"Pak dokter harus beli!"Kata Mang Dues K. Arbain, yang bekerjanya di Bank BRI yang menjadi salah satu mitra di Kompasianival 2017. Saya dengan setengah terpaksa membeli kartu senilai 50.000 rupiah dengan satu alasan belum tahu mau dipakai dimana kartunya.
"Iya, ini non tunai pak. Saya jalan di luar negeri, sesampai di bandara pasti cari kartu beginian dahulu. Karena di semua restoran, angkutan, fasilitas rekreasi dan belanja menerima kartu beginian. Kalau di Palembang saya belum mengerti dimana pakainya...."Alasan keraguan saya.
Salut pada pak Dues yang disela-sela liburan dan reunian semacam Kompasianival masih punya semangat 'marketing' untuk produk perusahaan tempatnya bekerja, padahal Jakarta bukan wilayah kerjanya. Kalau saya sih liburan ya liburan saja, sesekali ngobrol kesehatan boleh, tetapi harus sesantai mungkin.
Di negara eropa tengah seperti Slowakia pun sudah mulai dipakai kartu non tunai untuk kegiatan pariwisata, jadi dengan membayar uang sebanyak 200-an ribu kurang lebih kita bisa berkunjung ke semua tempat wisata dan bisa menaiki semua angkutan umum di kota itu untuk 24 jam.
Dan untuk di Jakarta, kartu non tunai sudah menjadi syarat utama untuk yang bawa kendaraan roda empat sendiri atau naik taksi, karena hampir semua jalan tol sudah mengurangi pembayaran tunai dan memilih non tunai. Supir taksi pun tidak semuanya punya kartu non tunai dan terkadang jadi repot harus ke mini market dulu buat membeli atau mengisinya.
Nah, sebaiknya jangan tanggung-tanggung, kalau mau non tunai, maka pemerintah harus membuat aturan supaya semua fasilitas umum berbayar mempunyai alat penerima bayaran non tunai, supaya budaya tanpa kertas semakin memasyarakat dan hutan-hutan tropis kita tidak perlu dicukur gundul lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H