulkan cahaya lampu sorot pada layar latar. Seorang anak di tengahnya mengaji, berputar-putar di panggung, dan bercakap-cakap sendiri. Entah apa maksudnya, yang jelas pentas ketiga ini penonton dibuat sedikit tak sabar karena menata ulang panggungnya memakan waktu lebih lama dari pentasnya. Karya ketiga ini sepertinya memberi ruang pada rupa, instalasi dan stage art dibanding ceritanya.
Mimbar Teater Indonesia yang telah berlangsung sejak tahun 2009 berangkat dari pencarian masalah yang menyebabkan stagnansi teater modern selama satu dekade terakhir. Para penggagas sepertinya berusaha mencari solusi dari masalah tersebut dengan mengeksplorasi teater yang dipentaskan setiap tahunnya. Dan tahun ini, di serinya yang ke-5, MTI menarik perhatian penikmat teater di Solo dengan imajinasi magis Danarto dalam melihat realita sosial di sekitarnya sepanjang ia berkarya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H