Mohon tunggu...
D.B. Prabs
D.B. Prabs Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Paruh Waktu

Seorang penulis paruh waktu yang mengamati berbagai isu dan tren

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membela Isu Feminisme di Lingkungan Patriarkis Itu Sulit, Apalagi Jika Anda Laki-Laki

16 Februari 2021   12:09 Diperbarui: 17 Februari 2021   10:46 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lanangan kok manut ro wong wedok!" Kata-kata tersebut terlontar tajam di tengah hujan Oktober. Memang dalam suasana bercanda, tapi tajamnya kalimat tadi tetap membuat risi telinga.

Tapi saya tidak asing dengan bacotan menyebalkan itu. Berkali-kali saya mendapat hujatan serupa hanya karena pendapat saya. Pendapat bahwa laki-laki dan perempuan berhak mendapat kesempatan yang sama. Serta pendapat bahwa perempuan bukan makhluk inferior.

Saya mencoba maklum. Kenyataannya, lingkungan hidup saya masih mempertahankan nilai-nilai patriarkis. Tidak hanya laki-laki saja yang menjaga nilai ini, perempuan di sekitar saya juga ikut membudayakan nilai menyebalkan ini. Dan laki-laki yang menolak budaya patriarkis ini dipandang lemah, termasuk saya.

Salah satu isu yang sering muncul adalah perkara menempatkan perempuan sebagai "objek pemanis". Sudah jadi rahasia umum, sosok perempuan sering ditempatkan sebagai daya tarik sebuah usaha. Salah satunya adalah kedai kopi.

Saya pribadi tidak bermasalah dengan barista perempuan. Selama mereka bisa membuat kopi yang enak, apa masalahnya? Sayang sekali, banyak rekan saya yang menganggap barista perempuan sebagai "sawangan" dan hiasan. Dan seringkali barista perempuan menjadi sasaran godaan rekan yang kadang kelewatan.

Saya selalu risih dengan sikap mereka. Saya sering menghardik perilaku nakal mereka dan mengingatkan bahwa barista perempuan tetaplah barista. Mengapa menganggap barista perempuan hanya sebagai pemanis, padahal mereka tetap bekerja selayaknya barista laki-laki. Barista ya barista saja.

Apa tanggapan mereka? "Kamu suka laki-laki ya?" Pernyataan ad hominem ini seperti mantra pamungkas setiap saya menghardik mereka. Seolah-olah jika saya enggan menggoda barista perempuan, saya menyukai laki-laki.

Padahal, saya pun mengakui jika barista yang digoda itu rupawan. Namun, bukan berarti paras cantik mereka menjadi "tiket emas" bagi mereka untuk menggoda. Apa lagi menggoda yang menjurus pada urusan seksual. 

Seandainya memang tertarik, ya sudah simpan ketertarikan itu. tidak perlu mengganggu para barista ini dengan godaan porno. Biarkan barista cantik tadi bekerja dengan nyaman.

Namun, menjadikan perempuan sebagai sosok penghias ini hanya permukaan saja. Lebih jauh, masih banyak yang tidak mengacuhkan pendapat perempuan dalam forum. Bahkan perempuan sering ditempatkan sebagai "angka ikut", dan mengedepankan peran laki-laki dalam kerja organisasi.

Saya juga sering "memaksa" rekan perempuan untuk berbicara. Minimal mengemukakan pendapat selayaknya anggota laki-laki. Syukur-syukur, dapat aktif dalam kerja organisasi. Toh, semua anggota berhak ambil bagian dalam kerja dan pengambilan keputusan. Tidak peduli bagaimana mereka mengidentifikasi gender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun