[caption id="attachment_392974" align="aligncenter" width="600" caption="Foto:Kompas.com"][/caption]
"Dok, saya minta rawat inap..."Kata ibu-ibu usia menjelang 50 tahunan di poliklinik. Sekilas dia hanya mengeluh sering kembung saat bangun pagi hari dan pusing-pusing. Sesekali buang air besarnya lebih dari 3 hari sekali dan cair.
"Indikasi rawatnya tidak jelas, bu. Lagian kelas dua yang 'jatahnya' ibu sudah penuh."Jawab saya.
Si ibu ini di kantornya ada tanggungan biaya kesehatan sejumlah tertentu yang kalau tidak dipakai tahun itu maka akan 'hangus'. Padahal tahun berikutnya, kantor mereka sudah ikut BPJS di bulan Maret, jadi tidak memakai 'jatah' tahunan biasa lagi.
"Saya naik ke kelas satu juga tidak apa-apa,dok. Biar selisih bayar, yang penting 'jatah' asuransi kantor saya terpakai, kalau rawat jalan saya tidak bisa melakukan pemeriksaan yang menyeluruh." Si ibu ini ingin diperiksa lengkap semua kondisi kimiawi darahnya, fungsi ginjal, fungsi hati, CT-scan ini-itu, ronsen dan USG dan kalau perlu endoskopi.
Karena ini mirip 'general medical check up' yang dilakukan di negra-negara tetangga yang dirawat 1-3 hari walaupun tidak sakit, saya pun setuju saja dilakukan.
"Baiklah, saya buat saja 'general check up',ya."Kata saya.
"Jangan,dok. Kalau hanya 'general check up', kantor saya tidak mau kasih ganti rawat inap, harus ada penyakitnya."
"Kalau begitu, saya buat diagnosis gastritis kronis saja,ya. Karena yang saya temukan hanya itu."Jawabku.
"Waduh, jangan buat diagnosis awal itu juga dok. Saya ada asuransi 'swasta' juga. Yang sehari rawat jatahnya 1 juta. Bulan depan akan 'hangus' kalau tidak dipakai. Buat diagnosis lain yang lebih berat, supaya saya bisa dirawat 7 hari."Katanya seperti memohon.
Nah,lho. Ketahuan!
Ini ibu sebenarnya mau me'ngakali' dua pembiayaan kesehatan sekaligus. Satu yang 'jatah' kantor dan yang lain 'jatah' asuransi yang akan jatuh tempo bulan depan dan hangus kalau tidak terpakai. Dan sialnya dia mau memanfaatkan saya untuk itu.
"Wah, maaf kalau begitu. Berarti ini masalah mau dapat uang asuransi, toh. Saya kasih obat untuk sakit asam lambungnya saja. Untuk 'general check up-nya', saya tidak bisa buat rawat inap."Kataku.
"Lho, kenapa tidak jadi, dok?"
"Saya tidak mau berbohong buat diagnosis demi membantu ibu 'mengakali' asuransi 'swasta' ibu. Jadi, cari dokter yang lain saja." Saya beri resep untuk penyakit asam lambungnya seminggu dan dia dipersilahkan pulang.
Si ibu mengambil resepnya dengan cemberut dan pergi tanpa basa-basi lagi.
Kasus begini beberapa kali terjadi. Seorang pasien punya dua asuransi atau pembiayaan kesehatan, yang satu pembayarannya 'fee for service', membayar sesuai harga pelayanan dan yang 'jatah harian', misalnya sehari dirawat dapat beberapa juta.
Asuransi itu ada yang habis masa berlakunya pada waktu tertentu dan setelahnya uangnya 'hangus'. Maka pasien tertentu berusaha 'mencairkan' uang tersebut dengan memakai 'modus' pura-pura sakit seperti di atas.
Ini sebenarnya bisa menjadi 'ladang' bagi rumah sakit-rumah sakit yang punya dokter mau 'bekerja sama' mengakalinya, tetapi kalau ketahuan 'polisi asuransi', maka bisa saja berujung ke pidana.
Jadi, kalau ikut asuransi kesehatan, carilah yang tidak ada periode 'hangus' sekaligus ada 'jatah-jatahan', karena biasanya memancing pasien dan dokter untuk 'mengakal-ngakali' perawatan yang sebenarnya tidak perlu, padahal pasien lain yang lebih gawat terkadang tidak dapat kamar perawatan karena bisa saja penuh oleh pasien yang pura-pura sakit berat.
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H