[caption caption="Savana Bekol (Dok. Pribadi)"][/caption]Kereta saya baru saja bertolak dari stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Kereta pertama dari tiga kereta yang akan saya tumpangi menuju kota paling timur Pulau Jawa, Banyuwangi. Kota yang menurut legenda lahir dari penyesalan seorang Raja bernama Raja Banterang. Sang Raja yang menuduh istrinya berbuat salah hingga kemudian membunuh istrinya. Sebelum mati, istrinya berujar bahwa jika air tempatnya ditenggelamkan menjadi wangi, itu artinya dia tidak bersalah. Benar saja, air sungai menjadi wangi. Air wangi dalam bahasa Jawa adalah banyu wangi.
Kereta yang saya tumpangi ini menuju ke Semarang. Rehat sejenak sebelum dilanjutkan menuju Surabaya. Stasiun Pasar Turi. Pertama kali saya menginjakkan kaki di ibu kota Jawa Timur ini. Nuansa baru memasuki otak saya. Sambil menunggu kereta menuju Banyuwangi, kantor pengurus Tugu Pahlawan menjadi tempat saya melepas lelah. Hingga tiba jam 22.00 saya terlelap di kereta menuju Banyuwangi. Lelah.
Stasiun Karangasem Banyuwangi. Matahari belum juga terbit, angin masih genit menggigit, ayam jantan masih mengumpulkan nyawa untuk berkokok. Stasiun itu terasa suwung walaupun banyak penjemput dan penjaja angkutan saat kereta saya tiba. Namun, kehangatan sambutan kota ini mulai terasa saat Mas Rahmat Mayhesa, pengelola Rumah Singgah Banyuwangi yang letaknya tak jauh dari pintu masuk stasiun, mempersilakan saya masuk ke salah satu kamar untuk beristirahat. Rumah singgah yang cukup terkenal di media sosial di kalangan backpacker ini menjadi pintu gerbang bagi para pejalan yang menuju Banyuwangi.
[caption caption="Kawah Ijen, Pesona Banyuwangi (Dok. Pribadi)"]
Keakraban, kesederhanaan, ketulusan, dan keceriaan tumpah ruah di teras rumah sederhana tersebut keesokan harinya. Mas Rahmat, begitu biasanya dia dikenal, sangat welcome pada para pejalan. Tak ada sungkan, juga tak terlihat seperti pengusaha homestay, karena memang Rumah Singgah ini gratis. Dia menjadi teman dan pemandu bagi siapapun yang ingin menikmati kotanya. Kita bisa berbincang, merokok, minum kopi hingga begadang sambil bertukar cerita klenik bersama.
Rumah singgah ini memang disediakan atas dasar sukarela bagi pejalan pencari murah. Namun, dengan jaringannya, Mas Rahmat juga menyediakan guide lokal terutama untuk para wisatawan mancanegara. Jangan salah, ada rombongan bule Prancis yang singgah di rumah itu juga. Tak perlu menunggu pemerintah memajukan wisata, Mas Rahmat berhasil menunjukan konsistensinya memajukan kotanya dengan caranya sendiri.
Senja
Dengan motor sewaan, saya menyusuri sudut kota Banyuwangi. Mencoba kulinernya, Nasi Tempong yang super murah dan pedas. Dan merekam suasana kota yang asri dan tenang. Tujuan saya adalah Taman Nasional Baluran (Baluran). Karena waktu yang paling tepat adalah sore hari, maka selepas tengah hari saya baru menuju kesana. Menunggu senja di Little Africa in Java ini.
Teriknya kawasan pinggir laut Banyuwangi mulai padam. Matahari yang bersinar lebih lama tahun ini mulai condong. Saya tiba di pintu masuk Baluran. Masih ada 20 km perjalanan lagi, menyusuri jalanan rusak, menuju savanna bekol. Ikonnya Baluran.
Saat itu pertengahan Oktober, pohon-pohon tampak kering di sepanjang jalan. Rawan sekali terbakar. Rantingnya rapuh dan kering, sesekali patah tertiup angin kemarau. Kesabaran dan kehati-hatian berkendara akhirnya membawa saya tiba di hamparan tanah lapang luas dan pecah-pecah.
[caption caption="Banteng Jawa sedang Berendam (Dok. Pribadi)"]
Rumputnya yang jarang dan menguning memenuhi frame pengelihatan saya. Tampak pohon yang sepi tanpa daun yang jaraknya berjauhan. Savana bekol di musim kemarau. Membawa imajinasi pada hutan liar di Benua Hitam.
Sore itu, tampak seekor banteng jawa sedang berendam di kubangan lumpur. Monyet-monyet bermain dan iseng mengerjai para pengunjung. Lincah, mereka berlarian, berkejaran. Rusa-rusa malu-malu di dalam hutan. Dan keindahan sore menjadi lengkap saat seekor merak jantan keluar dari hutan.
Menunggu senja saya lakukan di atas menara pandang. Myaksikan keseluruhan Baluran yang luas. Seorang bule asal Prancis tampak terpukau. Saat saya tanya, dia telah sembilan hari di Banyuwangi. “I love the beautifulness of this city. Amazing nature.” katanya.
Saya ikut menikmati mentari yang perlahan pulang. Walaupun terhalang bukit, namun senja tetap menyajikan renungan. Renungan akan alam yang indah dan perlahan sunyi. Hewan-hewan liar yang hidup bebas dan hanya tunduk pada rantai makanan. Dan segala misteri sampai kapan keindahan ini akan tetap utuh.
Fajar
Fajar adalah semangat. Semangat pagi. Layaknya sapaan HRD di kantor. Tapi saya memang bersemangat untuk menyambut pagi di Kawah Ijen. Masih pukul 2 dini hari, motor saya sudah melaju menembus sunyinya jalanan. Sesekali terlihat warga yang sudah terjaga atau belum terlelap. Hening. Dingin.
Tapi di tengah gelapnya malam, saya bisa merasakan indahnya pemandangan di sepanjang jalan. Kebun kopi, kebun cengkeh, kanopi pohon-pohon rindang semua tertata rapi. Disinari jutaan bintang di langit cerah. Saat hari terang nanti, keindahan dan kehijauan akan terlihat jelas. Dingin pun sedikit hilang oleh kekaguman.
Sayang sekali. Blue fire yang menjadi ikon Ijen sedang tidak dapat dilihat. Ada gas beracun yang muncul pada malam hingga dini hari. Demi keselamatan ratusan pengunjung dari dalam dan luar negeri yang jumlahnya hampir sama satu sama lain, pendakian baru di buka pukul 4 pagi. Dan batas blue fire juga jam 4. Jadi mustahil mendapat blue fire.
[caption caption="Semangat Bapak Penambang Belerang (Dok. Pribadi)"]
Namun, semangat tetap tidak padam. Dua jam pendakian saya lalui. Jalanan berdebu parah cukup menyulitkan. Terlihat banyak sekali bule berkunjung ke Ijen. Tidak hanya Ijen, di Banyuwangi memang banyak sekali turis asing. Wisata dan festivalnya memang sedang menjadi primadona kota berjuluk Sunrise of Java ini.
Ah berbicara semangat dalam pendakian ijen, saya harus berkaca pada semangat para penambang belerang yang terkenal di sana. Lelaki-lelaki paruh baya ini dengan semangat naik turun gunung ijen dua kali sehari sambil memikul sekitar 70 kg belerang. Luar biasa. Harga perkilonya hanya sekitar 1100 rupiah. Tapi, ditengah beratnya beban yang harus mereka pikul, masih ada tawa riang di sela-sela istirahat mereka. Menyapa dan terkadang menggoda para pengunjung.
Di puncak. Tanah kuning terhampar menggunung. Berundak dan cekung di bagian kawahnya. Biru. Air di kawahnya begitu tenang. Di bawah kawah itulah penambang menggantungkan semangat hidupnya. Di sana pula lah sumber kematian yang paling dekat dengan penambang. Gas beracun tanpa kabar bisa muncul. Paru-paru mereka mungkin juga sudah sekuning warna belerang. Dan pundak mereka sudah cukup kuat menahan beban yang berat.
Senja adalah renungan. Fajar adalah semangat. Porsi yang seimbang dalam menadalami makna dua waktu berbeda itu, akan menyeimbangkan hidup. Terlalu semangat tanpa renungan membuat kita salah jalan. Terlalu merenung tanpa semangat hanya menjadikan kita jadi pemurung. Berkacalah saya pada alam yang sunyi di Baluran dan penambang yang hebat di Ijen. Namun, bagaimana negeri ini dan pemimpinnya? Apa sudah semangat dan merenung. Mungkin terlalu semangat dan kurang merenung di kala senja karena jalan yang salah banyak di tempuh pemimipin negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H