3. Penyakit HIV yang mungkin banyak di luar negeri masih sedikit jumlahnya di Indonesia.
Minusnya terapi plasma di Indonesia:
1. Pasien sembuh Covid-19 belum tentu mudah diminta mendonorkan darahnya. Tingkat kesadaran berdonor darah di Indonesia kurang 2% dari jumlah penduduk. Pasien yang sembuh Covid-19 baru 2800 orang dan secara statistik mungkin hanya 40 orang yang bersedia mendonorkan darahnya secara sukarela.
Di Tiongkok dengan 70 ribu lebih pasien yang sembuh mungkin lebih mudah "diminta" mendonorkan darahnya karena mereka menganut sistem pemerintahan komunis di mana kebebasan individu tidak 100% seperti di negara dengan sistem demokrasi.
2. Walau HIV mungkin sedikit di Indonesia, tetapi hepatitis B mungkin lebih banyak kasusnya di negara ini dan darah si pasien mungkin saja tercemar.
3. Teknik pemberian terapi plasma, mungkin di Indonesia pengalaman pemberiannya belum sebanyak di negara lain yang sudah melaksanakan itu sejak wabah SARS, flu burung (H1N1), dan MERS beberapa tahun silam, jadi mungkin saja beberapa komplikasi dan efek samping terjadi.
4. Berapa lamakah antibodi, imunoglobulin spesifik ini ada di tubuh mantan pasien Covid-19? Apakah 3 tahun seperti kekebalan pada pasien SARS, 6 bulan atau 6 hari?
Misalnya si pasien sembuhnya bulan Maret lalu, apakah kekebalannya masih ada atau sudah hilang? Ini yang kita belum dapat memastikan karena memang penyakit ini baru muncul di publik 6 bulan dan ilmunya masih berubah-ubah.
Demikianlah beberapa pandangan saya pribadi tentang terapi plasma darah mantan pasien covid 19 ini dan semoga dapat semakin efektif dilaksanakan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H