Jawaban pahit ini yang aku dapatkan. Semangatku tinggal separuh.
Kepalaku tertunduk. Nafasku kuhela panjang supaya emosiku tidak meletup. Berusaha kutahan meski sulit, meski aku tersakit-sakit di dalam. Jika teriak di sini, aku bisa dibom, dikeroyok, dihantam habis. Tapi dalam hati, aku simpan derita yang lebih pedih. Derita yang orang lain tak bisa tahu. Ini tentang mereka dan diriku.
Tapi bukankah ia bisa menelepon? Perangkat jaman sekarang memudahkan komunikasi. Ada aplikasi google+ untuk chat dan video chat. Aku mengajaknya membuka google+, berharap ia masih bisa mengalahkan ego dan rasa malunya.
Kami sudah janji sebelumnya. Aku bilang mau interview. Itu memang kenyataan. Meski di balik tugas itu, aku juga menyimpan harapan tersendiri. Profesionalisme tetap harus kujaga. Kulakukan yang terbaik untuk profesiku, pekerjaanku, uangku. Karena memang aku juga butuh uang. Namun kalau sekedar uang mah, itu hanya remeh temeh sampah jika dibandingkan dengan penawar rindu. Aku sudah lelah berjuang dan menunggu untuk saat ini.
Ia enggan.
Dan itu membuatku muak.
Dan jika aku muak, aku menggila.
Wajahku tenang meski hatiku bergejolak hebat.
Letupan emosiku menjadi-jadi, membuat dinding hatiku semakin sakit.
Ia sudah ingkar.
Ia khianat.