Tulisan ini merupakan sekuel ke 2 dari tulisan berjudul “Masjid-Masjid di Negeri Tetangga”. Untuk memberi penekanan pada subyek yang dibahas, setiap sekuel akan diberi judul yang berbeda sesuai dengan subyeknya dengan tetap menjadi satu rangkaian dari tema besar yang sama.(Penulis)
Siang itu hari Jumat. Saya naik kereta ringan dari stasiun Pandanjaya menuju ke Masjid Jamek. Saya berniat menunaikan sholat jum’at di masjid Jamek, salah satu masjid tertua di Kuala Lumpur. Masjid Jamek dibangun oleh para pedagang India di lokasi yang cantik, tepat di segitiga pertemuan sungai Klang dan sungai Gombak. Tapi apa lacur, sesampai di stasiun masjid Jamek, ternyata Masjid sedang direnovasi besar-besaran dan tidak menyelenggarakan sholat Jumat. Bingung juga, ada masjid yang sampai tutup karena renovasi. Saya bertanya kepada beberapa orang yang saya temui dimana bisa menemukan masjid. Tapi apa jawaban mereka: sebuah gelengan kepala. India banget. Duh! Menjelajah di negeri orang tanpa berbekal peta memang membuat kesulitan tersendiri. Akhirnya saya jalan saja, Lets Get Lost!
Saat menyeberang jalan, saya bertemu dengan laki-laki muda, sepertinya seusia dengan saya. Saya ikuti dia dan membuka obrolan. Benar saja, dia sedang menuju ke masjid. Dia berasal dari Maroko dan menjadi mahasiswa di salah satu universitas di Kuala Lumpur. Kami melewati sebuah lorong yang dipenuhi oleh pedagang kaki 5. Jualannya macam-macam layaknya di Indonesia. Ada yang jualan pakaian, jilbab, jam tangan, kacamata, assesoris wanita, makanan kecil, dll. Setelah berbelok ke kanan dan menembus orang-orang yang berdesakan, kami tiba di masjid India.
[caption caption="Keramaian Little India (photo:Pra)"][/caption]Di Malaysia, seperti halnya di beberapa negara lain, masjid lebih dikenal dengan nama-nama komunitas yang mendirikan dan mengelola. Seperti Masjid Indonesia di New York yang sangat popular di kalangan orang lokal karena karakter moderatnya. Ada juga masjid Pakistan, Masjid Afghanistan, Masjid Turki, dsb. Nah, masjid India disebut dengan masjid India karena didirikan dan dikelola oleh komunitas India di Kuala Lumpur. Lokasinya pun di Little India, kawasan yang menjadi pusat kegiatan dan tempat tinggal orang-orang India. Kalau di Jakarta, kita hanya mengenal Kampung Melayu, Kampung Ambon, Pecinan, dsb. Tapi, sebagai orang udik, saya belum pernah mendengar disebut Kampung India di Jakarta. Little India justru terdapat di Medan.
Masjid India memiliki ukuran cukup besar dengan 3 lantai. Namun karena bentuknya yang memanjang, maka kesannya kecil dan sempit. Apalagi, masjid ini juga tidak memiliki halaman. Maka, baru di depan pagar masjid pun, saya harus menghadapi crowded orang-orang yang hendak masuk ke masjid. Sandal-sandal dan sepatu beraneka warna bertebaran, berebut secuil tempat di lahan yang sempit.
[caption caption="Menara Masjid India (Photo Pra)"]
Setelah mengambil air wudhu di lantai bawah, saya naik ke atas mencari ruang yang masih kosong. Benar saja, saya kesulitan menemukan space kosong. Ruangan masjid sungguh penuh. Saya menemukan setiap jengkal lantai sudah terisi. Bahkan hingga ke tangga dan teritisan masjid. Saya bertekad mendapatkan tempat yang bisa langsung melihat khotib untuk benar-benar menyerapi suasana Jumatan di Masjid India. Beruntung, dengan sedikit bekerja keras, saya menemukan secuil space kosong. Tempat yang memang sudah tidak cukup untuk ukuran orang India tapi masih muat untuk ukuran tubuh Jawa saya. Dengan menahan “sumuk” karena sirkulasi udara yang kurang baik, kepadatan jamaah dan karakter tubuh yang tidak tahan panas, akhirnya saya mengikuti khutbah Jumat.
Menurut pandangan sosiologi, keberadaan masjid India ini unik. Sebab, selain sebagai pusat ibadah bagi komunitas India dan muslim di sekitarnya, masjid ini juga berfungsi sebagai penanda keberadaan subkultur India muslim. Di Malaysia, keberadaan orang India berkat migrasi yang diinisiasi oleh Inggris pada masa kolonial awal abad ke XX. Saat itu, Inggris masih menguasai Semenanjung Malaya dan membutuhkan para buruh untuk dipekerjakan di sektor perkebunan dan pertambangan. Mereka pun mengambil orang-orang India dari etnis Tamil yang notabene muslim untuk dipekerjakan di Semenanjung Malaya. Saat ini, jumlah etnis India di Malaysia diperkirakan 10%.
Hal yang patut dicatat lagi adalah ke-Islaman etnis Tamil. Etnis Tamil secara tradisional adalah pemeluk Islam ditengah India yang mayoritas Hindu. Dan seperti umumnya di Asia Selatan yang meliputi Afghanistan di barat sampai Bangladesh di timur, mereka penganut madzhab Hanafi. Hal ini juga menjadi keunikan tersendiri karena Malaysia merupakan negara yang mendeklarasikan madzhab Syafi’i sebagai madzhab resmi negara. Sehingga, orang Tamil di Malaysia menjadi “minoritas ganda”. Pertama, sebagai orang India mereka tetap dianggap sebagai “bukan pribumi” (karena yang dianggap pribumi adalah Melayu). Kedua, sebagai muslim, mereka juga minoritas pengikut Madzhab Hanafi ditengah Madzhab Syafi’i sebagai madzhab resmi negara.
Madzhab merupakan metode yang ditempuh untuk menentukan berbagai aspek hukum dalam Islam. Misalnya tata cara sholat, syarat sahnya sholat, dsb. Dulu, banyak berkembang metode yang menjadi rujukan. Namun, saat ini hanya 4 madzhab –tanpa mengesampingkan yang lain- yang masih bertahan dan memiliki banyak pengikut, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Madzhab Hanafi sendiri menurut data diikuti kira-kira 40% lebih dari seluruh muslim Sunni dunia. Wilayah tradisional persebarannya adalah kawasan Asia Selatan dan Asia Tengah. Mulai dari Afghanistan di barat sampai Bangladesh (dulu Pakistan Timur) di timur. Kazakhstan serta kaukasia di utara dan barat. Sementara, Madzhab Syafi’i diikuti kira-kira 25% muslim dunia dengan wilayah persebaran tradisional di Asia Tenggara dan tanduk Afrika (Somalia dan sekitarnya), Yaman, sebagain Mesir dan sebagian Irak- Turki. Bahkan, Malaysia dan Brunei Darussalam menetapkan Syafiiyah sebagai madzhab resmi negara.