Kawula muda dan Kota Bandung memang menjadi dua entitas yang berkaitan erat. Spirit dan gairah muda-mudinya seperti air yang menyirami kembang-kembang di kota ini. Menjadikannya dinamis, kreatif, dan penuh optimisme melangkah ke depan. Semangat setiap individu dengan idenya masing-masing tentu harus dikomunikasikan untuk menghasilkan kolaborasi positif dalam berkarya. Di situlah mereka akan berkumpul, mengobrol, dan bagi yang bobot obrolannya soal ide dan visinya, tak mustahil karya akan lahir dalam satu malam.
Wadah-wadah perkumpulan itulah yang juga turut hadir salah satunya berupa café-café modern. Rata-rata café memang menyediakan kopi, karena “café” sendiri dalam bahasa Perancis berarti “kopi”. Kopi seolah mempunyai daya magis untuk mengundang orang-orang berkumpul. Dan budaya ngopi inilah yang juga merupakan sarana bertukar pikiran. Di café-café modern, penyajian menu-menu kopi dan turunannya sudah mirip seperti ritual sakral. Mereka mengemas kopi tak hanya sebagai biji yang digiling lalu diseduh air panas. Mereka juga menjual proses pengolahan kopi, alat-alatnya, dan aromanya hingga terhidang di meja-meja menemani cemilan, live music, sinyal wifi, diskusi-diskusi, bahkan hingga pengunjung jomblo yang sedang sendirian.
Namun, fenomena ini bukan hal baru. Kopi seperti halnya dengan budaya ngumpul, sudah ada dan diproduksi jauh sebelum generasi penikmat proses penyajian kopi a la café ini lahir. Kopi yang sebenarnya adalah tanaman dari daratan Afrika datang ke Indonesia dibawa oleh Belanda. Bermula dari situlah beragam penelitian dan pembudidayaan kopi, terutama di Jawa, menjadikan kopi salah satu saksi eksploitasi tanah subur Indonesia oleh penjajah Belanda. Kopi dari Indonesia, yang dulu dikenal dengan Java Coffee konon turut menjadikan Belanda pemasok kopi terbesar di dunia sekitar abad ke-17.
Bandung memang tidak memiliki brand “Kopi Bandung” seperti yang ada di beberapa daerah di Indonesia, misalnya Kopi Flores, Kopi Gayo, Kopi Toraja, dan Kopi Bali Kintamani. Tetapi bukan berarti Bandung tidak andil dalam komoditi ini. Alih-alih memberi label Kopi Bandung, pabrik-pabrik kopi kecil dan sekarang sudah berusia senja, menjadi label yang menunjukkan industri kopi juga ada di sini. Setidaknya ada tiga nama yang masih hadir dari generasi ke generasi di Kota Kembang ini.
Malabar
Bukan area Pegunungan Malabar yang terkenal sebagai penghasil kopi dari Bandung daerah selatan. Pabrik Kopi berskala kecil ini ada di antara deretan toko-toko di Jalan Gardujati. Kawasan kuno ini termasuk kawasan pecinan di Bandung. Khas sekali layaknya pecinan di kota-kota seperti Jakarta. Toko berderet di mana-mana. Di sanalah, sebuah bangunan putih tampak tertutup tak berpenghuni dan minim perawatan. Pintunya besi berwarna cokelat kusam, dengan jendela gelap berdebu dan satu tanda bertuliskan “Kopi Malabar”.
Saya sempat ragu karena sepertinya tutup. Tapi karena sudah telanjur sampai, saya beranikan mengetuk pintu besinya. Ternyata berhasil. Seorang bapak-bapak Tionghoa membukakan pintu dan tampak bingung. Langsung saya bilang ingin membeli kopi, kemudian bapak yang tampak berusia 40 tahunan ini mempersilakan masuk. Pintu ditutup kembali. Pabrik kopi ini ternyata memang masih beroperasi namun tidak dipublikasikan.
Kejayaan toko kopi ini tampaknya memang sudah habis. Generasi ketiga yang sekarang “mengelola”, seperti generasi pewaris sisa-sisa Pabrik Kopi Malabar. Saya membeli 250 gram biji kopi arabika yang diambilkannya dari kaleng penyimpanan dan ditimbang pada timbangan kuno. Saat ditanya soal seberapa besar pabrik kopi ini, si bapak hanya menjawab ramah dan merendah, “Ah, itu dulu. Sekarang sudah enggak.”
Javaco
Masih di kawasan pecinan, kali ini di tepi Jalan Kebonjati. Tepatnya nomor 69. Dialah Liem Kiem Gwan, warga Tionghoa yang merantau dari Malang ke Bandung dan memulai usaha Kopi Javaco Bandung ini pada tahun 1928. Mewariskan Kopi Javaco hingga hari ini kepada cucu-cucunya. Sebuah bangunan tua berlantai dua dengan dominasi warna putih dan hijau pada kusennya merupakan Toko Kopi Javaco. Tidak ada tulisan atau papan nama, namun mudah ditemukan.
Tokonya masih beroperasi dan pintunya terbuka. Nuansa tempo dulu akan terasa di dalam toko. Barang-barang lama tampak asli, terawat, dan dipertahankan. Furnitur kayu yang kokoh dan kaku, vespa kuno, penggilingan kopi kuno, dan penyaji kopi elektrik berbahasa Belanda yang juga kuno.
Dikemas dengan kertas cokelat bergambar toko tersebut di masa lalu, jenis kopi, alamat, izin Depkes, dan merek “Javaco Koffie”, memperlihatkan bahwa Javaco adalah kopi yang telah ada sejak lama. Jauh sebelum kemasan kopi yang bervariasi dengan beragam fitur seperti zipper dan valve digunakan. Beberapa pembeli juga masih setia berkunjung ke sini saat stok kopi mereka habis. Karena selera kopi masa lalu kadang tak tergantikan oleh kopi-kopi yang ada sekarang.
Aroma
Berbeda dengan kedua “teman seangkatannya”, Kopi Aroma menjadi yang melegenda dan eksis hingga sekarang. Tampaknya juga akan tetap eksis hingga nanti karena publikasi yang luas dan labelnya sebagai “Kopi Bandung Tempo Dulu” yang tersohor. Tak hanya di Bandung, tapi hingga daerah lain di Pulau Jawa. Jika mencari kopi bandung, bisa berarti adalah Kopi Aroma.
Pabrik sekaligus tokonya terletak di Jalan Banceuy Nomor 51. Jalan yang cukup bersejarah karena Penjara Banceuy pernah “didiami” Presiden Soekarno dan berada di kawasan kota tua Bandung, yaitu Asia Afrika dan Braga. Tempatnya berada di kawasan pertokoan yang didominasi alat-alat teknik dan elektronik. Di sudut perempatan itulah pengunjung terlihat mengular hingga keluar toko. Saya berkunjung pada pagi hari sekitar pukul sembilan.
Bangunannya tua khas Belanda dan ada tulisan “Aroma Paberik - Kopi” dengan ejaan lama. Dindingnya seolah dibuat dari cerita perjalanan panjang sebuah pabrik kopi yang didirikan Tan Houw Sian sejak tahun 1930. Benda-benda yang digunakan juga mengukuhkan ketuaan pabrik kopi ini. Berdasarkan info penjualnya, biji kopi di pabrik ini disimpan selama delapan tahun untuk arabika, dan lima tahun untuk robusta. Hal itulah yang menurunkan tingkat keasaman kopi yang bagi beberapa orang menjadi kendala dalam menikmati secangkir kopi hitam nan beraroma.
Pembelinya ada yang kembali menjual kopi ini sebagai oleh-oleh khas Bandung. Ya, pabrik kopi ini memang masih cukup besar untuk memasok kopi bagi para reseller. Kemasan berupa goodie bag yang dijual terpisah untuk ukuran besar seperti satu kilogram juga menambah daya tarik. Kopi Aroma dan perjalanannya saat ini menjadi signature kopi legenda asal tanah Pasundan.
Di tengah ratusan café dan ribuan barista yang tersebar di Bandung, ada kopi-kopi yang tetap bertahan dalam kesederhanaannya. Dinikmati orang-orang sederhana dengan cara yang sederhana. Tak perlu uang yang mahal di tempat yang cozy, minum kopi adalah soal rasa, aroma, dan selera. Tak perlu espresso, latte art, atau gelas-gelas modern, kopi-kopi tua di Bandung tentu menyimpan cerita tersendiri di kota yang memiliki sejarah dan kenangan panjang tempo doeloe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H