Masyarakatpun seharusnya tahu bahwa keberadaan rumah sakit-rumah sakit belakangan ini sebenarnya adalah karena adanya "zuster" biara yang melayani orang sakit rawat inap. Sementara dokter sebenarnya melayani dari rumah ke rumah atau di "kliniknya" seperti jaman dahulu yang basisnya adalah rawat jalan dan tidak rawat inap.Â
Inilah dilema profesi keperawatan sebenarnya, dimana di satu sisi kemunculannya berdasarkan "keikhlasan" melayani penderita sakit yang perlu perawatan yang awalnya memang cuma-cuma, tetapi di sisi lain sudah termasuk profesi yang dibutuhkan oleh orang sakit dimana saat pulang ke rumahpun keluarganya tidak mampu mengurusi dan terbuka peluang pelayanan "home care" yang dapat memanggil perawat ke rumah dengan tarif khusus atau negosiasi antar perawat dan keluarga tersebut.Â
Beberapa rumah sakit pun sebenarnya sudah menerapkan ada tunjangan fungsional untuk perawat yang berbeda-beda berdasarkan "skill" mereka, dimana perawat yang hanya punya keterampilan membagi obat atau menyuntik obat saja berbeda dengan perawat yang sudah punya kemampuan untuk asistensi di kamar operasi, menjahit luka dan melakukan pelayanan cuci darah, misalnya.
Yang terpenting, semua perawat harus menjalankan profesinya dengan bahagia, karena itulah pilihan hidupnya. Saya pribadi termasuk orang yang sangat mengagumi profesi ini karena terlahir dari rahim seorang perawat, yaitu  ibu saya yang mengabdikan hidupnya 40 tahun di dunia keperawatan sampai pensiun di tahun 1999.
Selamat hari perawat sedunia, semoga keikhlasan pelayanan dan penghargaan profesi ini dapat berjalan seiring di tahun-tahun mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H