Bagi saya, membeli saham sama saja membeli perusahaan yang berinteraksi dalam kehidupan kita. Misalnya, saya suka makan mi instan tertentu, saya pun membeli saham di perusahaan itu.Â
Saya memakai komunikasi dengan "provider" tertentu, maka saya pun membeli saham disana. Investasi di saham perusahaan-perusahaan ini tetap memperhatikan harganya, kalau murah dibeli, sementara kalau harganya naik lebih 10% dari harga beli ya boleh dijual untuk mencari untung. Kalau harganya tidak naik-naik, ya minimal kita mengharapkan dibayarkan "deviden".
Tetapi sebaiknya membeli saham secara mandiri, jangan menyerahkan ke pihak ketiga, keputusan menjual atau membeli sebaiknya di tangan kita sendiri dan bukan si penasehat keuangan.Â
Biasanya kalau saya, memilih saham dengan pertimbangan:
- Saham tersebut dari perusahaan yang terpercaya kinerjanya. Jadi perusahaan ini selama bertahun-tahun terbukti bertahan dan tidak mungkin bangkrut dalam 1 tahun. Ini dapat dibaca dari laporan perusahaan di rapat tahunan pemegang saham.
- Saham yang sedang "salah harga", biasanya harganya 1000, karena pandemi menjadi jatuh 550, maka belilah saya, lalu saat ada vaksin harga si saham melejit jadi 1200 misalnya, saya jual dan tinggal kalikan saja keuntungan saya.
- Saham yang "royal" membagi "deviden". Mungkin harga si saham jarang naik drastis atau turun drastis, tetapi setiap tahun sangat dermawan membagi-bagikan sisa hasil usahanya kepada pemilik saham dan jumlahnya lebih besar dari bunga bank.
Demikianlah pengalaman saya berinvestasi yang aman, yang cepat bisa dicairkan dan kalau toh rugi tidak kesal karena toh salah perhitungan saya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H