Pandemi virus corona sudah berlangsung kurang lebih 6 bulan dengan 4,6 juta kasus dan lebih 300 ribu kematian di dunia yang telah menyebar ke 200-an negara.Â
Di Indonesia sendiri wabah ini sudah menginfeksi lebih 17 ribu orang dengan lebih 1000 kematian dalam 2,5 bulan saja.
Virulensi (keganasan) virus ini sangat fatal yaitu 6,6% dimana tiap 100 orang sakit 6-7 ada yang meninggal terutama yang ada penyakit atau kelemahan menahun sebelumnya, misalnya kanker, diabetes melitus, lupus, asma parah, kurang gizi, dan usia diatas 60 tahun.Â
Bagi tenaga medis dan paramedis ini lebih memilukan lagi karena banyak yang tertular bahkan meninggal meskipun sudah memakai alat pelindung diri (APD).
Beberapa rumah sakit memilih menutup pelayanannya untuk rawat jalan terhadap beberapa spesialisasi yang rentan menularkan dokter-dokternya misalnya dokter gigi, THT (telinga hidung dan tenggorokan), dan mata karena pemeriksaannya dominan di kepala.Â
Sementara itu pelayanan seperti kebidanan, kulit dan bedah yang tidak darurat disarankan ditunda sampai pandemi berakhir.Â
Pertanyaannya kapan ini berakhir? Tidak ada yang bisa menjawab pasti karena Amerika Serikat yang menjadi "polisi dunia"-pun saat ini masih kelabakan memerangi Covid-19.
Tetapi ibarat mobil, pesawat atau kapal selam sekalipun, pasti bensin atau bahan bakar ada batasnya, demikian jugalah pelayanan kesehatan ada batas toleransi penunda-nundaannya dan waspada-waspadaannya atau pembatas-batasannya.Â
Berapa banyak pasien jantung atau "stroke" yang dapat bertahan lebih 3 bulan tidak kontrol, hanya meneruskan obat saja tanpa penyesuaian dosis?Â
Berapa lama ibu hamil menunda pemeriksaan kandungannya untuk mengetahui apakah anaknya tumbuh normal, letak plasenta baik atau apa denyut jantung janinnya teratur? Berapa lama pasien kanker dapat menahan sakit karena kemoterapinya ditunda atau menjadi gagal?
1. Angka kefatalan atau banyaknya kematian penyakit sudah dibawah 2%. Angka psikologis 2% ini mengacu pada perbandingan dengan penyakit demam berdarah yang dianggap sedang berbahaya kalau kematian diatas 2%.Â
Kedua penyakit ini mirip dari beberapa aspek, misalnya trombosit yang menurun, sel darah putih yang menurun dan terjadinya kekacauan imunitas serta tidak adanya obat yang pasti membunuh virus. Dan yang terpenting, bagi yang bertahan, virusnya hilang sendiri dalam 7 hari pada DBD dan 14 hari pada corona.
2. Didapatkan kepastian cara penularan dan pencegahannya. Banyak penelitian tentang cara penularan corona ini yang saling bertentangan dan terkadang membuat jengkel.Â
Tadinya hanya dikatakan cukup cuci tangan, tidak menular dari udara, lalu ada penelitian berikutnya kalau virus ini dapat menular dari udara maka perlu memakai masker dan ada pula perkembangan dugaan menular lewat mata sehingga perlu memakai kaca mata.Â
Bagi petugas medis dan paramedis ini beban tersendiri karena APD lengkap itu sangat tidak nyaman dan seharusnya tidak dilepas selama bertugas 7-9 jam.Â
Yang menyedihkan, malah ada laporan kebanyakan petugas tertular dari tempat ganti APD pula. Kalau benar, maka APD itu malah membuat semakin banyaknya tertular akibat kecerobohan meletakkan dan membukanya bukannya melindungi.Â
Kalau memang pasti penularannya hanya dari mulut-hidung pasien, maka memakai masker dan rajin cuci tangan sebenarnya cukup tidak perlu memakai pakaian APD lengkap sekali yang harganya mahal serta sulit dicari pula. Karena yang benar, semua APD itu kalau sudah dipakai harus dimusnahkan di tempat pembakaran alat kesehatan.
3. Ditemukan "kit" atau alat pemeriksaan yang murah dan mudah dilaksanakan dengan kemampuan menentukan "titer" atau derajat banyaknya kuman.Â
Saat ini pemeriksaan yang pasti adalah memakai usapan mulut dan hidung yang diperiksa pada alat PCR (polymerase chain reaction)Â namun harganya mahal sekali sekitar 1-2 juta dan lama.Â
Misalkan sudah ditemukan alat periksa yang satu kali hanya 100 ribuan dan ada "titernya" seperti pemeriksaan widal pada penyakit tifus, yaitu: 1/80, 1/160 sampai 1/640.
Dimana kalau titernya rendah dan pasien tanpa gejala, boleh tetap aktivitas dengan nasihat tetapi kalau titernya tinggi baru diisolasi atau dirawat. Mungkin suatu saat karena joroknya kita, maka semua orang sudah "tercemar" virus tetapi yang dikarantina hanya yang bergejala berat dan titernya tinggi.
4. Sudah ada vaksinnya. Kalau sudah, maka semua yang belum terkena akan divaksin dan punya kekebalan, jadi tetap dapat beraktivitas biasa. Kalau harga vaksin itu mahalnya 1 juta, misalnya maka nanti status sosial seseorang sangat tergantung vaksin ini, mungkin dia jadi bintang 5 kalau divaksin 5 kali.
5. Pandemi berakhir, biasanya kalau 5 pemilik hak veto di dewan keamanan PBB semua sudah menurun kasus coronanya, maka apapun yang terjadi di negara berkembang seperti kita, maka dunia adem ayem saja.Â
Sebagai catatan penyakit TBC di Indonesia tiap tahun ada 400-900 ribuan kasus TBC baru dengan angka kematian di atas 10%, tetapi karena TBC bukan masalah di negara maju maka kita pun terbiasa menganggap wajar penyakit ini yang cara penularan dan pencegahannya hampir sama persis Covid-19.Â
Kita tidak pernah membuat PSBB atau karantina wilayah walaupun misalnya kasus TBC di sebuah kota naik dua kali lipat.
Demikianlah beberapa pandangan saya tentang "the new normal" di bidang medis menghadapi Covid-19 ini. Mengingat segala teori tentang naik turunnya kasus, statistik, epidemiologi dan cara menurunkan penyebaran memakai beberapa pendekatan "isolasi" ternyata berdampak ke meningkatnya komplikasi penyakit lain yang seolah teranaktirikan karena wabah ini.Â
Belum lagi adanya penurunan pemasukan rumah sakit yang berimbas kepada PHK (pemutusan hubungan kerja) atau dirumahkannya karyawan yang bila berlangsung lebih 6 bulan akan membuat lumpuhnya pelayanan kesehatan secara luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H