Rujukan BPJS Kesehatan dari Fasilitas Kesehatan Primer  (FKTP) ke rumah sakit tipe D atau C ada dua jenis, yaitu untuk penyakit kronis dan non kronis. Penyakit kronis kurang lebih adalah penyakit yang hampir pasti seumur hidup si pasien harus makan obat tertentu karena penyakitnya hanya bisa terkendali dan tidak dapat sembuh total sementara penyakit non kronis adalah penyakit yang dianggap dapat diperbaiki mendekati kondisi normal dan tidak harus ketergantungan dengan obat-obatan tertentu.
Selama ini rujukan penyakit kronis berlaku 3 bulan dan yang non kronis berlaku 1 bulan. Pasien kronis dapat diberikan obat 1 bulan dan selama 3 bulan itu dapat berobat 3 kali, sesudahnya dapat dibuat rujukan balik untuk mendapatkan obat dari Program Penatalaksanaan Penyakit Kronis (PROLANIS) atau disuruh meminta rujukan ke rumah sakit kembali karena belum ditemukan dosis obat yang cocok.
Pasien non kronis pun dahulunya, sebelum 1 januari 2018 dapat berobat 1,2,3,4 bahkan 5 kali dalam sebulan tergantung dokter spesialis di poliklinik membuat waktu kontrolnya.Â
Apa masalahnya? Ternyata setelah dipelajari oleh BPJS Kesehatan, pasien yang berobat 2-5 kali sebulan di poliklinik spesialis dilihat obat-obatannya sama saja. Misalnya obat maag, kontrol 1 sampai ke 5 obatnya sama, kenapa harus 5 kali? Jawabannya sih kalau kami dokter spesialis karena memang dahulu itu tidak dilarang dan bertemu dokter tambah sering pasiennya senang-senang saja, termasuk psikoterapi juga, membuat edukasi, sesekali curhat dan memotivasi hidup lebih sehat. Tetapi dari sisi BPJS Kesehatan ini adalah biaya. Bayar 5 x dan 2 kali itu berbeda, kalau 1 juta pasien saja seperti ini maka selisihnya 3 juta dikali 190-300 ribu, sekitar 600-an milyar. Bagaimana kalau sebulan ada 100 juta pasien rawat jalan?
Mulai tahun ini ada semacam rambu-rambu bahwa rujukan non kronis BPJS Kesehatan hanya diperuntukkan untuk menegakkan diagnosis semaksimal mungkin dalam satu kali pertemuan, lalu selanjutnya dikembalikan ke fasilitas kesehatan primer (FKTP) untuk pengobatan lanjutan sampai keluhan berkurang dan sehat.
Misalnya begini, pasien dirujuk dengan sakit batuk menahun, ada darah. Maka rumah sakit rujukan harus memeriksa ronsen atau dahak atau darah dan menyimpulkan sakitnya si pasien apa, lalu dikembalikan ke FKTP. Untuk pemeriksaan itu seharusnya perlu 1 hari, kalau tidak selesai 1 hari ya 2 hari, berarti besoknya pasien datang lagi dan diberi obat, tetapi pertemuan dua hari itu dianggap 1 paket. Lalu contohnya pasien kembung kronis, di rumah sakit dilakukan USG atau pemeriksaan darah atau kencing dan kalau tidak selesai hari itu dapat datang lagi esoknya baru dikasih obat dan dikembalikan ke FKTP, pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dan obat dalam beberapa hari itu dianggap 1 paket.
Tujuan ketentuan ini ada baiknya, antara lain:
1. Rumah sakit dan dokter spesialis tidak memecah-mecah beberapa pemeriksaan dalam sebulan untuk menambah episode kontrol, BPJSK lebih efisien membayar.
2. Poliklinik rawat jalan tidak dijejali ratusan pasien BPJS K yang hanya kontrol untuk menunjukkan hasil-hasil laboratorium atau ronsen yang nantinya hanya dilihat 1-2 menit, ini mencegah penularan penyakit nasokomial juga.
3. Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer lebih diberdayakan untuk mengobati pasien yang sudah ketemu diagnosis pasti dan obatnya, sehingga pasien tidak hanya menumpuk di rumah sakit tetapi juga menyebar di FKTP.
4. Pasien BPJS Kesehatan yang 'malas' balik ke FKTP dan sudah 'kesengsem' berobat dengan dokter spesialis seperti saya, mungkin saja jadi beralih sesekali berobat mandiri tidak melulu mengandalkan BPJS Kesehatan buat kontrol dan ini merupakan "Cost Sharing" yang tidak menyalahi aturan, karena secara sadar mereka mendaftar secara umum, tidak pakai rujukan.
Namun ada beberapa dampak negatif yang perlu diwaspadai:
1. Kesiapan FKTP menyediakan obat-obatan yang sesuai dengan penyakit pasien, misalnya mereka sudah tercicip obat maag  yang klas I, apakah obat tersebut sanggup disediakan di FKTP sampai 2 bulanan? Padahal pembayaran kapitasinya tetap? Khusus pasien orang tua dengan gangguan nyeri yang menahun dan pergeseran tulang belakang, apakah dapat diberikan obat antinyeri yang cukup kuat dan aman bagi lambung dan ginjal?
2. Kesiapan peserta, apakah sudah tersosialisasikan bahwa rujukan non kronis mungkin saja hanya dapat dipakai 1 kali walau masa berlakunya 1 bulan? Pasien BPJS K yang tidak tahu peraturan baru biasanya pasrah saja dikembalikan ke FKTP, tetapi anak-anaknya atau menantunya biasanya yang marah-marah tidak terima.
3. Rumah sakit yang 80%-100% pasiennya dari BPJS Kesehatan pasti akan jauh berkurang kunjungan polikliniknya, bila dokter spesialisnya tidak mampu menunjukkan kinerja yang baik. Jadi, misalnya pasien BPJS Kesehatan rujukannya tidak laku lagi dan mau berobat mandiri, mereka memilih spesialis di rumah sakit lain yang lebih 'dipercaya' dibandingkan di rumah sakit ini, mereka terpaksa ke rumah sakit itu karena rujukannya mengarahkan kesana.
Suka atau tidak suka langkah ini perlu BPJS Kesehatan ambil karena pemberdayaan FKTP harus lebih dioptimalkan, mengingat 4 tahun pelaksanaan BPJS Kesehatan klaim pelayanan di rumah sakit semakin meningkat termasuk penyakit katastropik yang seharusnya dapat dicegah dan dikendalikan sejak tingkat dasar. Peranan promosi, prevensi dan edukasi yang baik seharusnya dapat mengendalikan dua penyakit utama yang membuat biaya penyakit katastropik terbesar yaitu diabetes melitus dan hipertensi suka atau tidak suka dapat dinyatakan gagal.
Memang program Jaringan Kesehatan Nasional adalah program strategis pemerintah, namun sumber dananya bukannya tidak terbatas, segala macam kemungkinan inefisiensi dan inefektifitas seharusnya dikendalikan sampai seminim mungkin.
Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H