Penulis : Daniel Portal Narasi
Skeptis itu merupakan salah satu sikap. Tom Friedman dari New York Times pernah berujar bahwa skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu.1 Kurang lebihnya begitu pengantar mengenai skeptis.
Banyak orang mungkin telah menyadari bahwa kehidupan yang dialami sehari-hari tak akan terlepas dari hal yang bernama media. Media, KBBI menyebutnya sebagai alat (sarana) komunikasi. Barangkali kita telah populer akan istilah mengenai media, yang bisa dikerucutkan menjadi dua macam yakni masing-masing adalah cetak dan elektronik.
Terkadang kita dibingungkan dengan berita yang ada di surat kabar. Peristiwa yang terjadi sama baik dari sisi waktu maupun tempat, surat kabar A bisa menyebutkan jumlah korbannya sebanyak 60 orang. Surat kabar B menyebutnya ada jumlah korban sebanyak 65 orang. Disisi lain Surat kabar C melakukan pendekatan terhadap kedua jumlah yang telah disebutkan. Ini sangat lucu, bagi yang menganggap hal tersebut adalah sebuah lelucon. Tapi itu fakta.
Perkembangannya sampai saat ini pun sangat pesat sekali. Terlebih kalau kita berbicara mengenai media sosial. Barangkali pemahaman yang berkembang saat ini adalah hanya berkutat pada akun-akun yang ada di sana seperti facebook, twitter, instagram, path, maupun yang lainnya. Secara praktik kita didorong untuk megaplikasikan teori dari media sosial dengan arif atau bijaksana. Hal tersebut didasari dengan kenyataan bahwa apa yang ditawarkan dari media sosial tidak selamanya menguntungkan. Oleh karena itu, berjaga-jaga dari hal yang merugikan adalah sebuah keharusan bagi para pengguna media sosial.
Penggiringan opini dan pengalihan isu bisa dikatakan identik dengan media sosial. Contoh konkret nya adalah ada salah satu tokoh ternama memiliki akun pribadi di salah satu media sosial, dan kemudian menceletuk dengan membuat status nyinyir tapi masuk akal, mungkin dari beberapa orang akan bisa tergiring dengan peryataan tersebut. Contoh lain yang terjadi dalam media sosial adalah munculnya pernyataan kontroversi yang menimbulkan perdebatan banyak pengguna media sosial lain yang tak rampung-rampung.
Namun, hal yang saya anggap paling kebangeten sering terjadi di media sosial adalah perdebatan yang tak rampung-rampung hingga berujung terjadinya perkelahian, pergejolakan maupun pertengkaran. Tak cuma itu, ungkapan-ungkapan yang memiliki makna diskriminasi sering kali muncul di media sosial. Tidak terjadi satu atau dua kali, namun hal tersebut sudah terjadi berkali-kali.
Ber-Media Sosial Ala Kadarnya
Media sosial dengan segala perangkat pendukungnya yang mungkin sekarang diringkas oleh perkakas bernama gawai. Istilah "gawai itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat" untuk saat ini kiranya masih relevan di demonstrasikan pada banyak orang. Pasalnya, memang dengan adanya gawai terkadang menggiring orang kurang bersosial dengan kawan yang ada di sampinya maupun lawan bicaranya. Dengan berselancarnya para pelaku di media sosial menjelajah dunia maya membuat luput bahwa lingkungan sekitarnya juga perlu diselancari juga.
Berbagai keunggulan dari media sosial memang telah banyak ditemukan, seperti halnya digunakan untuk kegiatan positif yang menunjang bagi keidupan pribadi seperti kegiatan wirausaha melalui online shop, forum diskusi dalam bentuk sharing dengan tujuan untuk pencerdasan maupun ajang kreativitas untuk mendorong kemajuan dalam bidang teknologi, sosial budaya, maupun ekonomi. Namun di sisi lain, kekhawatiran yang ditakutkan hari ini adalah kebebasan dalam berpikir dan meluapkan segala gagasan maupun pendapat yang terkadang berlebihan. Dampanya akan menyangkut pada saling ejek antar kelompok yang berujung pada diskriminasi. Efek domino lain yang akan dimunculkan adalah lunturnya nilai-nilai kemanusiaan kalau kita berlebihan dalam ber-media sosial.
Hal menarik yang dapat saya ambil dari fenomena tersebut adalah dorongan ambisi untuk berkarya bagi Indonesia. Mahasiswa bukanlah sebagai murid yang hanya patuh pada petuah sang guru. Mahasiswa, identik dengan pemikir yang bebas. Kita diberi kebebasan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan kita.
Sebagai perenungan terakhir, di era disrupsi ini yang memiliki batu-batu harapan dan impian, lebih baik mengasah pena dan otak, dari pada mengasah golok dan membesarkan otot.
"Ber-media sosial lah yang wajar, karena berlebihan itu tidak bagus"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H