Pendekatan strukturalis ini berargumen bahwa stuktur organisasional yang menyebabkan perilaku diskriminatif di tempat kerja. Â Jadi, sebagai contoh, sebuah perusahaan A membuang persyaratan "kompetitif" di dalam deskripsi kerjanya untuk mengakomodir perempuan yang dibatasi oleh pandangan masyarakat bahwa perempuan tidak kompetitif. Asumsi yang melandasi argumen ini adalah bahwa perempuan datang ke tempat kerja telah diprogram oleh masyarakat untuk cenderung memilih bentuk-bentuk kerja yang lebih "feminin." Pendekatan strukturalis menyediakan kerangka yang kuat untuk menantang apa yang nampaknya menjadi respon majikan yang rasional terhadap kondisi masyarakat.
Dalam hal perspektif legal anti diskriminasi, pendekatan strukturalis telah menjadi yang terdepan dalam melawan teori "perlakuan berbeda berbasis sentimen rasial" yang akhir-akhir ini tengah membelokkan wacana-wacana anti diskriminasi. Â Kekuatannya terletak dalam memberikan kita sebuah perspektif untuk memahami stereotip-stereotip bawah sadar seperti yang diberlakukan melalui praktek-praktek dan kebijakan-kebijakan di tempat kerja.
Pendekatan Maskulinitas
Pendekatan-pendekatan maskulinitas berkembang di dalam merespon pendekatan feminis pada tahun 1970-an dan 1980-an sebagai sebuah metode mengkaji narasi-narasi yang melestarikan peranan-peranan gender di dalam masyarakat. Pendekatan maskulinitas mengeksplorasi konstruksi gender di tempat kerja dan di masyarakat. Maskulinitas mengacu kepada baik itu praktek individu-individu dan kolektif maupun praktek organisasional. Secara individual, ia mengacu kepada bagaimana seseorang dengan sukses menyesuaikan diri dengan harapan-harapan peran maskulin. Pada sebuah tingkat orgnisasional, ia mengacu kepada bagaimana sebuah struktur dan/atau organisasi melanggengkan dominasi laki-laki di dalam hirarki organisasional. Saling mempengaruhi antara individu dan tingkatan organisasional dapat dilukiskan sebagai struktur dan praktek organisasional melalui citra maskulinitas di masyarakat yang dengan rutin diterjemahkan ke dalam naskah yang lelaki individual gunakan untuk menegosiasikan sebuah identitas maskulin saat sedang bekerja.
Pendekatan maskulinitas mencakup semua aspek masyarakat di seluruh dunia. Namun dalam tulisan ini lebih berkonsentrasi pada maskulinitas di tempat kerja. Pendekatan maskulinitas mengkaji perkembangan narasi-narasi maskulnitas dalam konteks 'pekerja kerah biru' dan pekerja kerah putih'. Penelitian-penelitian mereka telah memblejeti eksistensi seperangkat narasi yang terus menerus menyesuaikan diri terhadap perubahan di dalam pengaturan-pengaturan tempat kerja. Narasi-narasi ini melayani sebuah fungsi menstabilkan di dalam tempat kerja sampai pada tingkat mereka mengijinkan perilaku-perilaku yang dipikir dapat diterima untuk pekerjaan tersebut, bahkan saat ia  dipertimbangkan tidak dapat diterima di tempat lain. Narasi-narasi tersebut juga melayani hasrat majikan untuk efisiensi yang berasal dari satu angkatan kerja yang homogen, yaitu laki-laki imigran. Sebagai contoh, sebuah lingkungan hiper maskulin di sektor kontruksi didukung oleh narasi-narasi maskulinitas yang menekankan sifat pekerjaan maskulin, sejumlah kekuatan kasar diperlukan untuk melakukannya, hinaan terhadap orang-orang yang mengeluhkan kondisinya, atmosfir hiper seksualitas di kalangan rekan kerja. Ini menjenis kelaminkan kerja, atau dengan kata lain, melanggengkan pekerjaan-pekerjaan tertentu untuk para "lelaki sungguhan" dan menahan semua yang lain tetap di luar mereka.
Lalu bagaimana narasi-narasi maskulinitas melaksanakan tujuan majikan untuk efisiensi, memaksimalkan profit, tempat bekerja yang stabil dan dapat diandalkan? Majikan mencari homogenitas yang mempengaruhi cara para pekerja berkelakuan dan tetap tinggal di dalamnya. Pendekatan maskulinitas membuat daftar cara-cara pekerja belajar menyesuaikan diri dengan peranan spesifik gender di tempat kerja. Seorang majikan yang membuat struktur-struktur tempat kerja yang mengijinkan marjinalisasi berdasarkan ras maupun gender (dan dalam beberapa kasus, status imigran) juga faedah dari perkembangan narasi-narasi yang menyesuaikan diri dengan struktur-struktur tersebut. Karena itu pendekatan maskulinitas berfokus pada baik itu struktur-struktur maupun pada cara narasi-narasi tersebut bertambah berlipat-lipat ganda di semua tempat kerja. Pendekatan maskulinitas mencari jawaban mengapa pekerja, khususnya pekerja upahan, mengambil pekerjaan-pekerjaan yang mereka lakukan ketika nilai intrinsik dari pekerjaan tersebut tidak tercermin di dalam skala upahnya. Narasi-narasi maskulinitas menyediakan bagi pekerja nilai bukan-upah, martabat, harga diri, rasa bangga -- di dalam tenaga kerja upahan. Dengan cara ini maskulinitas memperkuat struktur-struktur hirarkis yang telah majikan bentuk, karena ia memasok pekerja dengan tujuan yang tercermin di dalam skala upah rendah.
Meskipun pendekatan maskulinitas tidak berbasis pada paradigma statis atau esensial, dan ada maskulinitas-maskulinitas berganda. Secara umum bisa diklasifikasikan ke dalam kategori hegemonik dan resistensi. Masing-masing mempengaruhi generasi dan regenerasi yang lainnya. Maskulinitas hegemonik adalah mereka yang menyediakan narasi-narasi untuk melestarikan dominasi ras tertentu dan laki-laki di tempat kerja dan hirarki jabatan-jabatan. Mereka hegemonik dalam artian bahwa mereka melestarikan relasi hirarkis atau relasi kekuasaan bahkan pada saat mreka berubah menuruti lingkungan. Melalui cerita-cerita personal mereka mereproduksi dan berevolusi menjadi narasi-narasi kultural.
Struktur-struktur majerial tempat kerja adalah contoh dari mereka yang melahirkan narasi-narasi maskulinitas hegemonik. Jadi, sebagai contoh, istilah-istilah seperti pengambilan resiko (risk-taking), agresifitas, pengambilan keputusan rasional, berorientasi masalah (problem-oriented), kemandirian, dan tanggung jawab manajerial adalah semua yang digunakan untuk melukiskan  pemimpin yang terlahir alamaiah. Dan sifat-sifat tersebut juga digunakan untuk melukiskan ideal maskulinitas hegemonik. Penggabungan norma-norma kepemimpinan ini atau norma-norma pekerja ideal dan maskulinitas adalah jantungnya. Bentuk-bentuk maskulinitas hegemonik lainnya adalah termasuk otoriterianisme, paternalisme, karirisme, entreprenerialisme, dan informalisme. Sebuah gaya paternalistik contohnya, bersandar pada kepercayaan dan loyalitas berbasiskan pada dinamika dari figur bapak, gaya otoritarian meraih tujuan lewat kekuasaan dan kontrol yang koersif, informalisme memerlukan membangun hubungan di dalam dan di luar tempat kerja, karirisme di berlakukan lewat mobilitas ke atas sebagai sebuah tanda maskulinitas, dan entreprenerialisme berfokus pada sifat-sifat seperti kompetitif dan efisiensi, keduanya adalah sifat-sifat laki-laki. Gaya-gaya manajemen ini beserta narasi-narasi maskulinitas nya yang melahirkan respon-respon yang kemudian dapat mengisolasi minoritas-minoritas dan perempuan di tempat kerja. Maskulinitas hegemonik mejadi penting karena ia menunjukkan struktur-struktur manajemen kepada pekerja migran yang merespon melalui bentuk-bentuk maskulinitas resistensi mereka sendiri.
Maskulinitas resistensi dilukiskan dengan sangat baik saat mereka merespon, pada saat yang sama mereproduksi narasi-narasi maskulinitas hegemonik. Di tempat kerja, mereka adalah metode-metode dimana para bawahan menemukan nilai ataun martabat di dalam aspek non-remunerasi dari jabatan-jabatan mereka. Narasi-narasi maskulinitas ini mengijinkan para bawahan unruk menavigasi posisi dan situasi organisasional mereka di tempat kerja. Narasi-narasi maskulinitas di dalam kelompok-kelompok pekerja ini berfokus pada perbedaan-perbedaan antara kelas pekerja dan kelas-kelas pekerja manajerial dengan mengurangi sifat maskulin pekerjaan-pekerjaan manajerial dan mengembungkan kualitas maskulin pekerjaan-pekerjaan kerah biru atau kasar.  Sebuah kajian menemukan bahwa di dalam lingkungan pabrik manufaktur, para pekerja di dalam pekerjaan-pekerjaan buntu telah menciptakan kembali pengalaman-pengalaman mereka, memberikan mereka makna yang positif, transformatif dan menjadi sebuah cara mentolerir kehidupan kerja mereka. Para pekerja di sana mengembangkan sebuah budaya antara lain " keberanian mental dan fisik untuk bertahan hidup di dalam kondisi yang sangat tak bersahabat, melakukan kerja yang sulit pada material-matrial yang keras. Narasi-narasi lelaki yang tangguh dan berani, membantu para pekerja membentuk harga diri mereka, seperti halnya perasaan memegang kendali atas kondisi kerja yang sulit, dan terkadang tak tertanggungkan. Inilah yang disebut dengan " mitologi reputasi maskulin." Itulah cara bagaimana sebuah lingkungan kerja yang sulit bertransformasi menjadi suatu yang bisa ditanggung/dipikul, selain  diambil dari kerja itu sendiri, juga menanamkannya bahwa itu perlu bagi keberhasilan kualitas kelelakian.
Pekerja mengekspresikan tempat mereka di dalam hirarki kerja melalui serangkaian maskulinitas yang meengeskpresikan diri mereka sendiri dalam bentuk seperti guyonan, dan bahasa yang konyol, mengontrol melalui kelompok, sebaliknya menegasikan kerja-kerja yang lain seperti perempuan dan minoritas-minoritas. Singkatnya, ia menunjukkan bagaimana cara maskulinitas membantu para pekerja kasar/kerah biru menjelaskan atau mengerti akan kehidupan mereka sebagai orang bawahan. Di sektor konstruksi perilaku hiper maskulin adalah hal yang sudah biasa, persaingan, keagresifan yang berlebih-lebihan, perilaku hiperseksual yang terang-terangan. Dan narasi-narasi bahwa laki-laki dapat melakukan semua jenis pekerjaan keras dan berat. Mereka juga dimaklumi atas perilaku kasar. Narasi-narasi maskulinitas di sektor konstruksi memunculkan "budaya jangan mengeluh," di kalangan para pekerja yang secara invidual merasa malu atau enggan mengeluhkan syarat-syarat kerja yang buruk. Para pekerja diharapkan bisa mentolerir keadaaan yang keras dan berat. Dan siapapuun yang mengeluhkan keadaan tersebut akan dianggap lemah, bukan laki-laki. Â Budaya ini menyokong norma di tempat kerja yang menghalang-halangi perempuan dari pekerjaan-pekerjaan konstruksi.
Ya, Ratusan juta orang menderita karena diskriminasi di dalam dunia kerja, ini bukan hanya melanggar hak asasi manusia yang paling dasar, namun juga memiliki akibat sosial dan ekonomi yang luas. Diskriminasi membuang-buang kesempatan dan bakat manusia yang dibutuhkan bagi kemajuan ekonomi, dan menimbulkan tekanan sosial dan ketidaksetaraan.
Dalam rangka memperingati hari Migran Internasional tahun ini, mari kita perangi diskriminasi terhadap pekerja migran khusunya dan semua bentuk diskriminasi yang hidup di dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H