Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Imajinasi Danarto yang Menitis pada Panggung Monolog

29 September 2016   11:10 Diperbarui: 25 November 2016   14:10 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jamluddin Latif dan jaring untuk Malaikat dalam lakon

Lakon
Lakon
Jamaluddin kemudian berganti peran menjadi tukang kebun dan pak guru yang kolot. Tukang kebun yang muak menonton berita korupsi di negaranya dan berharap turunnya ratu adil, Satria Piningit, Nabi Isa, atau siapa pun dari langit agar bisa membereskan semuanya. Si tukang kebun yang diminta membereskan genting yang rusak merasa heran karena tidak ada apa-apa. Namanya malaikat, tentu kekuatan magisnya dimainkan. Singkat cerita si tukang kebun diweruhi tanda-tanda adanya malaikat di sekolah tersebut. Karena ingin membuktikan pada pak guru dan anak-anak, si tukang kebun membuat jaring yang diharap bisa menjaring Jibril.

Anak-anak dan si tukang kebun berkumpul mengelilingi jaring. Jibril pun sengaja memerangkapkan dirinya pada jaring dan bernyanyi bersama anak-anak. Namun keinginan si tukang kebun agar Jibril tetap tinggal dan menuntaskan korupsi di negerinya tidak terwujud. Sepertinya memang dosa korupsi di negeri si tukang kebun adalah dosa manusia yang hanya bisa diselesaikan oleh manusia sendiri. Bahkan malaikat pun enggan menyentuhnya. Menjijikkan bagi malaikat yang suci.

Di ujung cerita, malaikat Jibril meninggalkan sebuah layang-layang yang menggantung di langit. Siapa pun boleh berusaha mengambil layang-layang itu atau meninggalkannya. Siapa pun boleh saja mendapat 'wahyu' atas usahanya atau mendiamkannya saja. Jibril pergi dan pentas selesai.

Pentas selanjutnya adalah Rintrik yang menceritakan tentang seorang renta dan buta penggali kubur di lembah yang seram karena banyak bayi-bayi hasil hubungan gelap dibuang di sana. Ida Ayu Putu Bulan dengan dewasa berperan sebagai seorang gadis yang sempat dibuang di lembah itu namun tidak dikubur dan tumbuh besar. Dia juga berperan menjadi ayah si gadis. Seorang pemburu yang berkuasa dan pongah di lembah itu.

Pentas ditutup dengan Abrakadabra yang bagi saya abstrak dan tidak bisa dimengerti. Panggung yang penuh kertas aluminium berwarna perak memantulkan cahaya lampu sorot pada layar latar. Seorang anak di tengahnya mengaji, berputar-putar di panggung, dan bercakap-cakap sendiri. Entah apa maksudnya, yang jelas pentas ketiga ini penonton dibuat sedikit tak sabar karena menata ulang panggungnya memakan waktu lebih lama dari pentasnya. Karya ketiga ini sepertinya memberi ruang pada rupa, instalasi dan stage art dibanding ceritanya.

Mimbar Teater Indonesia yang telah berlangsung sejak tahun 2009 berangkat dari pencarian masalah yang menyebabkan stagnansi teater modern selama satu dekade terakhir. Para penggagas sepertinya berusaha mencari solusi dari masalah tersebut dengan mengeksplorasi teater yang dipentaskan setiap tahunnya. Dan tahun ini, di serinya yang ke-5, MTI menarik perhatian penikmat teater di Solo dengan imajinasi magis Danarto dalam melihat realita sosial di sekitarnya sepanjang ia berkarya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun