Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ubud dan Ruang Imajinya

14 November 2015   23:36 Diperbarui: 15 November 2015   06:55 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya seni adalah buah dari keindahan pikiran penciptanya. Semakin tinggi keindahan pikiran mereka, semakin indah pula hasil karya mereka. Imajinasi akan keindahan hidup yang melayang bebas, lepas, dan tanpa batas akan dengan cepat bertemu dengan daya magis Sang Maha Artistik. Sang Hyang Widhi yang bermanifestasi pada sosok Dewi Saraswati. Dewi dalam agama Hindu yang digambarkan sedang membawa sitar ini adalah Dewi Ilmu Pengetahuan dan Kesenian.  Sedikit saja daya cipta Dewi Saraswati merasuki jiwa para seniman, maka keindahan akan tercipta. Lukisan, musik, ukiran, tari, dan seni-seni yang lain akan lahir.

Setiap sendi kehidupan masyarakat Bali adalah bentuk peribadatan dan persembahan bagi dewa-dewi. Tak terkecuali saat berkesenian. Artinya mereka sedang memberikan persembahan bagi Dewi Saraswati. Falsafah itu bermakna bahwa kehidupan beragama tidak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari mereka. Seni dan budaya memang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Bali. Beragam keindahan karya seninya lah yang dapat menarik jutaan wisatawan untuk berkunjung ke Bali.

[caption caption="Barang Seni di Ubud"][/caption]

Untuk kedua kalinya saya berkunjung ke Ubud. Daerah di Bali yang menjadi pusat keindahan karya seni dan budaya Bali. Seniman biasanya melahirkan karya-karyanya di sebuah ruangan pribadi yang hening, tenang, dan suwung. Mencari inspirasi dalam keheningan suasana. Berdamai dengan emosi, meredam logika yang meluap-luap.

Sunyata, kekosongan yang pernah dicapai Sang Budha dalam pertapaannya. Saat mencapai titik itulah daya cipta Sang Maha akan merasuki jiwa para seniman. Dari pikiran yang kosong, kemudian diisi dengan keindahan. Kreatifitas pun muncul. Dari ruang kerja para seniman yang berupa kamar atau salah satu sudut ruang di rumah mereka yang nyaman, karya-karya itu lahir.

Namun, bagaimana jika ruang kerja seni tersebut adalah sebuah daerah atau desa? Ya, itulah Ubud. Sebuah daerah yang bukan saja menjadi ruang bagi para seniman, tapi menjadi ruang bagi Dewi Saraswati menghiasi kanvas tanah Bali.

Rupa

Di Ubud, semua yang saya lakukan menciptakan ruang imajinasi tersendiri. Imajinasi yang muncul dari ketenangan. Imajinasi akan sebuah karya. Di sepanjang jalannya, berderet toko-toko kerajinan. Dari kerajinan yang berupa pajangan, hingga yang memiliki nilai guna seperti baju dan furniture. Sebuah bangunan besar dengan ciri khas Bali berdiri di tengah pusat keramaian. Puri Saren Agun. Di sekitar bangunan itu, setiap malam dipentaskan pertunjukan tari. Tari Kecak Api dan Tari Barong salah duanya. Hiruk pikuk perniagaan barang seni adalah ciri khas Ubud di siang hari.

[caption caption="Kanvas pada Alam. Tegalalang, Ubud."]

[/caption]Tetapi jangan harap keramaian itu ditemukan di malam hari. Sebuah peraturan tak tertulis mengajurkan toko untuk tutup sekitar pukul sembilan malam, hanya penjual makanan dan mini market yang buka. Kesunyian malam itu mungkin diperuntukan bagi para pekerja seni untuk kembali ke atelir (galeri) masing-masing untuk berimajinasi dan kembali berkarya. Satu lagi yang menarik dari kesunyian malam di Ubud adalah keamanan. Warga dan pelancong tanpa was-was hanya membiarkan sepeda motor mereka diparkir di pinggir jalan sepanjang malam. Kabarnya, hal itu sudah biasa. Dan mereka tidak pernah kehilangan.

Kanvas

Pada 1952 salah satu maestro seni rupa, Antonio Blanco menjatuhkan hatinya pada desa dengan sawah hijau permainya, Ubud. Dia menetap dan menikahi seorang perempuan Bali, Ni Ronji. Wanita Bali banyak tertuang pada kanvasnya sebagai buah imajinasinya. Tubuh wanita (Bali) dia sebut sebagai “…to be the closest THING to a MEANING FOR LIFE”[1]. Dia adalah satu expatriat yang terkenal membangun rupa seni rupa di Ubud.

Di Ubud, buah imajinasi tidak hanya tertuang pada kanvas, batu, kain, dan kayu saja. Bumi pun menjadi media dalam berkarya. Berkunjung ke Tegalalang, karya seni nampak tertuang di tanah persawahan. Undakan-undakan sawah yang sebenarnaya adalah sistem pengairan sawah, Subak, bertambah fungsi sebagai pemanja mata. Saat padi sedang bersemai, sawah-sawah berundak itu menyajikan pemandangan alam yang artistik untuk menjadi objek berfoto.

Pembangunan resort juga tak lepas dari upaya memajukan Ubud menjadi sentra seni dan budaya Bali. Kontur tanah yang berbukit-bukit dimanfaatkan sebagai tempat pembangunan resort. Private room ,dengan pemandangan alam yang tersaji saat membuka jendela kamar, menjadi salah satu yang menarik. Spesifikasi penginapan seperti itu banyak terdapat di Ubud. Sangat cocok untuk melepas penat kehidupan kota. Memberi ketenangan tanpa bisingnya suara kendaraan. Hanya ada suara jangkrik di tengah malam, dan cericit burung yang menyambut fajar. Memberi ruang pada pikiran untuk melepas dan mengosongkan beban sejenak.

[caption caption="Wanita Bali Penjual Canang, Pasar Ubud"]

[/caption]

Yang tak boleh terlewatkan adalah wanita Bali sebagai subjek sekaligus objek yang berperan bagi lestarinya budaya Bali di Ubud. Objek lukisan Don Antonio Blanco yang banyak mengambil tubuh wanita Bali adalah contoh wanita Bali sebagai objek seni. Penjual canang (sesaji untuk ibadah) dan sampian (hiasan khas Bali untuk pesta pernikahan) di Pasar Ubud adalah wanita-wanita bertangan telaten. Selain itu, di tangan wanita-wanita ini, satu kebudayaan akan tetap hidup, yakni Balinese Massage.

Pijat tradisional khas Bali ini “diperankan” oleh wanita-wanita Bali sebagai budaya warisan yang terus bertransformasi. Inti dari Balinese Massage adalah pijatan yang lembut dan bertujuan untuk relaksasi tubuh dan pikiran. Musik klasik atau suara gemericik air yang mengiringi ritual pijat khas Bali membawa kita pada ketenangan yang seringnya membuat kantuk. Bahan-bahan dari alam sebagai bahan baku produk perawatan seperti scrub, minyak dan wewangian, membuktikan bahwa sinergi antara budaya dan alam dapat menghasilkan sesuatu yang indah. Klepon Manis, salah satu judul Balinese Massage yang saya nikmati, menggunakan bahan untuk membuat klepon, yakni parutan kelapa dan gula merah, sebagai bahan scrub. Sungguh menenangkan pikiran setelah seharian beraktifitas.

Ruang imaji yang tercipta saat kita berkunjung ke Ubud memang luas. Alam, manusia, dan Tuhan (kepercayaan) memberikan semua kekuatannya untuk menuju satu titik saat kita berada di Ubud. Ketiga kekuatan utama pembentuk rupa tanah Ubud akan berkumpul menciptakan sesuatu yang hebat. Bagi saya, sesuatu itu adalah “kekosongan”.

 

[1] Bembi Dwi Indrio dan M.Hermawan Kartajaya, Ubud: The Spirit of Bali, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009. Hlm 60

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun