Mohon tunggu...
D.B. Prabs
D.B. Prabs Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Paruh Waktu

Seorang penulis paruh waktu yang mengamati berbagai isu dan tren

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membela Isu Feminisme di Lingkungan Patriarkis Itu Sulit, Apalagi Jika Anda Laki-Laki

16 Februari 2021   12:09 Diperbarui: 17 Februari 2021   10:46 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi, para perempuan ini memilih untuk bungkam. Kadang mereka menjawab "biar yang cowok aja, mas." Duh, mentah sudah bujukan saya. Satu waktu, salah satu anggota perempuan menjawab "kan aku cewek mas, ngikut mas-mas aja." Reflek saja saya berkata jamput dan bersumpah serapah.

Entah karena ajaran keluarga atau budaya, namun sikap ini menyedihkan. Mengapa para perempuan ini memilih diam karena kelamin mereka? Apa mereka pikir, yang laki-laki ini lebih cerdas? Lebih pantas berpendapat? Padahal saya yakin, mereka punya kapasitas yang sejajar dengan anggota lain. Bahkan lebih mumpuni.

Sikap menurut ini tidak berhenti pada pengambilan keputusan. Perkara kasus pelecehan seksual pun juga menyebalkan. Seringkali perempuan di sekitar saya malah membela si pelaku, serta menempatkan korban sebagai sosok penggoda.

Terutama saat kasus pelecehan seksual di KKN UGM. Ketika saya menggembor-gemborkan "kita Agni", banyak teman yang memandang Agni (nama samaran korban) sebagai biang kerok masalah. Malah berkata "kalau kamu yang tidur bersama Agni, paling kamu juga colek-colek." Saya hanya bisa menjawab "prek!"

Masalah dunia malam juga sama saja. Istilah "bungkus" perempuan di klub malam dipandang sebagai hal yang lumrah. Saya pribadi memandang, tidak masalah jika mengajak perempuan untuk bermalam selama dalam kesepakatan. Paling tidak, si perempuan mau dan sadar atas keputusan tadi.

Tapi, rekan-rekan saya berpandangan bahwa perempuan mabuk bebas "dibungkus" dan diajak bermalam. Ketika saya menolak pandangan ini, lagi-lagi saya dianggap lebih tertarik pada laki-laki. Keengganan saya untuk masuk klub malam juga dianggap membuat saya tidak bisa memahami budaya bungkus ini.

Bahkan, saya dipandang ingin memanfaatkan citra membela perempuan untuk berburu perempuan. Rekan-rekan saya sering membahas kasus pelecehan yang terjadi dalam organisasi progresif. Bahkan muncul istilah "waspada pada mas-mas progresif cabul." Dan saya dianggap dari golongan cabul ini.

Asumsi menyebalkan ini tetap menjadi beban moral. Apalagi setiap membahas isu feminisme di lingkungan saya. Hal ini membuat saya kesulitan saat ingin mengingatkan rekan-rekan perkara isu feminisme. Pokoknya sulit!

Masalah LGBT juga sama. Saya selalu memandang bahwa setiap manusia tetap punya hak untuk hidup dan mengekspresikan diri. Namun, rekan-rekan saya malah mencemooh saya sebagai bagian dari LGBT. Biasanya, saya malas mendebat mereka. Apalagi mereka telah siap dengan dalil agama.

Namun, tidak ada yang lebih menyebalkan selain berdebat perkara pernikahan. Memang, saya belum menikah. Namun saya selalu berpandangan bahwa suami dan istri punya hak yang sama dalam menjalankan biduk rumah tangga. Suara suami tidak pernah absolut, dan istri tidak hanya sekedar teman dapur serta kasur.

Cita-cita memiliki keluarga yang egaliter membuat saya dikecam. Tidak main-main, kecaman ini juga datang dari keluarga sendiri. Sikap saya yang tetap ingin keluarga yang tidak tejebak kasta kelamin ini melahirkan hujatan seperti kalimat pertama tulisan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun