"Dokter pernah jadi guru saya tahun 2004 di Akademi Perawat "M".." Kata salah seorang perawat rumah sakit mengaku, karena termasuk yang sikapnya sangat keterlaluan hormat kepada saya kalau aku datang ke bangsal dan dia giliran menemani "visite" (kunjungan pasien rawat inap). Perawat lain terkadang ada yang berani bercanda dari candaan basa-basi yang sopan, sampai yang rada-rada 17 tahun keatas.
"Oh, iya, ya. Saya masih residen waktu itu (pendidikan spesialis), mengajar kalian pernapasan dan perkemihan, ya?" Tanya saya.
"Iya, dok. Kami sekelas suka kalau dokter mengajar pasti cepat, cuma setengah jaman dan lucu-lucu contoh-contoh kasusnya, jadi mudah diingat..."Katanya.
Walau gaya mengajar saya suka bercanda, namun sebagai murid, dia tidak bisa melepaskan rasa hormatnya kepada guru, apalagi di bidang kesehatan tidak dikenal istilah "bekas guru", sekali guru tetaplah guru, walaupun si guru ini malah pendidikannya nantinya lebih rendah dari muridnya. Misalnya, saya hanya spesialis, murid saya dapat menjadi doktor, dia akan tetap hormati si guru ini sebagai yang dituakan.
Ya, tahun itu sekali mengajar saya digaji 100 ribuan, terakhir tiga tahun lalupun persekali pertemuan saya dikasih honor 200-an ribu, lalu ada uang buat soal dan koreksi soal semesteran di 200 ribuan juga, kalau tidak salah. Satu semester ada 6 kali pertemuan, jadi perenam bulan saya kurang lebih dapat 1,4 juta-an dari lembaga pendidikan kesehatan itu.
Hebatnya, saya mau saja disuruh mengajar tanpa negosiasi harga ilmu saya, karena memang saja suka saja mengajari orang dan kedua saya sudah ada penghasilan utama sebagai dokter. Tetapi status saya tetaplah guru honorer, karena lembaga pendidikan tersebut belum mampu mengangkat tenaga pengajar S2 secara permanen dari spesialis, kalau master kesehatan sepertinya ada.
Saat ini, saya malah tiap hari mengajar secara tidak resmi dokter magang (internship) di rumah sakit tentang kasus-kasus penyakit dalam yang bayarannya disatukan dengan gaji dari rumah sakit, maksudnya, saya ada tugas membimbing dokter-dokter yunior saya di rumah sakit, sebagai bagian dari perjanjian kerja, berapapun jumlah mereka dan berapa kalipun kami bertatap muka, gakinya tetap itulah. Tetapi karena saya suka mengajar, ya tidak masalah.
Bukan hendak merendahkan guru honorer untuk sekolah TK sampai SMTA, tetapi memang sebenarnya guru honorer itu dibayar "pas-pasan" karena ada yang mau dibayar begitu.Â
Saya pun mau dibayar seperti diatas, karena memang senang mengajar dan bayaran menjadi penting dan tidak penting. Bagi guru honorer di sekolah pemerintah, saya yakin motivasinya adalah diangkat menjadi ASN (aparatur sipil negara), bagi guru honorer yang di sekolah swasta agak mahal, mungkin saja ada "side job" menjadi guru les tambahan bagi muridnya sendiri di rumah, mengingat siswanya memiliki orang tua yang lumayan mampu misalnya.
Mirip dokter, yang walaupun di rumah sakit pemerintah penghasilannya sedikit lebih tinggi daripada ASN lain, namun dengan bekerja di rumah sakit besar, memiliki nilai marketing tersendiri untuk praktek pribadinya di sore hari dan punya posisi di perkumpulan dokter-dokter.
Maka itu, saya menyarankan setiap guru honorer atau calon guru honorer memikirkan apakah benar-benar serius mau menggantungkan diri 100% dengan pekerjaan itu dan tidak ada penghasilan lainnya? Kalau iya, saya sarankan kencangkan ikat pinggang, rajin-rajinlah ibadah di sela-sela waktu mengajar anda dan anak usahakan satu saja, karena biaya hidup saat ini tinggi.Â
Tetapi diingatlah, bahwa keputusan menjadi guru honorer itu adalah keputusan anda dan tidak ada paksaan, lalu motivasinya memang hanya memberi ilmu ke anak didik. Kalau ada yang mengajak demonstrasi, pikirkanlah lagi motivasi dan keputusan anda yang total mengajar tadi.
Namun bagi guru honorer yang punya penghasilan tambahan dari membuat les privat, jadi pengendara aplikasi "online", yang sambil jual makanan atau pakaian, terus bina usaha anda yang lain dan kalau sudah maju, ya tinggalkan saja pekerjaan guru honorer, kecuali anda sangat-sangat suka mengajar tanpa dibayarpun mau.
Karena sebenarnya asumsi saya, guru di sekolah itu seharusnya tetap semua, tidak ada honorer satupun. Kalau ada kekurangan guru, dapat guru tetap PNS atau swasta lain yang dilemburkan mengajar atau diperbantukan di sekolah lain yang kekurangan.Â
Menjadi aneh, kalau ada sekolah kekurangan guru (misalnya di tempat terpencil), tetapi yang diambil guru honorer, kalau ada guru tetap diangkat ternyata cuma beberapa tahun atau beberapa bulan, pindah ke kota besar. Lebih lucu lagi, konon sekolah di kota besar yang gurunya seharusnya lengkap, ternyata masih ada guru honorer yang tugasnya menggantikan guru tetap yang banyak kesibukan lain di luar sekolah, misalnya.
Jadi, selagi masih ada yang mau menjadi guru honorer tetapi kecewa dengan keputusannya dan pendapatannya, maka akan tetap ada ketidakpuasan. Tetapi kalau sudah tidak ada lagi yang mau menjadi guru honorer, dijadikan tetap atau tidak sama sekali, maka yang pusing pastilah sekolah dan pemerintah, mencari anggarannya dari mana, tetapi tidak akan pernah ada demonstrasi para guru honorer karena profesi itu sudah punah.
![sumber: dokumentasi kompal](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/05/02/kompal-5ccb1f8b3ba7f704531fe9b2.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI