Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Sini Perdebatan Dilarang

30 Desember 2020   10:47 Diperbarui: 30 Desember 2020   23:23 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tuan Harumoko menyalaminya, bahkan ingin memeluknya, namun urung dia lakukan ketika Bung Badman melanjutkan kata-katanya. 

“Inilah yang selalu kukatakan, seperti yang diperintahkan Yang Mulia Haratakuwasa ini. “Kalian, rakyat kuli janganlah membantah majikan. Semua kesulitan rakyat kuli karena membantah. Jangan seperti keledai, yang tidak pernah membantah. Beban seberat 15 kilo, 20 kilo, atau 25 kilo, keledai tak akan membantah. Kalian tidak mendapatkan dari keledai seperti yang kalian dapatkan dari sapi, domba, atau kuda. Tak ada pembicaraan atau debat dapat menggerakkan keledai, ia benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi seorang kuli dapat membantah, tapi ia juga dapat dibujuk. Ia dapat dibujuk untuk pulang tanpa makanan, ia dapat dibujuk untuk memberikan jiwanya untuk majikannya, ia dapat dibujuk untuk berperang, ia dapat dibujuk bahwa di akhirat ada tempat bernama surga, meskipun ia belum pernah melihatnya. Yang kalian perlukan adalah mencari dan memahamai sebab-akibatnya.”

Kata-kata yang berapi-api yang keluar dari mulut Bung Budman, sebenarnya bukan hal yang baru bagi kami, akan tetapi cukup membuat takut Tuan Harumoko.


Bung Budman terus saja bicara. “ Bayangkan saja, apa yang terjadi bila ribuan kuli yang bekerja untuk Tuan Rajatana dan Tuan Padukalaba adalah keledai yang berakal, yakni keledai yang dapat dijinakkan dan dibujuk, yang takut pada polisi, pemuka agama, hakim, tiba-tiba menjadi keledai tak berotak. Tuan Harumoko yang baik, jalan yang Tuan lalui itu jalan gelap yang terang, dan segera Tuan akan pulang lewat jalan yang sama. Apa yang mencegah kami agar tidak menghajarmu?”


Tuan Harumoko tergagap-gagap mencari-cari suatu jawaban, tapi tak menemukannya. Muka Tuan Harumoko terlihat merah padam.


“Apa yang dapat mencegah kami,” desak Bung Budman.


“Tunggu dulu, tunggu sebentar,” sergah Tuan Harumoko yang mulai bisa mengendalikan dirinya. “Menurutku, kamu sudah terlalu banyak berdebat. 

Apa yang kamu bilang tadi tak lain adalah perdebatan. Aku tidak pernah mendengar keledai, maksudku kuli yang tidak rasional, bicara seperti itu,” ujarnya.


“Bila perdebatan hanya menguntungkan majikan dan penguasa,”lalu akupun bertanya kepada Bung Budman,”mengapa Yang Mulia Haratakuwasa memerintahkan untuk melarang semua perdebatan?”


Bung Budman pun terdiam sejenak. Lalu berkata,” sudah larut malam, aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk pergi ke ibukota. Selamat malam.”
Ia pun bergegas pergi.


Begitulah yang selalu terjadi setiap perdebatan dengan Bung Budman berakhir. Ia akan berorasi panjang lebar, ke sana ke mari, terus mengeluarkan kata-kata yang muluk-muluk selama berjam-jam seperti pengkhutbah, mengatakan hal-hal yang sangat tidak masuk akal dan kasar yang keluar dari kepalanya dengan nada yang tidak mengijinkan jawaban, dan lalu kalau ia sudah selesai, dan ada yang mengajukan pertanyaan kepadanya, dia selalu mencari alasan untuk segera pergi tanpa menjawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun