"Mau investasi emas, Pak? Bisa dapat keuntungan "sekian persen" dalam sebulan, bla...bla...bla...."Demikianlah telepon seseorang yang mengaku kenal saya di sebuah komunitas dan dengan terlebih dahulu memperkenalkan diri dengan sopan dan ramah.
"Saya uangnya banyak di saham. Maaf. ya." Jawab saya.
"Wah, saham kalau tidak beruntung bisa rugi, Pak. Kalau membeli investasi emas kami, maka jarang rugi."Janjinya lagi.
"Iya, tetapi kan yang memutuskan jual atau beli saya sendiri, kalau investasi emas ini saya tidak bisa jual dan beli langsung sendiri, kalian yang mengelola, kan?"Tanya saya.
"Benar, Pak."Jawabnya.
"Kalau investasi yang kamu jalankan merugi, apakah saya dapat ganti rugi?"Tanya saya. Dia menjawab tidak bisa.
Dan memang kalau kerugian itu kita bawa ke ranah hukum maka akan menjadi perkara perdata yang sulit menang, karena investasi pada dasarnya bisa untung dan bisa rugi.
Untuk yang punya "uang nganggur" atau "uang dingin" yang tidak ada kepentingan dipakai dalam waktu dekat, maka menabung di bank mungkin merupakan pilihan pertama, tetapi karena bunga bank kecil biasanya si empunya uang dingin ini tertarik berinvestasi memutar uangnya. Membuat deposito menjadi pilihan kedua atau membeli emas menjadi pilihan ketiga.
Asuransi sebagai proteksi kesehatan, jiwa maupun usaha tidak dapat dimasukkan investasi menurut saya karena sifatnya menghindari rugi banyak, bukannya mencari untung.Â
Karena pernah hilang uang premi puluhan juta di Asuransi Bumi Asih Jaya yang bangkrut dan dengan kasus asuransi Jiwasraya yang menghebohkan, maka saya sekarang hanya berani asuransi jiwa di salah satu perusahaan luar negeri, tampaknya lebih aman.
Kalau berani ambil resiko ya buat usaha kos-kosan atau restoran, tempat cuci mobil sampai kebun sawit. Membuka usaha seperti ini kalau kita mengerti benar dan kita sendiri yang menjalankan, kalau diserahkan ke orang lain ya sama juga bohong, mendingan beli saham.
Bagi saya, membeli saham sama saja membeli perusahaan yang berinteraksi dalam kehidupan kita. Misalnya, saya suka makan mi instan tertentu, saya pun membeli saham di perusahaan itu.Â
Saya memakai komunikasi dengan "provider" tertentu, maka saya pun membeli saham disana. Investasi di saham perusahaan-perusahaan ini tetap memperhatikan harganya, kalau murah dibeli, sementara kalau harganya naik lebih 10% dari harga beli ya boleh dijual untuk mencari untung. Kalau harganya tidak naik-naik, ya minimal kita mengharapkan dibayarkan "deviden".
Tetapi sebaiknya membeli saham secara mandiri, jangan menyerahkan ke pihak ketiga, keputusan menjual atau membeli sebaiknya di tangan kita sendiri dan bukan si penasehat keuangan.Â
Biasanya kalau saya, memilih saham dengan pertimbangan:
- Saham tersebut dari perusahaan yang terpercaya kinerjanya. Jadi perusahaan ini selama bertahun-tahun terbukti bertahan dan tidak mungkin bangkrut dalam 1 tahun. Ini dapat dibaca dari laporan perusahaan di rapat tahunan pemegang saham.
- Saham yang sedang "salah harga", biasanya harganya 1000, karena pandemi menjadi jatuh 550, maka belilah saya, lalu saat ada vaksin harga si saham melejit jadi 1200 misalnya, saya jual dan tinggal kalikan saja keuntungan saya.
- Saham yang "royal" membagi "deviden". Mungkin harga si saham jarang naik drastis atau turun drastis, tetapi setiap tahun sangat dermawan membagi-bagikan sisa hasil usahanya kepada pemilik saham dan jumlahnya lebih besar dari bunga bank.
Demikianlah pengalaman saya berinvestasi yang aman, yang cepat bisa dicairkan dan kalau toh rugi tidak kesal karena toh salah perhitungan saya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H