"Masih mual-muntah, dok. Tidak nafsu makan....Minta obat paten saja,dok..."Kata pasien pria usia 30 tahunan itu setelah 3 hari perawatan.
Dia masuk dengan diagnosis gastritis kronis dengan malnutisi dan kekurangan kalium serta natrium. Namun yang menjadi perhatian di pemeriksaan darah rutinnya jumlah limfositnya hanya 6%.
"Oh, maaf, pak. Obat yang dipakai di BPJS kalau ada generiknya, harus pakai yang itu. Dosis obat mual muntah dan nyeri lambung generik sudah yang terbaik saya kasih, tetapi masih tidak mempan juga. Bapak ada konsumsi obat lain tidak?"Tanya saya penasaran.
Saya juga memberitahu kalau ada kecurigaan dia menderita penyakit virus kekebalan tubuh karena limfositnya yang rendah sekali (normalnya 30%-50%, tergantung laboratorium), jadi akan saya periksa virus HIV kalau setuju.
"Tidak usah periksa lagi, dok. Saya mengaku deh, memang sakit HIV sudah setahun ini makan obat anti virus 3 buah, jadinya mual-mual melulu dan dua bulan terakhir saya tidak nafsu makan sama sekali."Katanya.
"Wah, jadi kalau makan obat HIV, biasanya dimuntahin juga?"Tanyaku.
"Iya, dok. Tapi saya tidak berani menghentikan obat virus, nanti sakit saya tambah parah."
"Tapi tidak ada jalan lain. Obat antivirusnya dihentikan dahulu, kamu harus memperbaiki lambungnya dahulu."Kata saya.
Si pasien tadinya keberatan, tetapi karena memang tidak ada pilihan lain, obat anti viralnya dihentikan dahulu dan dalam dua hari dia mulai mau makan dan bisa pulang. Si pasien disarankan ke poli HIV tempatnya kontrol selama ini untuk mengganti jenis obat anti virusnya yang lebih tidak mual atau apakah obat tersebut masih efektif mengingat limfositnya selama pengobatan tidak juga naik.
Mungkin selama makan obat anti virus HIV yang membuat nyeri lambung itu kebanyakan dimuntahkan, jadi sebenarnya si pasien ini malah tidak efektif diobati sama sekali.
Ini adalah kasus HIV yang termasuk penuh dilema, seolah disuruh memilih antara daya tahan tubuh atau lambung. Terkadang pasien protes dan mengancam dokter kalau obat HIV dihentikan membuat virusnya berkembang biak banyak lagi, tetapi kalau obat diteruskan si pasien jadi mual-muntah hebat yang membuat dia terpaksa diinfus berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Selama belum ada obat anti HIV yang tidak memualkan, maka akan terus ada dilema seperti ini, merawat pasien malnutrisi dan dehidrasi karena efek samping obat HIV, sementara HIV-nya sendiri belum jadi AIDS.
Maka, walaupun ada obat untuk 'mengendalikan' virus HIV, namun karena tidak nyaman di lambung, sebaiknya semua peluang terkena si virus dihindari, seperti hubungan sex yang tidak aman, tranfusi yang tidak ditapis, kontak dengan luka atau cairan tubuh pasien HIV, pemakaian alat suntik bergantian.
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H