Sepanjang malam hujan turun. Ia turun dengan tenang, tak ada keributan yang menyertainya.
"Atapnya bocor," kata Wira.
"Biarkanlah bocor," kata bunda seraya tersenyum. Ia meletakkan panci di bawah tetesan air yang merembes lewat genting yang retak. Tetesan demi tetesannya menimpa dasar panci logam dan membuat bunyi yang berirama seperti nyanyian dan membuat hatinya senang.
Lalu, ketika cahaya kelabu fajar pertama merebak dan merayap ke dalam rumah, bunda memasak telur dan menggaraminya untuk sarapan pagi. Telur telah menjadi sajian istimewa yang biasa mereka santap pada hari minggu. " Kita perlu merayakannya," katanya.
Wira mencium aroma bau masakan, perutnya bergolak, dan mengingatkannya bahwa mereka belum makan malam tadi. Semalaman mereka sibuk menanggulangi api. Ia pun jadi lupa dengan rasa laparnya.
Dalam terangnya pagi hari Wira memperhatikan bahwa wajah bunda dan ayahnya merah padam, seakan-akan mereka habis mandi cahaya mentari.
Hujan yang turun semalam menerpa bumi. Ia turun dengan tenang tanpa diusik oleh angin. Ia melihat tetesan-tetesan airnya menerpa atap dan melihat bumi ini minum sepuas-puasnya. Bumi yang keras pun menjadi lunak dan airnya yang mengalir ke segenap penjuru menjadi jaringan anak-anak sungai. Semua dedaunan minum, begitu pula rerumputan. Daun menyalurkannya ke ranting, ranting mengantarknnya ke cabang, dan cabang ke batang, lalu batang ke akar. Semua debu dibersihkan, semua rasa haus dan panas pun terlupakan.
Ayah berkata bahwa musim kemarau mungkin sudah berakhir.
"Anakku, kita masih harus mendaki bukit untuk melewati musim ini. Ladang jagung kita mungkin selamat," katanya. "Dan mungkin pohon kentang juga, meskipun tak sebesar seperti tahun kemarin."
Mereka berbicara tenang, suara mereka bercampur dengan air hujan. Mereka kini disegarkan, dan hidup mereka diperbaharui seperti kehidupan ladang dan hutan yang bersorak sorai gembira.
Semua tetangga di kota kecil itupun berkumpul bersama-sama dan membantu Pak Dasa untuk memperbaiki kembali lumbungnya. Ayah mengatakan bahwa percikan api yang keluar dari roda kereta api-lah yang memulai kebakaran itu. Ia juga mengatakan Pak Dasa akan mengusahakan upaya hukum terhadap jawatan kereta api untuk membayarkan ganti rugi atas panen dan lumbungnya yang musnah dilalap api. Namun pihak jawatan kereta api membantahnya dan mengatakan penyebabnya adalah sebuah kilat yang menyambar pohon dan membakarnya.
Wira,Wahid dan Ara berjalan bersama di atas ladang yang terbakar itu. Sedih hatinya menyaksikan hal itu. Ia juga tak habis pikir bagaiman bisa api berkobar membakar ladang-ladang kami sementara malam itu juga sedang hujan. "Hanya alam yang bisa melakukan itu," pikirnya. Di pinggir ladang dimana api memusnahkan ilalang, ia menemukan sisa jasad seekor tikus yang turut terbakar. Semua pohon dan semak belukar habis dilalap api. Batang pohon jati yang tinggi dan pohon sengon masih tetap berdiri, namun seperti kerangka yang menyeramkan, yang tinggal hanya beberapa ranting yang terkelupas. Pasti tak akan ada burung yang biasa bersarang di sana untuk beberapa lama. Tak akan ada binatang liar yang akan bersarang di lahan yang gundul tersebut.
Ajaibnya diantara abu ada daun-daun hijau kecil dan kuat menjulur di sana-sini, alam tanpa disangka-sangka memberikan kehidupan baru di tengah semua kematian itu.
Dalam hitungan minggu, seluruh lahan yang terbakar itu  telah menghijau lagi dengan tumbuhnya tunas-tunas muda. Musim kering sepertinya sudah sampai di penghujungnya, awal musim hujan pun tiba. Badai dan kilat menyambar-nyambar setiap beberapa hari dan membasahi tanah yang cukup untuk  menumbuhkan tanaman. Lumut dan rumput baru bertunas di mana-mana. Namun saat mendekati musim panen, tanaman itu tumbuh tak terlalu bagus dan kecil kurus.
Suatu malam saat makan malam, Ayah mengatakan bahwa mereka harus mulai memikirkan apa yang harus dikerjakan.
"Tidak ada hasil panen yang dapat dibagikan kepada keluarga Pak Dasa," kata Ayah. "Karena kita sendiri tidak cukup untuk punya persediaan untuk beberapa bulan dan membayar pinjaman kita pada Pak Bari."
"Apa yang dapat kita lakukan?" tanya Bunda. "Kita bisa saja menjual sapi, tapi itu akan menghilangkan pemasukan dari menjual susu."
"Tidak juga cukup untuk menutup sementara waktu," kata Ayah. "Aku mendengar kalau di kota jawatan kereta api membutuhkan orang untuk mengantar kiriman, dan bisa juga aku bekerja di tokonya Pak Saman."
"Tapi aku tidak suka kalau Ayah bekerja untuk orang lain," protes Bunda.
"Bagaimana seandainya kita berdua mendapat pekerjaan di kota, kita bisa mempunyai dua pendapatan sekaligus?"
"Tetapi siapa yang akan memelihara sapi-sapi dan ladang kita?" tanya Bunda sambil memelintir serbetnya.
"Kita dapat pindah ke kota, dan adikku bisa menempati rumah dan mengurus ternak dan ladang kita."
Bunda terperangah. Ia menaruh piring-piring yang sedang dibawanya ke atas meja. Mulut Bunda terbuka lebar."
"Eit tahan dulu, jangan protes dulu, biar aku selesaikan pejelasanku, dengarkan aku dulu," kata Ayah memohon. "Bu Sari sudah berniat pindah, kita bisa menempati rumahnya. Dan Pak Saman berkata kepadaku bahwa tokonya membutuhkan wanita cerdas seperti kamu untuk mencatat transaksi di buku. "
"Itupun hanya untuk satu sampai dua tahun, setelah itu kita pindah kembali ke sini, melunasi semua hutang kita dan siap untuk memulai dari awal lagi."
Ayah berhenti bicara dan duduk bersandar di kursi. Bunda juga duduk sambil melihat kepada Ayah tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Wira menunggu sambil menahan nafas, takut mengusik mereka. Ia tak bisa membayangkan jika harus meninggalkan rumah dan tanah pertanian.Â
Semua yang mereka kerjakan, semua alasan tinggal dan hidup di sini adalah untuk itu.
Akhirnya Bunda menarik nafas dalam-dalam, meletakkan serbetnya di atas meja, dan melipatnya dengan rapi.
"Aku kira kamu benar," ujar Bunda. " Sebenarnya aku tidak senang tinggal di kota, di sana terlalu hiruk pikuk, lagipula semua yang kita inginkan dan miliki ada di sini, ladang pertanian ini, tetapi," Ia menghela nafas lagi. " Ya aku pikir kita harus."
" Tempat itu tidak jauh," kata Ayah. "Tempatnya di pinggir kota. Kita bisa ke sini setiap hari, untuk merawat tempat ini, Aji adikku dan istrinya bisa membantu memelihara sapi-sapi dan membajak dan menanam. Kita bisa membawa ayam-ayam bersama kita. Rumah itu punya halaman belakang, cukup lapang untuk memelihara ayam."
Bunda melihat sekeliling dapur, tempat mereka makan dari tanaman yang mereka tanam mereka sendiri, dari ladang pertanian mereka sendiri.Â
Terbayang dalam pikirannya betapa beratnya mereka bekerja mengolah tanah pertanian itu. Ia ingat semua susah payah dulu sewaktu membuka lahan pertanian di tanah yang berbatu, akar pohon-pohon besar, lumpur, banjir, kemarau, kebakaran. Ia tak sanggup membayangkan kehidupan yang berbeda dari kehidupan yang mereka alami selama ini, di sini. Gagasan untuk meninggalkannya, bahkan untuk beberapa lama saja sudah terlalu berat baginya untuk ditanggung.
"Jangan sedih Wira," kata bunda. "Ayah memang benar, ini untuk kebaikan kita. Kamu nanti akan terbiasa."
Wira teringat Ara. Selama ini mereka selalu bersama menjelajahi  setiap jengkal tanah perbukitan, bermain-main di sungai, menangkap ikan, mencari sarang lebah madu. Sedih dia membayangkan kehilangan kesenangan itu semua.
                                                                           Â
Berbarengan dengan panen yang tidak mencukupi, mereka mulai mengemas barang-barang dari rumah. Bunda dan Wira memgambil semua pakaian dan memasukkannya ke dalam salah satu kopor.
Lalu, pada suatu hari setelah makan pagi, Aji datang membantu Ayah mengangkut muatan perabotan rumah tangga ke rumah barunya di kota. Daun-daun berwarna kuning kecoklatan dari pohon-pohon sepanjang jalan berjatuhan, lalu terbang dibawa angin dengan suara gemerisik. Semua barang milik mereka yang ditinggal di tumpuk di atas bale-bale.
Rumah kecil itu kelihatan kosong dan lengang di dalamnya. Hatinya teriris-iris, ada rasa senang hendak pindah, tetapi pada saat yang sama ia juga sedih meninggalkannya.
Ayah kembali, dan mereka memasukkan kopor-kopor itu, piring, gelas, dan akhirnya jam dinding itu. Untuk pertama kalinya kami memperhatikan detik-detiknya.
Wira naik ke truk kecil dan duduk di antara Ayah dan Bundanya. Aji dan istrinya berdiri di halaman untuk meyaksikan keberangkatan mereka.
"Jangan khawatir ," Kata Aji. "Kami akan merawat tempat ini seperti kami merawat milik kami sendiri.
Wira menghela nafas dalam-dalam ketika truk kecil itu bergerak. Bunda mengalungkan tanganya di leher Wira.
"Terasa sedih meninggalkannya bukan?" kata Bunda pelan saat truk kecil tiu meluncur menuruni bukit menuju kota.
Wira menggelengkan kepalanya. Ia malas berbicara. "ini bukan untuk selamanya," hibur Bunda. " Apapun yang akan terjadi kita akan kembali. Tetapi untuk saat ini, inilah jalan yang benar untuk dilakukan. Keputusan kita sudah bulat. Jangan lagi kita menengok ke belakang. Hanya ini jalan yang ada di hadapan kita.
                                                                         Â
                                                                          ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H