Sejak awal cara mereka memusuhi Presiden Jokowi, memang merupakan jalan politik yang salah dan fatal.. Sebab Presiden itu adalah kepala negara dan sekaligus kepala Pemerintahan yang sah menjalankan fungsi pelayanan negara, dimana baik buruknya itu, tidak bisa dinilai hanya dengan 1000 kata kata manis saja..
Rakyat kecil yang tidak berkecukupan, tentunya tidak memakan kata-kata manis seorang kandidat Presiden, dan tentunya juga tidak memakan pertunjukkan debat yang tampak kesenangan/kegirangan ketika seorang yang memandang dirinya paling cerdas itu, dapat menjatuhkan argumentasi lawan debatnya...
Rakyat kecil hanya melihat dan merasakan, apa yang mereka terima dari karya perbuatan nyata seorang pemimpin, sekalipun itu hanya "sebutir perbuatan baik"..
Terkadang kita semua lupa, bahkan dengan latarbelakang pendidikan yang tinggi sekalipun, berusaha bertindak dan berperilaku layaknya orang-orang bule dengan kultur politik privatnya, dimana mereka tidak terlalu perduli dengan "engagement" yang terbangun dengan seorang pemimpin.. Yang ada dalam pikiran orang orang ini, upaya untuk menonjolkan sisi intelektualnya "rasional thinker", tetapi lupa dengan karakter masyarakat Indonesia yang hidup dalam dimensi budaya yang kuat "rasa dan afirmasi perbuatan"..
Mereka terlalu percaya diri untuk yakin bahwa 1000 kata-kata manis akan menghapus 1 perbuatan baik dari seorang Presiden Jokowi kepada rakyatnya.. Preferensi masyarakat dalam sebuah transformasi sosial, tidak akan banyak berubah dan cenderung mengalami retensi "status quo", ketika keadaan pendukung utama di masyarakat masih terpenuhi dengan cukup, sebut saja diantaranya, pemenuhan kebutuhan pangan, pemenuhan pendapatan, dan pemenuhan kebutuhan rekreasi... Maka dari itu, selama keadaan itu baik baik saja, maka tidak akan ada tempat bagi ruang pergerakan bagi masyarakat untuk beralih dari kondisi nyaman yang mereka alami saat ini..
Keadaan yang berbeda, tentu saja tidak berlaku terhadap mereka yang terjebak dalam doktrinasi "keyakinan", dimana isu-isu tendensi agama tampaknya akan lebih mudah diarahkan, untuk merubah preferensi seseorang.. Dahulu di Pilkada DKI Jakarta, cara-cara ini sangat ampuh dan bahkan terbilang sukses, karena eksploitasi tendensi "doktrin keyakinan" itu mendapatkan ruang dan timing yang tepat..
Namun dihari ini, akan sangat sulit untuk mengagitasi masyarakat "doktrinasi keyakinan" terhadap mayoritas Masyarakat dengan kultur yang sangat heterogen, yang mencakup ratusan daerah dan budaya yang berbeda-beda pula.. Maka sejatinya, gerakan doktrinasi "kelompok berkeyakinan" tidak akan mampu menggeser dominasi loyalitas mayoritas rakyat Indonesia yang heterogen dan moderat, yang pada gilirannya, semua isu yang mereka bangun untuk menjelek-jelekkan Presiden Jokowi, akan menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri..
Panas Dingin yang mereka hadapi saat ini, bukan karena takut dan khawatir dengan Program Populis Presiden Jokowi yang membagi 79 Triliun bantuan perlindungan sosial kepada Masyarakat, melainkan mereka takut akan ketidakmampuan diri mereka sendiri untuk melakukan perbuatan nyata "action" yang dapat dirasakan langsung oleh Masyarakat...
Maka dari itu, satu-satunya amunisi mereka saat ini, hanyalah "agitasi dan propaganda keyakinan", memoles tim media "pertunjukkan debat mulut", Untuk menunjukkan kualitas mereka sebagai calon presiden yang dibutuhkan rakyat..
Horas,
Maturnuwun