"Aku butuh istri Deara, dia hanya butuh pacar. Aku butuh 6 bulan berpacaran, untuk memutuskan menikah atau berteman saja, bukan 4 tahun.Kalau kau juga butuh suami, kau bisa menghubungiku kapan saja....." si Bung menawarkan diri jadi penyelamat hati.
Dua minggu kemudian cerpen Deara terbaca kata-kata yang begitu indah, "...Romantisme cinta, mendayu-dayu rayuan pulau kelapa telah mengiang di telinga bertahun-tahun tetapi tanpa janji setia di hadapanNya...Cukup sudah, walau si dia selalu nyablak bicara, tidak ada halus tutur katanya, tetapi dia menjanjikan sebuah ikatan abadi selamanya dan berharap dari rahimku lahir anak-anaknya....."
Si Bung langsung 'menjapri' Deara setengah jam kemudian.
"Maaf Deara. Kamu sudah dilamar siapa?"
"Belum ada, Bung. Tetapi yang pasti aku sudah tidak digantung lagi, kami putus..."Jawabnya.
"Ada yang lain yang kau tunggu? Atau aku bisa langsung melamarmu?" Sekali 'nyablak' tetap 'nyablak'..
"Tidak ada antrian lain, Bung. Aku siap kapan pun kamu mau..." Seperti berharap, seperti pasrah.
"Aku akan terima kamu apa adanya, Deara. Aku tidak akan tanya apa-apa lagi tentang 4 tahunmu bersamanya.."Janji Bung.
"Tenanglah Bung. Aku tahu apa yang harus kujaga.....Kamu tidak akan dapat sisa...." Kali ini Deara berani menjanjikan keutuhannya.
Tidak perlu lama, 3 bulan kemudian Bung dan Deara menikah, warganet di Mediana pun bahagia merayakannya.
Namun ada sedikit rasa kehilangan, karena si Bung tidak main di fiksi lagi, dia kembali ke habitat arsiteknya, sementara Deara beralih menulis ke 'parenting' serta lingkungan hidup dan wisata.