Mohon tunggu...
D.B. Prabs
D.B. Prabs Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Paruh Waktu

Seorang penulis paruh waktu yang mengamati berbagai isu dan tren

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Diplomasi Rokok adalah Cara Saya Bertemu Orang-orang Istimewa

15 Februari 2021   17:00 Diperbarui: 15 Februari 2021   17:30 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seperangkat alat cangklong. Foto diambil oleh penulis

Rokok adalah benda konsumsi yang penuh polemik. Mungkin cocok dengan lirik kupu-kupu malam dari Eyang Titiek Puspa, “ada yang benci dirinya, ada yang butuh dirinya.” Kenaikan cukai rokok juga membuat dua kubu terpecah. Sebagian menyesalkan, sebagian mendukung.

Rokok memang tidak pernah sederhana. Sebatang lintingan tembakau ini penuh kisah dan perdebatan. Saya pribadi memandang rokok istimewa. Karena rokok adalah alat diplomasi paling berhasil. Terutama ketika saya sendirian di tengah keramaian.

Saya sebut sebagai diplomasi rokok. Konsepnya adalah memanfaatkan rokok untuk membuka pembicaraan dan membangun keakraban. Ketika bersama orang-orang asing, rokok bisa menjadi pembuka pembicaraan.

Caranya sederhana, cukup tawarkan rokok atau korek. Meskipun orang tersebut tidak merokok, tapi setidaknya kita sudah membuka basa-basi. Daripada sekadar “mau ke mana mas” atau “wah hujan ya.” Atau jika anda bermuka tebal seperti saya, anda bisa memulai diplomasi dengan meminta rokok. Abaikan dulu harga diri, terutama jika memang butuh.

Saya juga sering berbohong dengan pura-pura tidak membawa rokok atau korek. Semata-mata agar saya bisa membuka obrolan dengan orang asing ini. Ingat, diplomasi rokok bukan sekadar memenuhi kebutuhan nikotin. Diplomasi ini demi memenuhi kebutuhan interaksi sosial.

Ini bukan murni ide saya. Diplomasi rokok sudah menjadi way to life banyak orang. Bermodalkan sekotak rokok dan korek, banyak orang mencoba membunuh kesendirian ketika berada di ruang publik.

Diplomasi rokok sering saya temukan di stasiun kereta. Ketika berada di area boleh merokok, seringkali kita benar-benar terasing. Demi membunuh keterasingan ini, rokok bisa membantu banyak. Salah satunya saya sendiri.

Tahun lalu saat akan ujian CPNS, saya harus menunggu kereta selama satu jam. Tentu saya jenuh luar biasa. Saya menuju area bebas rokok di stasiun, dan duduk di sebelah pria yang mungkin berumur 30-an. Saya sembunyikan rokok di dalam tas agar tidak terlihat.

Tidak sampai semenit saya mendengar, “mau rokok mas?” Ternyata pria tadi sudah mengacungkan kotak rokok putihan miliknya. Tentu tanpa malu saya sikat saja rokok itu. Kemudian pembicaraan berikutnya mengalir lancar di tengah asap rokok. 

Ternyata pria tersebut adalah event organizer konser musik. Kebetulan, orang tadi biasa mengundang Shaggy Dog dalam acaranya. Makin cocok, saya malah ditawari untuk menghubungi blio ketika ingin nonton konser di Jakarta. “Nanti ke tenda kru saja mas, taksiapin minum.”

Diplomasi rokok juga saya lakukan belum lama ini. Ketika saya sedang suntuk di angkringan, ada bapak-bapak yang duduk di sebelah saya. Saya coba iseng, “monggo pak, rokok rumiyin,” sambil mengangsurkan kotak rokok kretek saya. Bapak tadi menolak dengan alasan sudah bawa rokok. Tapi, diplomasi telah berjalan.

Bapak tadi mulai mengajak saya ngobrol. Ternyata, blio adalah musisi kroncong veteran. Usut punya usut, bapak tadi mengenal eyang saya yang juga musisi kroncong. Setelah mengabarkan perihal eyang yang sakit stroke, bapak tadi berkata, “mbok menggantikan posisi eyang (di kelompok keroncong).” Tawaran ini saya tolak mentah-mentah karena saya buta nada.

Kembali ke stasiun, lain waktu saya mencoba diplomasi ini lagi. Ada bapak-bapak sepuh yang berdiri di sebelah saya merokok. Saya coba tawarkan rokok dan korek saya. Ternyata, bapak tadi tidak merokok sejak muda. Wah, saya pikir diplomasi saya gagal.

Ternyata, bapak tadi tetap mengajak ngobrol. Ketika masuk kereta, kami juga duduk bersebelahan. Bapak tadi adalah pegawai dinas peternakan Sleman, dan kenal banyak dosen saya. Gayung bersambut, saya mendapat nomor blio. “Nanti kalau mau praktikum, saya carikan surat izin dari dinas mas. Sante wae,” ujar blio.

Tapi, tidak ada yang lebih berkesan daripada saat saya ngopi. Kebetulan, sedang ada acara yang diselenggarakan mahasiswa Papua. Ada pemuda yang duduk di sebelah saya. Penampilan yang sangat reggae itu membuat saya merasa bahwa pemuda ini orang yang asik. Saya tawarkan saja rokok saya pada pemuda yang selalu memakai earphone ini.

Acara berlanjut, tiba-tiba ada mobil polisi datang. Mereka berniat membubarkan diskusi yang dipandang “mengganggu keamanan”. Eh tanpa dinyana pemuda tadi yang saya tawari rokok adalah intel! Pantas saja pakai earphone terus.

Masih banyak kisah saya perihal diplomasi rokok ini. Dan saya yakin banyak di antara anda sekalian yang pernah mengalami. Memang, sebatang rokok adalah kunci membuka gerbang keterasingan di tengah keramaian.

Mungkin, pemerintah tidak melihat sisi ini. Maka cukai rokok kembali meroket untuk tahun 2021. Andai saja pemerintah mengingat diplomasi rokok ini. Andai saja pemerintah mengingat diplomator rokok seperti Soekarno dan Haji Agus Salim. Andai saja sih, kan tetap naik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun