Mohon tunggu...
Portius Andrian
Portius Andrian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sriwijaya yang belajar di Hubungan Internasional FISIP

Saya adalah seseorang yang ingin mempelajari bagaimana hubungan internasional terbentuk dan bekerja. Selain itu saya ingin mempelajari organisasi internasional yang mengurus bidang nya masing-masing seperti WTO yang mengurus perdagangan internasional dan WHO yang mengurus kesehatan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Diplomasi Siber atau Cyber Diplomacy

30 November 2021   23:45 Diperbarui: 1 Desember 2021   00:04 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Apakah teman-teman tahu apa itu Cyber Diplomacy atau Diplomasi Siber?

Cyber Diplomacy atau Diplomasi Siber merupakan bentuk diplomasi yang diciptakan untuk melindungi keamanan nasional pada dunia maya. 

Dalam perwujudannya Diplomasi Siber merupakan sebuah respons dari relevansi dunia siber yang semakin berkembang mengikuti arus global waktu. 

Dengan hadirnya Diplomasi Siber, negara-negara membentuk kerjasama dengan tujuan untuk menanggoi serta menangani Dimensi Siber dari terjadinya konflik internasional, kejahatan, serta keamanan informasi.

Contoh nyata Cyber Diplomacy / Diplomasi Siber baru-baru ini adalah persiapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam merilis teknologi jaringan internet 5G.

Dalam pengerjaan perilisan jaringan 5G ini, Amerika Serikat melakukan kerjasama dengan beberapa negara salah satunya negara negara yang berada dalam kawasan Eropa lewat Konferensi Komunikasi Radio Dunia atau dalam bahasa internasional nya dikenal sebagai The World Radiocommunication Conference (WRC), konferensi tersebut diadakan di negara Mesir. 

Dalam agenda “Strategi Nasional Dalam Mengamankan 5G”, yang diumumkan pada Maret 2020 lalu, Amerika Serikat menganjurkan negara yang bekerjasama agar menggunakan “Prinsip-Prinsip Keamanan 5G” dimana hal ini tertulis pada sebuah proposal yang berjudul “Proposal Praha” yang tercipta dalam Konferensi Keamanan 5G Praha 2019. 

Strategi tersebut dilakukan dengan tujuan agar dapat mempercepat pelaksanaan rencana dalam berkoordinasi dengan negara asing serta aktor swasta agar dapat mencegah terjadinya persaingan serta transparansi 5G. 

Hasil dari Kongres tersebut telah mengesahkan “Secure 5G and Beyond Act pada Maret 2020 lalu, dimana hal ini mewajibkan Presiden agar ikut bergabung dalam Diplomasi Siber.

Contoh lain dari Cyber Diplomacy / Diplomasi Siber juga salah satunya adalah konflik Amerika Serikat dan China pada tahun 2015

Ketegangan ini terjadi dimulai dari Amerika Serikat yang membuat tuduhan terhadap peretas / Hacker yang berasal dari China. Tuduhan tersebut mengatakan jika peretas / Hacker tersebut telah melakukan serangan siber yang bertujuan untuk mencuri data-data milik Kantor Manajemen Personalia Amerika Serikat. 

Permasalahan ini diselesaikan dengan Diplomasi Siber yang dilakukan oleh kedua negara yang sedang bersengketa, kedua negara yang bersengketa telah sepakat bahwa mereka tidak akan “mencoba melakukan atau mendukung secara sadar pencurian kekayaan intelektual lewat dunia maya, termasuk rahasua dagang ataupun bisnis yang bersifat rahasia lainnya yang bertujuan untuk mendapat keuntungan komersial.” 

Amerika Serikat dan China juga sepakat untuk membentuk kerjasama dengan negara lain dengan tujuan untuk memperkenalkan Aturan Internasional mengenai perilaku yang pantas di Dunia Maya.

Apakah Cyber Diplomacy / Diplomasi Siber Ini Diperlukan?

Jika dilihat dari sifat dasarnya, Dunia Maya sendiri begitu terdesentralisasi dan juga sebagian besar tidak diatur, seorang Ahli yang bernama Barrinha dan Thimas Renard telah membandingkan Dunia Maya dengan “Laut Lepas, Wilayah Udara, dan Luar Angkasa.” Diplomasi sendiri merupakan inti dari arti penggunaan kata “Kesamaan Global”, Dunia Maya juga termasuk dalam hal ini. 

Seluruh tindakan yang dilakukan di Dunia Maya merupakan serangan di Dunia Maya, tidak jarang pada lingkup transnasional serta dengan demikian dapat mengamanatkan tanggapan transnasional. 

Dalam menanggapi kasus “Serangan Siber / Cyber Attack pada lintas negara”, contohnya jika sebuah negara harus berkoorperasi dalam memberi informasi dengan satu sama lain, mengumpulkan bukti, serta penuntutan pindana” yang ditujukan pada pelaku serangan dunia maya yang dikenal sebagai peretas / Hacker.

Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy ini tidak dibangun hanya untuk mengurus tanggapan internasional yang berperan dalam menangani ancaman dunia maya saja.

Akan tetapi perlu juga bagi negara agar ikut tergabung dalam Diplomasi Siber/ Cyber Diplomacy agar dapat mengembangkan norma-norma yang bertujuan agar dapat mengatur jalannya kerjasama internasional tersebut. 

Akibat dari berkembang pesatnya penggunaan serta relevansi dunia maya, sebuah negara akan menghadapi kekurangan standar yang telah ditetapkan dalam mengatur interaksi serta tanggapan pada Dunia Maya pada peristiwa yang terjadi serta memiliki kaitan terhadap Dunia Maya. 

Dalam konteks pengertian tersebut, hukum yang berjalan pada Dunia Maya sangat berbeda dari segi substansial. Contoh yang dapat saya berikan adalah undang-undang mengatur bagian laut lepas yang sudah berusia berabad-abad. Sedangkan pada hukum / norma pada Dunia Maya, norma / hukum tersebut sudah tercipta seketika. 

Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy bukanlah sebuah kebutuhan saja namun diplomasi ini juga merupakan sebuah peluang. Dikatakan sebagai peluang Karena banyak tempat yang berkaitan erat secara global tersedia pada Dunia Maya. Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy juga menyinggung diplomasi mata pelajaran lain dan memiliki implikasi terhadap isu-isu penting lain secara global, contohnya adalah Hak Asasi Manusia Internasional, kesehatan masyarakat, serta perubahan iklim.

Sejarah Berjalannya Upaya Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy

Perjanjian Dunia Maya internasional jarang terjadi, dan banyak perjanjian dunia maya bersifat bilateral atau regional. Namun demikian, resolusi, kesepakatan, dan bahkan kontroversi siber dapat menjadi bukti keterlibatan negara dalam praktik diplomasi siber.

Pada tahun 2004, Majelis Umum PBB membentuk “Kelompok Ahli Pemerintahan PBB yang dipekerjakan di bagian Pembangunan yang berfokus pada bidang Informasi dan Telekomunikasi dengan tujuan menjaga Keamanan Internasional” (UNGGE). Rusia pertama kali mengusulkan pembentukan UNGEE di tahun 1998 dalam agenda resolusi kepada Majelis Umum. Sejak 2004, UNGGE telah merilis tiga laporan tidak mengikat: satu pada 2010, satu pada 2013, dan satu pada 2015.

Laporan terbaru UNGGE, yang dirilis pada Juli 2015, laporan tersebut membahas mengenai norma siber internasional yang akan diangkat menjadi hukum internasional serta kerja dama internasional yang dilakukan dalam bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi atau disingkat menjadi (TIK). Laporan tersebut juga menyerukan negara-negara untuk menggunakan TIK sesuai dengan “kewajiban mereka yang ada di bawah hukum internasional.”

Pada bulan Desember 2015, Majelis Umum mengadopsi sebuah resolusi yang menegaskan laporan tersebut dan meminta negara-negara anggota PBB “untuk dipandu dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi mereka oleh laporan 2015.”

Negosiasi UNGGE gagal selama sesi grup bulan Juni 2017. Rusia, Cina, dan Kuba menyatakan ketidaksepakatan atas penerapan Piagam PBB ke dunia maya, ketentuan yang akan memungkinkan negara untuk membalas dalam membela diri terhadap serangan dunia maya. Sebagai tanggapan, perwakilan AS mengkritik pemerintah tersebut karena menentang akuntabilitas di dunia maya.

Pada September 2019, 26 negara menandatangani pernyataan bersama di Majelis Umum PBB tentang norma-norma dunia maya. Para penandatangan, termasuk Amerika Serikat, terutama adalah negara-negara Eropa dan sekutu AS. Dalam resolusi tersebut, para penandatangan menyebut diri mereka sebagai “negara-negara yang bertanggung jawab yang menegakkan tatanan berbasis aturan internasional” dan menyerukan “akuntabilitas dan stabilitas yang lebih besar di dunia maya.” Resolusi tersebut juga menegaskan komitmen negara-negara bagian terhadap kesepakatan UNGGE.

Pada bulan Desember 2018, Sekretaris Jenderal PBB membentuk literasi baru dari UNGGE, “Kelompok Ahli Pemerintah untuk Memajukan sikap negara yang penuh akan tanggung jawab pada dunia maya dengan tujuan menjaga Keamanan Internasional” Grup baru tersebut dipimpin oleh AS dan mencakup 25 negara. Ini bersidang untuk pertama kalinya pada Desember 2019, dan akan menyerahkan laporan akhirnya ke Majelis Umum pada 2021.

Juga pada Desember 2018, Majelis Umum membentuk Kelompok Kerja Terbuka (OEWG), yang bertemu untuk pertama kalinya pada Juni 2019. OEWG yang dipimpin Rusia terbuka untuk semua negara anggota PBB. Kelompok ini sedang mengembangkan laporan tentang TIK dan keamanan internasional untuk dipresentasikan ke Majelis Umum pada tahun 2020.

PBB telah melakukan upaya diplomasi siber lainnya selain UNGGE dan OEWG.Pada bulan Desember 2018, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi untuk “ Menentang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan tujuan melakukan tindak kriminal.” 

Resolusi tersebut diajukan oleh Rusia, dan mengharuskan Sekretaris Jenderal PBB untuk “mencari pandangan Negara-negara Anggota” tentang tantangan yang mereka hadapi terkait dengan kejahatan dunia maya. Selain itu, resolusi tersebut menetapkan cybercrime dalam agenda Majelis Umum PBB.

Pada Desember 2019, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi lain yang dipimpin Rusia tentang kejahatan dunia maya. Resolusi tersebut menyerukan pembentukan komite ahli untuk mengembangkan perjanjian kejahatan dunia maya internasional yang baru. Dalam sebuah posting blog, Joyce Hakmeh dan Allison Peters menggambarkan keterlibatan Rusia dalam resolusi tersebut sebagai bagian dari upaya Rusia untuk menggantikan Konvensi Budapest tentang Kejahatan Dunia Maya.

Negara-negara juga telah mengorganisir upaya diplomasi siber di luar PBB. Pada tahun 2001, Komite Ahli Kejahatan di Dunia Maya dari Dewan Eropa menyusun perjanjian internasional yang disebut Konvensi Budapest tentang Kejahatan Dunia Maya. 

Konvensi Budapest adalah konvensi yang membahas mengenai “Perjanjian Internasional yang pertama kalinya mengatur tindak kejahatan lewat Internet serta jaringan komputer lainnya, salah satunya menanggapi serta menangani kasus pelanggaran keamanan jaringan”. 

Tujuan dari prinsip perjanjian Konvensi Budapest adalah untuk menggapai “Kebijakan Kriminal Umum” untuk menyelesaikan seluruh tindak kejahatan yang dilakukan seseorang di Dunia Maya. Sampai saat ini, 65 negara telah meratifikasi perjanjian tersebut dan 68 telah menandatanganinya. Lebih dari separuh pihak dalam perjanjian itu adalah negara-negara Eropa, tetapi beberapa negara non-Eropa juga merupakan pihak. 

Pada tahun 2003, Dewan memutuskan untuk menambah Protokol untuk mengatasi konvensi Kejahatan yang dilakukan di Dunia Maya, yang berkaitan erat dengan “Tindakan Kriminalisasi Rasis Serta Xenofobia Yang Dilakukan Lewat Sistem Komputer.” Protokol tersebut diratifikasi 32 negara serta ditandatangani 45 negara. Negosiasi yang dilakukan untuk Protokol Tambahan Kedua Konvensi Budapest dimulai pada tahun 2017.

Pada bulan Februari 2015, Uni Eropa mengadopsi Kesimpulan Dewan tentang Diplomasi Cyber. Kesimpulan ini menyerukan kerjasama dunia maya yang beragam, termasuk untuk promosi hak asasi manusia, pembangunan kapasitas, tata kelola internet, dan penuntutan pidana. 

Menurut André Barrinha dan Thomas Renard, Kesimpulan adalah "pertama kali istilah 'cyberdiplomacy' digunakan dalam dokumen resmi pemerintah seperti itu."

Tantangan Dalam Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy

Apakah teman-teman tahu bahwa Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy memiliki tantangan dalam dunia internasional? Ya, adanya Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy mengakibatkan tantangan hampir bagi semua negara, diantaranya tantangan tersebut ada yang berkaitan dengan hukum, politik, dan teknologi. 

Beberapa tantangan diantaranya adalah keengganan dari beberapa negara dalam memutuskan untuk ikut bergabung dalam Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy, perkembangan Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy yang sangat cepat, dan Terjadinya perpecahan politik pada negara bagian.

Keengganan Negara untuk Terlibat dalam Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy

Seperti bentuk-bentuk diplomasi lainnya, diplomasi siber hanya dapat berhasil jika negara bersedia untuk bekerja sama. Sayangnya, negara tidak selalu memandang diplomasi siber dan pembentukan norma siber yang jelas sejalan dengan kepentingan mereka. Misalnya, pemerintah AS telah menolak memprioritaskan diplomasi siber. Secara internal, ia telah menghilangkan posisi kunci dunia maya di Departemen Luar Negeri. 

Secara internasional, Amerika Serikat telah bentrok dengan negara-negara lain atas keinginannya untuk mengakui hak membela diri di dunia maya, yang akan membenarkan pembalasan militer dalam menanggapi serangan dunia maya. Ketidaksepakatan ini mengakhiri negosiasi pada sesi UNGGE 2017.

Dengan demikian, diplomasi siber yang berhasil dapat terbukti sulit jika negara tidak memprioritaskan proses tersebut atau melihatnya sebagai hal yang bermanfaat.

Berkembangnya Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy Secara Cepat

Banyak dari diplomasi siber berkembang sebagai reaksi terhadap konflik dan ancaman baru. dunia maya teknologi juga berkembang dengan pesat, sehingga sulit bagi negara-negara untuk secara proaktif mengatasi masalah sebelum muncul. Dalam beberapa hal ada "elemen pembelajaran yang terlibat" di negara bagian dan kelompok yang beradaptasi dengan perubahan kondisi era cyber.

Selain tantangan inheren yang terkait dengan bidang yang berkembang pesat seperti itu, dunia maya kebaruan diplomasi juga memperburuk tarik ulur politik. 

Segala bentuk diplomasi harus berurusan dengan ketegangan dan aliansi politik. Namun, dalam diplomasi siber, hukum dan norma yang mendasari diplomasi tidak seperti yang ditetapkan. Akibatnya, negara-negara berjuang tidak hanya atas sumber daya dan hak siber, tetapi juga atas kemampuan untuk membangun standar yang mengatur ruang siber. Tarik menarik ini menjelaskan, misalnya, dorongan Rusia untuk perjanjian keamanan siber PBB menggantikan Konvensi Budapest yang ditulis Eropa.

Kesenjangan Politik Yang Terjadi Pada Negara Bagian

Sementara diplomasi siber dapat memperkuat kerja sama di antara negara-negara sekutu, hal itu juga dapat memperburuk perpecahan di antara negara-negara lain. Misalnya, aktor AS telah mengisyaratkan keinginan untuk bermitra dengan “komunitas negara-negara yang berpikiran sama” untuk membentuk norma-norma dunia maya. 

Kategori ini dapat mengecualikan negara-negara lemah yang tidak selaras dengan Amerika Serikat, serta pesaing AS seperti Rusia. Ketegangan atas aliansi ini memuncak selama negosiasi dunia maya PBB pada musim panas 2017, di mana pembicaraan tentang undang-undang yang mengatur serangan dunia maya gagal di sepanjang garis Perang Dingin.

Akhir Kata

Cyber Diplomacy atau Diplomasi Siber merupakan bentuk diplomasi yang diciptakan untuk melindungi keamanan nasional pada dunia maya. Dalam perwujudannya Diplomasi Siber merupakan sebuah respons dari relevansi dunia siber yang semakin berkembang mengikuti arus global waktu. 

Diplomasi ini juga dibutuhkan, apabila kita mengulas kembali dari sifat dasarnya, Dunia Maya sendiri begitu terdesentralisasi dan juga sebagian besar tidak diatur, Diplomasi sendiri merupakan inti dari arti penggunaan kata “Kesamaan Global”, Dunia Maya juga termasuk dalam hal ini. Seluruh tindakan yang dilakukan di Dunia Maya merupakan serangan di Dunia Maya, tidak jarang pada lingkup transnasional serta dengan demikian dapat mengamanatkan tanggapan transnasional.

Diplmasi Siber / Cyber Diplomacy juga memilih sejarah perjalanan serta tantangan dalam usahanya, apabila kita mengulas kembali sejarah terbentuknya Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy dimulai dari perjanjian Dunia Maya internasional yang jarang terjadi, dan banyak perjanjian dunia maya bersifat bilateral atau regional. 

Namun demikian, resolusi, kesepakatan, dan bahkan kontroversi siber dapat menjadi bukti keterlibatan negara dalam praktik diplomasi siber. Sedangkan pada tantangannya, Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy mengakibatkan tantangan hampir bagi semua negara, diantaranya tantangan tersebut ada yang berkaitan dengan hukum, politik, dan teknologi. 

Beberapa tantangan diantaranya adalah keengganan dari beberapa negara dalam memutuskan untuk ikut bergabung dalam Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy, perkembangan Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy yang sangat cepat, dan Terjadinya perpecahan politik pada negara bagian. 

Jadi Diplomasi Siber / Cyber Diplomacy sangat dibutuhkan dalam Hubungan Internasional di Dunia, meski begitu masih ada beberapa negara yang ragu untuk ikut bergabung dalam Diplomasi ini karena ketidakpercayaan sebuah negara dengan negara lain disertai oleh adanya kesenjangan politik diantara negara bagian.

Referensi

Hope, A. (2020, June 6). CPO Magazine. Retrieved nivember 30, 2021, from cpomagazine.com: https://www.cpomagazine.com/cyber-security/white-house-unvels-national-strategy-for-5g-security-concurrently-with-signing-of-the-secure-5g-act/

Mehta, I. (2019, June 20). WIRED. Retrieved November 29, 2021, from wired.com: https://www.wired.com/story/under-trump-the-fight-against-cybercrime-gas-waned/

Nye, J., 2017. Deterrence and Dissuasion in Cyberspace. International Security, 41(3), pp.44-71.

Barrinha, A. and Renard, T., 2017. Cyber-diplomacy: the making of an international society in the digital age. Global Affairs, 3(4-5), pp.353-364.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun