Kembali kepada persoalan hak atas tanah dan sumberdayanya adalah hak asasi manuisa, namun bila kita bertanya kepada pengacara atau pakar hukum apakah ada hak asasi manusia atas tanah, kita akan mendapatkan jawaban yang ambigu. Pertama. Jawaban yang umum dan legalistik adalah tidak ada hak universal yang tetulis di dalam hukum internasional hak asasi manusia, atau singkatnya bahwa tak ada hukum internasional tetulis menyebutkan hak asasi manusia atas tanah.Â
Jawaban satunya lagi adalah ada perdebatan akan "munculnya" hak asasi manusia atas tanah, atau mungkin juga ada dan eksis namun tak dengan ekplisit diakui.
Hukum Hak Asasi Manusia Tidak Statis, Ia  Ber-evolusi
Tak bisa dibantah bahwa hukum Hak Asasi Manusia menyediakan suatu kerangka legal yang melindungi hak-hak yang melekat pada setiap orang, hak-hak yang univesal, saling bersangkut paut, saling bergantung, dan tak terpisahkan. Inti dari hukum hak asasi manusia adalah satu set perjanjian internasional atau regional yang ditandatangani oleh negara-negara.Â
Perjanjian-perjanjian ini secara eksplisit melindungi hak-hak yang tercantum (tetulis) di dalamnya, dan pemerintah-pemerintah yang telah meratifikasi perjanjian-perjanjian tersebut mempunyai kewajiban-kewajiban yang mengikat untuk menghormati, melindingi dan memenuhi hak-hak tersebut. Kewajiban-kewajiban ini memberdayakan individu-individu sebagai "pemangku/pemegang hak" yang sah atau legal dan menjadikan pemerintah-pemerintah hanya menjadi " pemikul tugas." Ini menciptakan kesempatan-kesempatan yang penting (meski tak diakui secara merata) untuk menuntut pertanggung jawaban.
Jadi ketika para pakar hukum mengatakan bahwa tak ada sebuah hak universal tetulis atas atas tanah di dalam hukum internasional, itu berarti bahwa perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internaional intinya tidak eksplisit menyebutkan sebuah hak atas tanah.Â
Perjanjian-perjanjian ini melindungi hak-hak yang mana di dalamnya tanah bisa menjadi krusial, seperti misalnya hak atas pangan dan tempat tinggal/rumah yang layak. Beberapanya juga melindungi  hak atas properti, yang sangat tidak sama dengan hak atas tanah , meskipun itu berkaitan. Namun memang hak universal atas tanah luput dari perjanjian-perjanjian tersebut.
Jangan berkecil hati dahulu, tak tetulis atau tak tercantum bukan berarti hak asasi manusia atas  tanah tidak eksis atau tak mucul. Hukum hak asasi manusia tidaklah statis. Ia ber-evolusi dari waktu ke waktu melalui perjanjian-perjanjian (relatif jarang), melalui interpreatasi otoritatif dari perjanjian-perjanjian yang ada ( misalnya tribunal-tribunal hak asasi manusia), dan melalui proses yang iteratif (berulang-ulang) yang melibatkan, contohnya, kreasi, aplikasi, dan "mempertegas" hukum yang lembek (peraturan-peraturan kuasi legal yang tidak mengikat secara hukum, seperti konsensus misalnya.
Seperti pada umunya pemenrintah-pemerintah tak begitu antusias ataupun serius bahwa mereka memiliki kewajiban-kewajiban hukum perihal hak-hak yang tak mereka akui secara eksplisit di dalam perjanjian-perjanjian. Hukum internasional terkadang mengakomodir hak-hak baru yang diakui meskipun tanpa konklusi dari sebuah perjanjian baru. Hak atas air contohnya, ia tak secara tertulis didalam perjanjian-perjanjian yang mengikat sebagai sebuah hak universal.Â
Namun setelah berdekade-dekade diperjuangkan dan himbauan-himbauan untuk pengakuan, akhirnya hak atas air  diinterpretasikan secara resmi menjadi sebuah pokok perjanjian hak asasi manusia di dalam resolusi-resolusi PBB. Kini ia secara luas diakui keberadaanya di dalam hukum internasional. Nah apakah hak asasi manusia atas tanah bisa menjadi yang berikutnya?
Perjuangan untuk Menggolkan Hak Asasi Manusia atas Tanah