Seseram-seramnya virus Covid-19 yang pertama kali "booming" di Wuhan, Tiongkok akhir Desember 2019, itu sebenarnya mutasi dari jenis virus influensa yang tahun 2003 dinamakan SARS.
Virus sendiri adalah mahluk hidup paling kecil dan terkadang dianggap bukan organisme mandiri, hanya serupa protein tertentu yang dapat "mengacaukan" program genetik sel yang ditumpanginya.
Secara imunologi, virus ini biasanya langsung hancur kalau imunitas humoral (cair) di tubuh bagus, yang diproduksi oleh limfosit B, yang dinamakan imunoglobulin tidak spesifik bersifat umum.
Tetapi beberapa penelitian melaporkan, virus Covid-19 ini malah punya kemampuan menurunkan imunitas tubuh dan membuat kerusakan organ terjadi lebih lanjut yang dapat berujung ke kematian. Ini terutama untuk pasien dengan ada penyakit pendahulu (komorbid), seperti diabetes, lupus, kurang gizi, dan orangtua.
Untuk pasien yang terinfeksi dalam jumlah virus sangat besar*, maka virus dapat saja tumbuh di saluran napas tetapi sakitnya tidak bergejala berat dan di hari 5 mulai muncul antibodi terhadap si virus yang spesifik untuk covid-19, dinamakan imunoglobulin spesifik.
*jumlah virus sangat besar disebabkan misal berdekatan dengan pasien lain yang sering membuka mulutnya misalnya berbicara, bersin, dan batuk, atau pasien gigi dan THT yang mulutnya ternganga lama (tetapi imunnya cukup kuat).
Beberapa penelitian di China, Amerika Serikat dan seluruh dunia, menunjukkan plasma darah dari pasien yang sudah sembuh Covid-19, bergolongan darah sama, jika diberikan kepada pasien yang berat gejalanya sampai memakai ventilator, maka hasilnya menunjukkan perbaikan klinis dan percepatan kesembuhan.
Beberapa plus, terapi plasma ini antara lain:
1. Bersifat spesifik untuk virus Covid-19 di Indonesia atau di kota tersebut. Ciri khas virus adalah sering bermutasi. Kalau kita menerima plasma dari Wuhan, Tiongkok atau dari Amerika, hasil donor mantan pasien Covid-19 di sana, belum tentu antibodinya cocok karena virusnya mungkin agak berbeda.
2. Harganya relatif murah kalau didonorkan secara sukarela oleh mantan pasien yang berjiwa sosial tinggi, dibandingkan kalau kita membeli plasma atau imunoglobulin hasil pabrik luar negeri yang harganya sebotol kecil pasti dua jutaan lebih.
3. Penyakit HIV yang mungkin banyak di luar negeri masih sedikit jumlahnya di Indonesia.
Minusnya terapi plasma di Indonesia:
1. Pasien sembuh Covid-19 belum tentu mudah diminta mendonorkan darahnya. Tingkat kesadaran berdonor darah di Indonesia kurang 2% dari jumlah penduduk. Pasien yang sembuh Covid-19 baru 2800 orang dan secara statistik mungkin hanya 40 orang yang bersedia mendonorkan darahnya secara sukarela.
Di Tiongkok dengan 70 ribu lebih pasien yang sembuh mungkin lebih mudah "diminta" mendonorkan darahnya karena mereka menganut sistem pemerintahan komunis di mana kebebasan individu tidak 100% seperti di negara dengan sistem demokrasi.
2. Walau HIV mungkin sedikit di Indonesia, tetapi hepatitis B mungkin lebih banyak kasusnya di negara ini dan darah si pasien mungkin saja tercemar.
3. Teknik pemberian terapi plasma, mungkin di Indonesia pengalaman pemberiannya belum sebanyak di negara lain yang sudah melaksanakan itu sejak wabah SARS, flu burung (H1N1), dan MERS beberapa tahun silam, jadi mungkin saja beberapa komplikasi dan efek samping terjadi.
4. Berapa lamakah antibodi, imunoglobulin spesifik ini ada di tubuh mantan pasien Covid-19? Apakah 3 tahun seperti kekebalan pada pasien SARS, 6 bulan atau 6 hari?
Misalnya si pasien sembuhnya bulan Maret lalu, apakah kekebalannya masih ada atau sudah hilang? Ini yang kita belum dapat memastikan karena memang penyakit ini baru muncul di publik 6 bulan dan ilmunya masih berubah-ubah.
Demikianlah beberapa pandangan saya pribadi tentang terapi plasma darah mantan pasien covid 19 ini dan semoga dapat semakin efektif dilaksanakan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H