"Terlalu "retok" multi partai ini, Bung. Mungkin paling banyak 5-lah. Yang Nasionalis 3 atau 2, sebaliknya juga yang relijius juga begitu." Kata Tuan Takurrasa, seorang pengendali perpolitikan negeri Lohjinawi, dimana dialah yang punya "blue print" atau "grand design" kearah mana angin berhembus di 5 tahun, bahkan 10 tahun ke depan.
"Jadi, kami harus usahakan calon presiden dan wakil presiden dari partai kami yang nasionalis,supaya pemilih relijius pindah ke pihak lawan? Apakah maksud Tuan Takurrasa saya harus menyerah sebelum berperang?"Â
Bung Perkasa sang calon presiden kubu Timur sepertinya tidak terima, dia yakin masih ada harapan menang, walau untuk pemilihan kali ini dia tidak mau lagi menggadaikan perusahaan-perusahaannya hanya untuk bagi-bagi uang sawer ke peserta kampanye dan untuk bagi-bagi kaus. Boros dan kurang efektif, malah kesannya "diporoti" warga. Ngapain bayarin rakyat joget-joget dengan biduan kalau nantinya mereka masih "akadnya" dengan yang lebih populis.
"Realistis sajalah, pemilihan kali ini masih "dejavu" periode lalu, milik kubu Barat, saya tahu kekuatan mereka dan kekuatan kalian, relatif sama, malah mereka lebih kuat sedikit. Yang penting kalau calon presiden dan wakil presiden dari partai anda, maka hampir pasti kalian akan melewati batas "electoral treshold" di parlemen yang 10 % itu, sementara dua atau malah tiga partai penggembira di koalisi anda akan tersisih otomatis." Tuan Takurrasa mengintimidasi sekaligus memberikan peluang, pemilihan 5 tahun lagi kesempatan partainya Bung Perkasa menjadi juara lebih besar kalau jumlah partai di negeri Lohjinawi hanya tersisa 3-5 buah.
"Kesempatan saya hanya kali ini. Periode mendatang saya sudah habis..."Bung Perkasa bicara nelangsa.
"Salah. Negeri Semenanjung di sekitar kita pemimpinnya malah berusia 103 tahun, masih menang pemilihan. Tambah tua, tambah berminyak, seperti kelapa....."Pancing Takurrasa lagi.
"Baiklah, ini pemanasan buat lima tahun lagi, asal saja jangan muncul orang-orang bernasib baik yang baru, dianya baru belajar politik 2-3 tahun tiba-tiba langsung jadi presiden."Keluh Bung Perkasa merasa "kecele".
Si pemimpin partai jago karate ini, tidak pernah takut sama jawara, tidak takut dengan orang kaya tajir melintir, tidak takut sama cowok ganteng atau orang pintar bicara mutar-mutar. Dia justru takut dengan orang bernasib, yang apapun kita lakukan untuk mengalahkannya, masih dialah yang menjadi juaranya.
Tidak menunggu lama, Bung Perkasa memanggil Bung Andew Youknow, ketua tim pemenangan pemilihan umum partainya membahas informasi ini. Jangka pendek mungkin terkesan mereka kalah, tetapi jangka panjang kalau pasangan capres-cawapres dari partai mereka "Sayap Bergelora", maka simpatisan akan semakin banyak dan partai pendukung lainnya akan tergerus lalu terpaksa kadernya "ganti casing" ke partai mereka yang mampu terpilih melewati angka dua digit.
"Tetapi sebaiknya wakil presiden dari yang punya gelar relijius. Tokoh seperti itu di partai kita sedikit dan kurang populer."Bung Andrew Youknow ragu.
"Gelar relijius nanti dapat dihibahkan ke kamu, kalau Bung Andrew lebih alim sedikit kelakuannya beberapa bulan ini. Saya sudah diskusikan ke partai-partai lain. Ada yang mau kasih gelar itu secara "honoris causa" sementara di masa kampanye. Selesai pemilihan, menang atau kalah, gelar ditinjau ulang.." Janji Bung Perkasa "manstaf".
"Saya harus bayar mahar juga? Mereka mintanya berapa?" Tanya si Bung mulai tertarik dan berhitung. Membeli dukungan politik di Negeri Lohjinawi bagi pengusaha sebenarnya tidak rugi-rugi amat, malah terkadang untung. Saham perusahaan yang dia dirikan semuanya naik ketika nama Bung Andrew populer di dunia maya ataupun berita "mainstream".  Walaupun aktifitasnya tidak terlalu hebat, hanya naik sepeda keliling  pasar, senam di gelanggang olahraga ataupun belanja bawang dan cabe dengan uang warna merah.
"Seikhlas kamu, tetapi mengertilah selera teman-teman kita itu. Jangan membuat mereka merasa dilecehkan kalau dikasih murahan, karena mereka tahu resikonya menyerahkan posisi wakil itu berarti kemungkinan besar suara partai mereka jatuh."Si Bung memberi wejangan penuh wibawah.
Andrew Youknow, "the rising star" partai itu mengerti bahwa momentum saat ini bukan semata-mata memenangkan pemilihan yang di depan mata, tetapi membuka jalan untuk periode ke depan. Namanya akan semakin populer walaupun kalah kali ini dan lima tahun selanjutnya hampir pasti seluruh negeri ini mengenalnya.
Pertemuan penuh bujuk rayu dan janji manis yang menyentuh kalbu dijalankan pada dua partai penting yang selama ini ngotot mendapatkan jatah wakil presiden.Â
"Saya tidak mau menyakiti salah satu partai koalisi Timur untuk memilih salah satunya menjadi wakil Bung Perkasa. Maka saya menawarkan diri mewakili kedua partai sekalian dan atas kepercayaannya, saya akan memberikan uang damai seharga dua mobil sport mewah. Bagaimana, Setuju?" Tawaran Bung Andrew.
"Walau berat hati, saya juga tidak melihat ada kemungkinan lain. Kondisi memang sesulit ini. Tapi bisakah  kedua mobilnya saya minta tambah ban serepnya masing-masing dua? Saya suka ngebut dan bannya suka cepat haus." Kata Bung Jelly Kos-kosan, dari partai "Surya Kala Senja".
"Kami juga sudah maklum. Tetapi tolong dananya jangan ditransfer, mudah dilacak orang. Bawa saja pakai kulkas kecil, antar ke kantor."Tegas pernyataan Tuan Wiskul Roman dari partai "Bagiroto", dia sangat takut aliran uang itu dilaporkan ke aparat hukum oleh bank, karena memang undang-undang saat itu mewajibkan adanya investigasi kalau ada politikus mendadak dapat dana besar tetapi tidak melaporkannya ke pihak berwenang dalam 7 x 24 jam. Â Â Â
Delapan bulan berlalu, pemilihan umum terjadi dan benar saja hanya lima partai yang tersisa di parlemen, dua beraliran nasionalis murni, dua aliran relijius murni dan satunya lagi partai yang memadukan prinsip nasionalis relijius.Â
Belasan partai lain yang gagal melewati angka dua digit harus menerima kenyataan bubar jalan atau konsolidasi untuk 5 tahun berikutnya dengan mengubah nama baru, ditambahi sedikit kata atau dikurangi beberapa hurup atau dibuat type 2,3,4-nya. Selama undang-undang mengijinkan, "why not"?
Presiden terpilih sudah bisa ditebak, karena saat kampanye beliau tidak membuat "slip tongue" yang berarti yang dapat dipelintir menjadi isu yang bak "tsunami politik". Istilahnya "merem dan diem aja" sudah pasti menang, ngapain juga harus membuat kampanye berlebihan.
Tetapi 5 tahun selanjutnya memang popularitas Bung Andrew Youknow tidak terbendung, perusahaannya semakin maju, sementara Tuan Perkasa yang sudah capek berpolitik, menyerahkan esafet partai kepadanya. Â
"Sekarang, atau tidak sama sekali. Partai ini harus mengantarkan kadernya jadi presiden sekali ini. Karena tidak pernah ada 7 lembaga survey yang "credible" semua sepakat popularitas Bung Andrew diatas 65%." Kata Tuan Perkasa.
"Apakah saya perlu minta gelar relijius "honoris causa" lagi supaya menang kali ini, pak?" Tanya Bung Andrew memohon petunjuk teramat sangat.
"Sebaiknya tidak usah. Kita jangan merendahkan gelar itu demi pemilihan dan kampanye. Gelar itu bernilai luhur, bernilai syarat-syarat intelektual tertentu dan punya pengakuan-pengakuan berjenjang, tidak bisa mendadak relijius. Kasihan yang memberi gelar dan juga kamu yang menerima gelar...."Pesan Bung Perkasa penuh kearifan.
Dan memang garis tangannya sudah tersurat menang periode itu, Bung Andrew Youknow pun menjadi presiden Negeri Lohjinawi dengan kampanye yang seadanya, sederhana saja, tanpa perlu gelar tempel sana sini yang tidak perlu, karena rakyat memilih pemimpin pejuang dan pekerja keras bukan pemimpin pengejar gelar dadakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H