Tanah Papua Untuk Indonesia - Menghormati orang yang lebih tua, apalagi kepada mereka yang pernah berjasa dalam hidup kita, tentunya tidak hanya cukup di ucapkan kedalam bentuk manisnya kata kata..
Demi terlihat heroik dimata pendukung partisan, rasa hormat itu menghilang dan berubah menjadi kesombongan tentang "aku" yang lebih hebat.. Ekspresinya begitu riang gembira, ketika melihat keangkuhannya dapat menyudutkan orang lain, tidak perduli orang itu adalah penolongnya dimasa lalu..
Dapat dibayangkan ketika memaknai sebuah hubungan yang lahir dari perjuangan dan pengorbanan, ketika dulunya masih bersama sama, apalagi ketika yang bersangkutan memiliki kepentingan dalam persahabatan tersebut, ibarat lelaki yang sedang jatuh cinta, mendambakan cinta dari pasangan wanitanya.. Segala galanya tampak indah, tidak jarang sang lelaki tersebut datang dengan membawa buah tangan yang dapat menyenangkan pasangannya..
Namun, hal yang berbeda terjadi ketika niat dan tujuan dari lelaki itu telah tercapai, Jabatan Gubernur telah di raihnya, kemudian karakter dan kepribadian yang ramah sebelumnya, rasa cinta dan hormat yang diberikan sebelumnya, hilang menjadi ucapan kata-kata olokan yang bahkan tampak tidak berempedu sama sekali..
Menghina dan merendahkan orang lain, tampak "ilmiah dan akademis" bagi dirinya, sebab nafsu untuk berkuasa menjadi satu satunya "ethics value" yang di imaninya..
Ternyata "pengingat" dari nasihat orang tua yang bijak dimasa lalu, telah lama memberikan "peringatan", untuk berhati hati memberikan kepercayaan, cinta dan hormat kepada seseorang dengan karakter manipulatif..
Tidak ada bedanya, watak manipulatif dari para penghianat cinta itu "baca komitmen", mereka memang pintar merangkai kata kata "bujuk rayu maut", sampai sampai korbannya pun tidak merasa sedang di manipulasi dan dikhianati..
Untungnya, negeri ini memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk melihat sepak terjang para calon presiden, dalam debat Pilpres kemarin kita dapat menyaksikan "watak asli" dari seorang anak manusia, yang tampak anggun dengan kata katanya, namun, ekspresi real perbuatannya, tampak menjadi sosok yang sangat ambisius, membandingkan dirinya sebagai sosok yang hebat dan sukses, dengan menyerang dan menjatuhkan orang lain tanpa sedikitpun rasa sungkan "adab"..
Sebagai orang Indonesia, yang lahir dalam tradisi "culture" yang cukup kuat, kita tentunya diajarkan nilai nilai untuk menghormati jasa orang yang pernah menjadi penolong dalam kehidupan kita.. Bahkan ketika ketiadaan pertalian darah, tidak menjadi halangan bagi seorang yang pernah menerima pertolongan dari seorang dermawannya, untuk memandang nilai persaudaraan itu lebih utama dibandingkan sekedar hubungan sedarah..
Apalagi mengorbankan hubungan persaudaraan, demi ambisi menjadi Presiden.. Barulah mungkin saat ini, kita semakin yakin, huru hara yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta dimasa lalu itu, juga menjadi bagian dari "acting" orang yang sama pula.. Dirinya tidak akan merasa bersalah sedikitpun, ketika rasa permusuhan itu, menyebar ke ruang ruang interaksi sosial di masyarakat.. Baginya, saya benar dan tidak bersalah, biarkan orang lain menelan dampak dari hubungan "aksi - reaksi" panasnya suhu politik nasional, sekalipun tercipta kerusuhan, dirinya memandang itu diperlukan demi mencapai tujuan berkuasa..
Dalam beberapa kesempatan, orang ini selalu memancing batas kesabaran orang lain (baca: Prabowo), bahkan Presiden Jokowi pun ikut menjadi subyek manipulasi olok-olokannya (tuduhan: otoriter, tidak demokratis, menciptakan ketimpangan).. Namun, kedewasaan yang dimiliki oleh sosok senior bermental tangguh (baca: Prabowo), dan di dorong oleh nilai patriotisme dalam dirinya (ditempa dalam perjuangan kedinasan militer yang keras dan disiplin sejak masih muda), yang dibuktikan dengan tercapainya kesepakatan rekonsiliasi bersama Presiden Jokowi, segala pancingan yang dibuat oleh sosok manipulatif tersebut, tidak berhasil memantik konflik yang meluas, seperti harapan agenda mereka sebelumnya yang sukses terlaksana di Pilkada DKI Jakarta..
Kami menjadi begitu khawatir, ketika pertunjukkan saling mengolok dan menjatuhkan itu, diserap sebagai norma perilaku baru, oleh anak anak remaja yang tengah mencari jati dirinya dalam pergaulan dewasa ini, yang pada gilirannya akan memunculkan banyaknya "manusia manusia yang tidak tahu balas budi", yang tidak hanya - tidak menghargai orang yang pernah berjasa dalam hidupnya, juga kekhawatiran akan lahirnya generasi yang tidak memiliki rasa empati dan tertanam sifat kesombongan yang akut dalam dirinya, merasa paling pintar, memandang dirinya sebagai orang yang paling benar, dan segala hal yang dilakukan oleh para pendahulu di republik ini, menjadi sesuatu yang harus disingkirkan dan di rubah olehnya..
Horas
Maturnuwun
Wa Wa Wa
Hormat Kami,
Willem Wandik S.Sos
Waketum DPP Partai Demokrat
Dewan Pakar TKN Prabowo Gibran Presiden 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H