[caption caption="Sumber: antivenom. Sumber: malct32.blogspot"][/caption]"Waduh, kenapa lukanya sudah busuk begini?" tanya saya pada pasien yang kaki kirinya membusuk digigit ular seminggu yang lalu.
"Sudah ke Puskesmas, Dok. Tetapi katanya dikasih obat dulu 3 hari, baru kalau tidak sembuh lukanya, bisa dirujuk," jawab si pasien laki-laki usia 50 tahunan.
Dia bercerita ularnya tidak jelas warnanya apa, di pekarangan rumahnya menggigit tumitnya lalu menghilang di semak-semak dan kebetulan saat itu malam.
Pada pemeriksaan laboratorium gula darah si bapak normal, namun trombositnya turun, sel darah merahnya turun dan sel darah putihnya naik. Tanda-tanda gangguan penggumpalan darah juga ada.
"Saya kasih obat pelancar darah, sepertinya ada pembuluh darah tersumbat," kata saya pada dokter bedah umum yang bersama-sama menangani kasus ini.
Benar saja, setelah dua hari diberi obat pengencer darah, justru trombosit, leukositnya menjadi normal, namun hemoglobin (Hb) yang di bawah 7 harus ditransfusi, karena untuk operasi membersihkan jaringan yang busuk di kaki, Â sebaiknya Hb si pasien di atas 10.
Nah, pasien ini termasuk terlambat ke rumah sakit, karena baru hari ketujuh datang setelah digigit ular. Puskesmas pun terlambat merujuk, mungkin sudah kebiasaan, semua penyakit harus diberikan obat 3 hari dulu. Baru kalau tidak ada kemajuan, terapi bisa dirujuk. Padahal, gigitan ular tidak termasuk 155 penyakit yang 'diharamkan' dirujuk tanpa ditangani dahulu di Puskesmas. Yang ada di 155 penyakit tadi adalah kalau reaksi gigitan serangga.
[caption caption="Luka digigit ular (Dokumentasi pribadi)"]
Untung si bapak yang petani tangguh itu dapat bertahan dan memang bisa ularnya hanya menyebabkan komplikasi ke darah dan jaringan otot kulit yang membusuk. Kalau ularnya berbisa yang sangat mempengaruhi syaraf dan jantung, bisa saja dalam hitungan jam atau menit terjadi kegawatan dan kematian.
Memang adanya 'rambu-rambu' 155 penyakit yang harus bisa diobati di fasilitas kesehatan (Faskes) primer itu, dibuat untuk menghindari rujukan 'diobral' oleh Faskes pertama.
Di Palembang, konon di awal-awalnya BPJS, pernah ada Faskes pertama yang didirikan oleh yayasan rumah sakit yang sama dengan Faskes itu, yang tidak ada dokter dan perawatnya 'standby' di sana, hanya ada petugas administrasi saja. Semua pasien yang datang ke sana tidak diperiksa lagi, langsung diberi rujukan. Padahal Faskes itu diberi dana kapitasi puluhan juta sebulan.
Untuk menghindari FASKES pertama yang hanya berfungsi sebagai 'pengobral' rujukan inilah muncul peraturan yang memperketat terbitnya rujukan. Faskes primer bisa dikurangi dana kapitasinya kalau selalu merujuk tanpa diobati dahulu 155 penyakit yang diperuntukkan baginya.
Namun seiring waktu muncul kasus seperti di atas, di mana Faskes primernya terlambat memberi rujukan, padahal kasusnya mengancam nyawa. Maka, perlu diingatkan kembali kepada semua dokter di semua fasilitas kesehatan untuk 'patient oriented' dan bukan 'rule oriented'. Bila memang perlu merujuk segera, segeralah merujuk, soal dana kapitasi dikurangi itu urusan kedua.
Lagipula, si pasien juga seharusnya tahu bahwa kasus begini bisa langsung ke rumah sakit dan tidak perlu ke Puskesmas dahulu minta rujukan, karena digigit ular seharusnya langsung diberi zat penawar ABU (anti bisa ular) di UGD (unit gawat darurat) yang sulit didapat di Puskesmas.
Setiap peserta BPJS seharusnya tahu daftar 155 penyakit itu, (Sumber bacaan: dari sini). Namun kalau kondisi pasien sangat menghawatirkan dan minimal harus pakai oksigen, maka bisa langsung ke rumah sakit manapun yang UGD-nya 24 jam.
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H