"Dua minggu lagi....Semua upaya hukumku gagal. Kasasi, pertimbangan kembali, sampai grasi. Sudah 12 tahun ini aku, keluarga dan pengacaraku berusaha dan gagal. Hukuman mati tidak bisa ditunda lagi." Lelaki tegap itu memandang si Nyonya cantik dari jeruji yang membatasi keduanya. Sudah setahun ini Nyonya Cantik, sebut saja namanya Nyocan, dua minggu bahkan seminggu sekali mengunjungi si terpidana, sebut saja namanya Pidindi yang tervonis mati akibat membawa 20 kilogram morfin 12 tahun yang lalu.
Pidindi adalah seorang pilot pesawat kecil yang berbaling-baling dua carteran, biasa disewa para petualang ke tempat-tempat yang terpencil dan hanya ada lapangan terbang dengan landasan pendek atau pejabat yang mau mengunjungi tempat-tempat tugasnya namun tidak dapat tiket pesawat komersil dan sialnya terkadang dipakai juga oleh beberapa oknum kriminal untuk menyelundupkan barang haram misalnya narkoba. Sialnya dia tertangkap dan si penjahatnya kena serangan jantung dan meninggal saat di udara, jadi otomatis pemilik barang berbahaya itu adalah dia yang membawa barang.
Pihak berwenang sebenarnya tahu dan memang sudah menantikan pesawat itu mendarat di bandara kecil di pulau Terluar itu untuk menangkap si Bandar Besar, tetapi karena yang diincar sudah tidak bernyawa, daripada penangkapan itu terkesan sia-sia tanpa ada tangkapan hidup ya si pilot naas inilah dijadikan tersangka dengan diaturlah bukti-bukti dan saksi yang memberatkan bahwa dia bukan hanya sekedar pilot tetapi juga rekanan si Bandar Besar yang sudah mati.
"Mas Pidindi yang tabah, ya. Tetap makan teratur, tidur cukup, berdoa dan berserah pada Tuhan. Jaga hatimu, Mas. Keluarga Mas sudah saya kabari dan sudah saya atur supaya semua kebutuhannya tercukupi. Sekolah anak-anak saya bantu sampai kuliah bila perlu." Nyocan berkata lembut namun tegas dan memang sudah cukup bukti-bukti diberikan mengenai bantuan si Nyonya kepada keluarganya, anak-anaknya yang dua orang sudah SMP dan SMA, serta istrinya yang kini sudah dibuatkan warung rumahan untuk berjualan sayur mayur di rumah mereka di pinggir kota.
"Tenang, Nyonya. Saya akan tetap menjaga kesehatan saya dan hati saya untuk anda dan suami anda." Jawab Pidindi sebelum waktu membesuk tahanan berakhir.
Selesai sesi perjumpaan tersebut sang terpidana meneruskan tugasnya di penjara yaitu mengganti puluhan galon air mineral yang sudah kosong di semua ruangan.
Nyocan kembali ke mobil mewahnya untuk kembali ke rumah, dibukakan pintu oleh Supri, sang supir pribadi.
"Nyonya kenapa menangis? Mas Pidindinya membatalkan perjanjian?" Tanya Supri penasaran.
"Bukan, tetapi dia akan dieksekusi 2 minggu lagi."Jawabnya terisak.
"Ya, kalau memang sudah begitu jalan hidupnya atau bisa dibilang jalan matinya, ya mau bilang apa. Yang penting dia tetap jaga hatinya. Demi Tuan dan Nyonya." Supri kembali menyetir dengan tatapan mata nanar.
Sesampai di rumah, Tuan Gentle terlihat duduk di kursi roda mengamati istrinya yang sedih.
"Jangan terlalu sedih, Honey. Ini semua tentang hatiku dan hatinya, jadi jangan pula hatimu tersakiti. Sudah dua tahun kau berjuang keluar masuk penjara mencari hati dan akhirnya ketemu. Itu sebenarnya harus disyukuri." Digenggamnya tangan si istri menenangkannya.
"Iya, Honey. Aku tadinya juga hanya memikirkan hati kamu, tetapi setelah merasa untuk itu perlu ada yang mati terlebih dahulu, aku tetap merasa tidak menerima."Nyocan terisak lagi.
Ya, sejak dua setengah tahun lalu, Tuan Gentle yang kaya raya sakit berat. Awalnya lemah, mual dan muntah beberapa minggu, lalu mulai suka pusing, mengigau dan akhirnya pingsan. Matanya pernah sangat kuning sampai kehijauan, kencingnya warna seperti teh tua. Dirawatlah ia 10 hari dan ada perbaikan.Â
Dokter bilang kebiasaannya minum alkohol berlebihan, merokok, kurang tidur dan kurang istirahat serta makan gorengan dan daging berlebihan membuatnya gagal hati. Saat di USG, hati si Tuan mulai mengecil dan memadat serta banyak lemak. Bilirubinnya sempat 11 dan dia harus memperbaiki gaya hidup serta dietnya.
Tetapi setelah mampu lagi bekerja dan agak baikan, Tuan Gentle kembali kerja keras dan kurang tidur walaupun merokok dan alkohol sudah berhenti dan kembali harus dirawat 5 bulan sesudahnya, sampai akhirnya disimpulkan sebaiknya dipikirkan cangkok hati.
Pertama dipikirkan donor hati dari keluarga terdekat, siapa diantara keluarganya yang golongan darah A+ dan hatinya sehat , mau memberikan sebahagian hatinya untuk Tuan Gentle, ternyata tidak ada yang mau. Dicari ke mana-mana untuk orang yang "kepepet uang" mau menjual sebagian hatinya, ada 7 yang mau tetapi kondisi hatinya juga jelek. Ada yang punya virus hepatitis, ada yang berlemak dan mengecil juga, malah ada yang punya kanker hati.
Lalu akhirnya ada informasi bahwa di negeri China biasanya terpidana mati sering mendonorkan organnya untuk yang membutuhkan. Tetapi si Nyonya Cantik mau mencoba dulu para terpidana mati di negeri sendiri apakah mau berdonor, karena bisa "fresh" hatinya dicangkokkan disini dan tidak harus ke luar negeri.
Mulailah dua tahun ini istri yang sangat mencintai suaminya itu mengelilingi berbagai penjara dan meminta kerelaan para terpidana mati bergolongan darah A plus yang sehat untuk mendonasikan hatinya kepada suaminya.
Ada 5 kandidat yang bersedia, 3 orang kondisi hatinya kurang baik dan 2 orang lainnya tidak bermasalah, tetapi satu terpidana Tuan Lucky dibebaskan karena ada bukti-bukti baru yang membuat tuduhan kepadanya salah dan ada orang lain yang ternyata jadi pelaku sebenarnya dan mengakuinya.
Sejak setahun lalu itulah Nyocan berkenalan, lalu bercerita kondisi suaminya dan setelah Pidindi mengerti apa yang diinginkan oleh mereka, dia akhirnya rela menjadi donor kalau sekiranya dia harus dieksekusi juga tanpa ada kemungkinan pengurangan hukuman lagi.
"Aku bukan mau menjual hatiku. Tetapi tolong perhatikan keluargaku, supaya aku tidak mati sia-sia di penjara ini." Katanya saat kesepakatan itu terjadi.
Beberapa sipir yang melihat Nyocan mondar-mandir menemui si "Napi" dengan wajah sendu sering berkata bercanda, "jangan pakai hati, bu. Mereka hanyalah tahanan."
"Oh, ya. Saya malah ingin hatinya, pak. Jagain dia ya, pak, supaya tetap sehat sampai waktu akhirnya...."Lalu ketika si sipir bingung, Kepala Penjara pun menjelaskan kepada semua penjaga kesepakatan donor organ itu dan Pidindipun sejak itu dijaga supaya jangan disakiti terpidana lain, terutama hatinya.
Kamis siang itu, setelah dua minggu dari waktu terakhir mereka bertemu, sebuah mobil ambulance tiba dari penjara ke rumahsakit pusat transplantasi hati di Ibu Kota Baru, membawa jasad Pidindi yang baru dieksekusi dan dinyatakan mati. Lalu melalui proses operasi yang rumit, 1 jam hatinya diambil lalu dicangkokkan ke tubuh Tuan Gentle yang sudah berada di kamar operasi sebelahnya.
Butuh 8 jam menyambungkan semua pembuluh darah, jaringan ikat, dan otot-otot penting di sekitanya untuk meyakinkan hati Pidindi menyatu dengan tubuh si tuan yang sakit hatinya.
Sebulan berlalu, Tuan Gentle sudah bisa beraktifitas kembali dan bersama Nyonya Cantik, Nyocan mendatangi rumah Pidindi. Menemui kedua anaknya dan istrinya.Â
Nyonya Cantik menyalami ketiga keluarga Pidindi dan memeluk mereka dengan terisak berlinang air mata. Tuan Gentle malah memeluk kedua anak itu dengan sangat erat dan ketika memeluk istri Pidindi, dia malah menciumnya membuat wanita itu terkejut.
"Maaf, bu. Saya tidak bisa menahannya, ada hati suami ibu sekarang yang menjadi hati saya." Katanya.
Buru-buru Nyocan pamit dan menarik suaminya ke mobil untuk pulang.
"Yang sekali ini jangan pakai hati ya, Honey. Selama 25 tahun pernikahan kita kamu sangat setia. Tetapi entah gara-gara hati Pidindi ini kamu jadi sering kesini dan menggoda istinya, kupukuli hatimu sampai rusak semua nantinya...."Katanya ketus.
Tuan Gentle tertawa geli, tetapi hatinya tetap hati Pidindi, namun tubuhnya tetap milik si istri, jadi harus bagaimana ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI