Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pabrik-pabrik Kopi di Bandung yang Kini Telah Senja

2 Agustus 2016   13:52 Diperbarui: 2 Agustus 2016   14:43 2201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toko Kopi Javaco. Tampak segar namun sepi. (Dok. Pribadi)

Kawula muda dan Kota Bandung memang menjadi dua entitas yang berkaitan erat. Spirit dan gairah muda-mudinya seperti air yang menyirami kembang-kembang di kota ini. Menjadikannya dinamis, kreatif, dan penuh optimisme melangkah ke depan. Semangat setiap individu dengan idenya masing-masing tentu harus dikomunikasikan untuk menghasilkan kolaborasi positif dalam berkarya. Di situlah mereka akan berkumpul, mengobrol, dan bagi yang bobot obrolannya soal ide dan visinya, tak mustahil karya akan lahir dalam satu malam.

Wadah-wadah perkumpulan itulah yang juga turut hadir salah satunya berupa café-café modern. Rata-rata café memang menyediakan kopi, karena “café” sendiri dalam bahasa Perancis berarti “kopi”. Kopi seolah mempunyai daya magis untuk mengundang orang-orang berkumpul. Dan budaya ngopi inilah yang juga merupakan sarana bertukar pikiran. Di café-café modern, penyajian menu-menu kopi dan turunannya sudah mirip seperti ritual sakral. Mereka mengemas kopi tak hanya sebagai biji yang digiling lalu diseduh air panas. Mereka juga menjual proses pengolahan kopi, alat-alatnya, dan aromanya hingga terhidang di meja-meja menemani cemilan, live music, sinyal wifi, diskusi-diskusi, bahkan hingga pengunjung jomblo yang sedang sendirian.

Namun, fenomena ini bukan hal baru. Kopi seperti halnya dengan budaya ngumpul, sudah ada dan diproduksi jauh sebelum generasi penikmat proses penyajian kopi a la café ini lahir. Kopi yang sebenarnya adalah tanaman dari daratan Afrika datang ke Indonesia dibawa oleh Belanda. Bermula dari situlah beragam penelitian dan pembudidayaan kopi, terutama di Jawa, menjadikan kopi salah satu saksi eksploitasi tanah subur Indonesia oleh penjajah Belanda. Kopi dari Indonesia, yang dulu dikenal dengan Java Coffee konon turut menjadikan Belanda pemasok kopi terbesar di dunia sekitar abad ke-17.

Bandung memang tidak memiliki brand “Kopi Bandung” seperti yang ada di beberapa daerah di Indonesia, misalnya Kopi Flores, Kopi Gayo, Kopi Toraja, dan Kopi Bali Kintamani. Tetapi bukan berarti Bandung tidak andil dalam komoditi ini. Alih-alih memberi label Kopi Bandung, pabrik-pabrik kopi kecil dan sekarang sudah berusia senja, menjadi label yang menunjukkan industri kopi juga ada di sini. Setidaknya ada tiga nama yang masih hadir dari generasi ke generasi di Kota Kembang ini.

Malabar

Bukan area Pegunungan Malabar yang terkenal sebagai penghasil kopi dari Bandung daerah selatan. Pabrik Kopi berskala kecil ini ada di antara deretan toko-toko di Jalan Gardujati. Kawasan kuno ini termasuk kawasan pecinan di Bandung. Khas sekali layaknya pecinan di kota-kota seperti Jakarta. Toko berderet di mana-mana. Di sanalah, sebuah bangunan putih tampak tertutup tak berpenghuni dan minim perawatan. Pintunya besi berwarna cokelat kusam, dengan jendela gelap berdebu dan satu tanda bertuliskan “Kopi Malabar”.

Saya sempat ragu karena sepertinya tutup. Tapi karena sudah telanjur sampai, saya beranikan mengetuk pintu besinya. Ternyata berhasil. Seorang bapak-bapak Tionghoa membukakan pintu dan tampak bingung. Langsung saya bilang ingin membeli kopi, kemudian bapak yang tampak berusia 40 tahunan ini mempersilakan masuk. Pintu ditutup kembali. Pabrik kopi ini ternyata memang masih beroperasi namun tidak dipublikasikan.

Usang dan tak terawat, Pabrik Kopi Malabar (Dok. Pribadi)
Usang dan tak terawat, Pabrik Kopi Malabar (Dok. Pribadi)
Bapak penjual itu sebenarnya ramah namun malu-malu sehingga tidak mau dipotret. Tuanya bangunan di luar semakin terasa saat berada di dalam. Selain bau kopi yang menyengat dan alat penggiling kopi kuno, ruangan ini tak tampak seperti tempat berjualan kopi. Berantakan dengan tumpukan koran-koran dan kertas-kertas usang di mana-mana.

Kejayaan toko kopi ini tampaknya memang sudah habis. Generasi ketiga yang sekarang “mengelola”, seperti generasi pewaris sisa-sisa Pabrik Kopi Malabar. Saya membeli 250 gram biji kopi arabika yang diambilkannya dari kaleng penyimpanan dan ditimbang pada timbangan kuno. Saat ditanya soal seberapa besar pabrik kopi ini, si bapak hanya menjawab ramah dan merendah, “Ah, itu dulu. Sekarang sudah enggak.”

Javaco

Masih di kawasan pecinan, kali ini di tepi Jalan Kebonjati. Tepatnya nomor 69. Dialah Liem Kiem Gwan, warga Tionghoa yang merantau dari Malang ke Bandung dan memulai usaha Kopi Javaco Bandung ini pada tahun 1928. Mewariskan Kopi Javaco hingga hari ini kepada cucu-cucunya. Sebuah bangunan tua berlantai dua dengan dominasi warna putih dan hijau pada kusennya merupakan Toko Kopi Javaco. Tidak ada tulisan atau papan nama, namun mudah ditemukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun