"Ayik, Â apakah sesudah ini kita dapat bertemu?" Tanya Bram ketika si Pasien sudah berbenah mau pulang setelah dinyatakan sembuh.Â
"Tentu saja. Kamu belum traktir aku uang insentif covidmu yang tidak dipotong pajak itu."
"Sebenarnya ada pungutan dari oknum, Â ngomongnya sih sukarela tetapi nadanya mengancam tetapi jangan kamu tulis di media, ya. Nanti heboh."Bram keceplosan.Â
"Perawat lain juga ada yang curhat soal kutipan tidak resmi itu. Â Tidak apa-apa, Â saya nulisnya nanti di fiksi, Â bukan reportase atau opini. Siapa juga yang bisa menggugat fiksi?"
Tiga bulan kemudian hampir tiap minggu mereka bertemu, rencananya Bram mau menghadap orang tua Ayik selepas wabah ini tetapi sepertinya pandemi tidak menunjukkan tanda mau hilang.Â
"Dokter di bangsal bilang ada kemungkinan besar corona ini bakalan seperti infeksi lain yang tidak pernah selesai di kita. Â Kasusnya endemik di negeri ini walau di negeri maju sudah minimal. Jadi ya terima keadaan sajalah, Â jalani hidup tetap seperti ini sampai kapanpun. Â Maka itu aku putuskan mau melamarmu sekarang saja atau tidak sama sekali."Kata Bram di sebuah restoran makanan khas Nusantara.Â
"Mau tapi ada syarat"Jawab Ayik.Â
"Apa? "Tanya si Pelamar.Â
"Kalau ada gaji atau penghargaan dari negara, Â kasih dulu ke aku. Kalau ada oknum mau malakin uang kamu, Â biar dia minta ke aku, Â baru puas kalau kulawan dulu."
"Kok begitu, sih?" Bram takut sekali Ayik harus bersitegang dengan oknum-oknum itu, Â karena bakal membuat banyak hati terluka.Â
"Kok sedih, Bram? Ya sudah. Aku tarik syaratku. Â Sebaiknya memang cinta tanpa syarat,kan?"Â