"Kenapa kamu mengaku dan meminta maaf?"Tanya Lowyi, teman Hilafi, perawat yang dituduh melakukan pelecehan terhadap pasien wanita yang baru selesai dioperasi usus buntu di sebuah rumah sakit terkenal di Kota Timur. Kebetulan Lowyi bekerja di sebuah biro hukum.
"Saya dipaksa mengaku dan mereka berjanji kalau saya mengaku, masalah dianggap selesai dan saya diberi pesangon kalau dipecat."Jawab paramedis itu terpucat, tidak menyangka masalahnya akan serumit ini.
"Sebenarnya kamu memang meraba-raba dada si pasien?Ayo, jujur saja..."Selidik temannya itu penasaran.
"Saya akui pasien itu cantik, mulus, memegangnya iya, tetapi hampir semua petugas laki-laki di operasi itu memegangi tubuh si pasien saat memindahkan ke tempat tidur pemulihan, karena yang dinas di kamar operasi kami kebanyakan laki-laki karena menuntut siap kerja lembur dan fisik yang kuat. Beberapa teman membicarakan keseksian pasien itu dan saya memang terakhir kesana melihatnya dan sedikit memegang, ternyata si Pasien sudah setengah sadar dan berteriak-teriak."Keluh Hilafi.
"Berarti memang tidak ada saksi saat kamu menjamah dia atau tidak menjamah dia?" Lowyi menemukan kata-kata kunci, tidak ada saksi.
"Tidak ada seorangpun melihat dan saya pun kecapean, tidak ingat apakah hanya melihat, menyentuh, meremas atau mencium, semua begitu kabur..."Aku si tersangka.
Standar di tempat operasi memang tidak boleh ada kamera perekam, karena dapat dipakai oleh oknum rumah sakit untuk menyebarkan aktifitas operasi yang terlihat kejam bagi awam. Bila diperlukan perekaman demi ilmu pengetahuan atau seminar, maka harus ada ijin dari Pasien dan ijin rumah sakit perekaman untuk tujuan ilmiah.
Intinya, adegan apa yang terjadi saat Hilafi didekat sang Korban, anak gadis yang masih kuliah, foto model, yang baru selesai operasi usus buntu dan dalam kondisi sepersepuluh sadar, seperempat sadar, setengah sadar, dua pertiga sadar merasa bagian tubuh sensitifnya "dikerjai" oleh seseorang atau sekelompok orang yang samar dan terakhir yang terlihat jelas adalah wajah Hilafi, sebenarnya tidak ada saksi. Tidak ada rekaman kamera disana, si Pasien juga kesadarannya belum pulih benar dan saat divisum, sidik jari di bagian dada gadis itu banyak sekali, tidak jelas karena tumpang tindih.
Yang ada bukti fisik hanya rekaman pengakuan Hilafi dan adegan salam-salaman minta maafnya ketika disuruh mengaku melecehkan si gadis model. Video ini menjadi viral di sosial media dan kemudian banyak pengacara menghubungi si model apa mau diteruskan kasusnya atau tidak.
"Rumah sakitnya bisa dimintai pertanggungjawaban. Itu salah prosedur dan saya yakin, bukan ini kasus pertama...Ada pembiaran....Mbak bisa jadi pahlawan kalau ini dibawa ke ranah hukum..."Tawaran salah satu pengacara ternama pada Korban.
"Tetapi katanya ini hanya masalah etika, bukan pidana, karena alat buktinya sulit." Si Korban, yang model juga ternyata mengerti hukum pidana.
"Maaf, Mbak. Kita memang tidak berniat sampai ke pengadilan, paling-paling nanti negosiasi ke rumah sakitnya, supaya damai....Biar Saya yang urus, nanti 50% dari uang damainya untuk Mbak, 50% lagi untuk operasional saya. Bagaimana?" Mata berbinar si praktisi hukum itu membuat pusing si Korban yang baru saja terguncang diraba-raba oleh oknum atau oknum-oknum (dia bahkan lupa jumlahnya, karena efek pembiusan itu membuat samar-samar), tambah terguncang lagi mau dipakai kasusnya sebagai alasan memeras rumah sakit tempatnya dioperasi. Memang ada hikmahnya juga, kejadian ini membuat semua biaya operasi digratiskan, tetapi kalau sampai mau memeras lagi, dia belum sampai kesitu maunya.
"Nanti dahulu, Pak. Saya pikir-pikir, ya. Saya tidak suka kasus ini membuat nama baik Saya jadi jelek kalau terkesan memeras, Saya hanya ingin keadilan, etika ditegakkan, wanita dihargai diseluruh rumah sakit di dunia ini dan petugas kesehatan jangan mudah khilaf. Itu saja. Tetapi saya bukan pemeras dan aji mumpung. Saya butuh waktu istirahat...." Si Nona memanggil perawat jaga yang kali ini wanita untuk mempersilahkan pengacara terkenal di Kota Timur itu pergi. Dia mau memulihkan fisiknya, pikirannya dan jiwanya.
"Jangan lama-lama memikirkannya, Mbak. Nanti kasusnya basi. Mumpung jadi viral ini...."Katanya sambil berlalu.
Di tempat lain Hilafi pulang ke rumah dengan lunglai, istrinya menatap wajahnya antara sedih, marah, jengkel dan pasrah, "Kenapa harus jadi begini, Pa?" Dan setelah mengatakan itu si istri menangis sejadi-jadinya, Hilafi berusaha memeluk pujaan hatinya itu tetapi si istri tidak sudi.
"Maaf, Ma. Aku khilaf...."Katanya.
"Jangan sentuh aku dulu. Carilah pekerjaan baru, baru aku maafkan..." Kemudian si istri membereskan pakaiannya dan dua anaknya, lalu pergi ke Kota Selatan, tempat orang tuanya.
Missy, sang korban, keesokan harinya memutuskan melanjutkan kasus ini dengan sang pengacara ternama, menuntut si pelaku dan menuntut rumah sakitnya karena kejadiannya disana.
"Ini bukan soal balas dendam atau soal uang damai. Ini soal perjuangan mewujudkan ruang operasi, ruang perawatan yang beretika dan yang menghormati pasien. Mari kita lanjutkan pak Pengacara. Sebab kalau berhenti disini saja, akan ada korban-korban lainnya. Biar ada pembelajaran dan efek jera. Kalau ada uang damai disana, itu bonus....."Dia pun menyalami sang Pengacara dan memberikan tanda tangan surat kuasa melanjutkan kasusnya.
Sang Pengacara beberapa kali bermediasi dengan pihak rumah sakit dan akhirnya terjadi kesepakatan damai, nilai damainya tidak dipublikasikan, namun konon seharga mendatangkan seorang mantan bintang sepak bola di klub terkenal Eropa ke negeri itu.
Hilafi konon tidak dapat lagi menjalankan profesinya sebagai perawat karena ditarik ijin prakteknya dan sekarang menjadi pengendara angkutan aplikasi yang sangat sopan terhadap penumpang wanita.
Rumah sakit ternama yang ketiban sial kasus ini mulai membenahi prosedur perawatannya, dimana harus ada dua petugas yang minimal salah satunya wanita kalau mengurusi Pasien wanita. Semua petugas di rumah sakit dari kebersihan, satpam sampai dokter spesialisnya dipsikotest ulang dan kalau ada kecenderungan genit, harus ditatar ulang cara bersikapnya terhadap lawan jenis.
Missy, sang foto model dan mahasiswi mendadak terkenal, menjadi bintang iklan, bintang film dan semacam duta kesetaraan gender di negeri itu.
Sang Pengacara? Ya, dia tetap membela hak-hak hukum clientnya.Walau sekilas terlihat seolah motivasinya uang, namun upaya hukum dan mediasi yang dilakukannya dengan rumah sakit tempat kejadian perkara, membuat semua rumah sakit lain di negeri itu berbenah dan semua petugas kesehatan baik pria maupun wanita membiasakan diri bekerja sesuai job description-nya dan jangan iseng menambah-nambah aktifitas lainnya.
Happy ending?Iyalah. Setiap fiksi harusnya begini, semua tokoh menemukan solusi, walau dalam realitas dapat sangat berbeda jauh panggang dari api.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H