Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Partisipasi Perempuan Meningkat, Belum Tentu Kesetaraan Gender Meningkat

15 April 2019   22:45 Diperbarui: 11 Desember 2019   23:23 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada debat capres dan cawapres ke lima tanggal 13 April 2019 yang lalu, kedua pasangan capres-cawapres menawarkan program yang akan meningkatkan partisipasi perempuan dalam ekonomi. Paslon no 01 Jokowi-Maruf Amin menawarkan atau menjanjikan program seperti program kredit usaha mikro Indonesia, bank waqaf mikro, program dewi (desa wisata) dan dedi (program desa digital). Sementara paslon 02 Prabowo-Sandiaga Uno yang menitik beratkan pada pelatihan, pendampingan, dan memudahkan perijinan bagi perempuan pemilik/pengelola UKM.

Namun pertanyaanya, apakah program-program yang ditawarkan atau dijanjikan kedua paslon capres-cawapres tersebut, serta merta meningkatkan kesetaraan gender? Apakah parstisipasi perempuan dalam ekonomi, misalnya UKM yang dikelola oleh kaum perempuan atau ibu-ibu membuat posisi mereka setara di dalam rumah tangganya? Faktanya, masih banyak dari mereka menganggap usaha mereka untuk membantu "ekonomi keluarga", artinya membantu suaminya yang merupakan pencari nafkah utama, posisi mereka tetap "second sex". Di dalam keluarga, mereka tetap menjalani "kodrat" mereka sebagai ibu, yaitu mengurus suami dan anak-anak. Kesetaraan gender menuntut adanya pembagian kerja rumah tangga yang "fair" antara suami dan istri. Malahan beban mereka menjadi berganda.

Memang sekarang makin banyak perempuan yang bekerja di ranah publik, namun itu tidak membuat posisi perempuan dalam keluarga menjadi setara, bahkan meskipun mereka menjadi tulang punggung keluarga, atau pencari nafkah utama di dalam keluarga. Banyak dari perempuan yang bekerja di ranah publik, baik itu formal maupun informal mengeluhkan beban ganda yang mereka alami. Menurut mereka, walaupun mereka telah menghabiskan waktu untuk ikut mencari nafkah juga tetap menjalankan peran sebagai istri dan dan ibu. 

Bahkan Menteri PPPA, Yohana Yembise pun mengakui bahwa meskipun  kondisi perempuan Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan, banyak upaya yang telah dilakukan, namun data menunjukkan bahwa posisi dan status perempuan masih menghadapi hambatan dibandingkan laki-laki di berbagai bidang pembangunan. 

Walaupun data Indeks Pembangunan Gender (GDI) Indonesia adalah 92,6 sedangkan GDI dunia rata-rata adalah 93,8. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menempati posisi ke-enam dari semua negara ASEAN. Pemerintah menggunakan Indeks Pemberdayaan Gender (GEI) untuk mengevaluasi program-program pemberdayaan gender, dengan rata-rata GEI Indonesia selama 2010-2016 sebesar 70,10. Meskipun Indeks Pemberdayaan Gender sejak 2010 hingga 2016 terus meningkat setiap tahunnya, namun fakta kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia masih ada. 

Hal tersebut yang dikatakan oleh Menteri PPPA bisa terjadi karena Pembangunan lebih menitik beratkan kepada jumlah kwantitatif partisipasi perempuan, namun tidak menitiberatkan kepada kualitas pembangunan. Kuantitas memang penting namun yang paling penting adalah perubahan "mindset" masyarakat dari patriarki menjadi setara gender atau egaliter laki-laki dan perempuan. Di sini pendidikan menjadi kunci perubahan mindset tersebut. 

Kesetaraan Gender Versus Budaya Patriarki

Sri Mulyani, Menteri Keuangan dalam suatu seminar Partisipasi Perempuan dalam Ekonomi berkata "

“Ketidaksetaraan gender mengakibatkan dampak negatif dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga pertahanan dan keamanan. Beberapa lembaga internasional melihat ketidaksetaraan gender memiliki hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga akses keuangan, Perempuan harus diberikan akses yang sama dengan laki-laki".  "Dan untuk menciptakan ksetaraan gender mesti dimulai dari sejak pendidikan usia dini."

Kesetaraan gender adalah cara berpikir atau mindset begitu pula dengan budaya patiarki.  Kesetaraan gender menuntut pembagian kerja di dalam rumah tangga dibagi bersama, artinya pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak dilakukan bersama, tidak ada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, baik laki-laki dan perempuan dapat berbagi kerja baik di ranah publik maupun di dalam rumah tangga atau domestik. Sementara budaya patriarki sebaliknya pembagian kerja di dalam rumah tangga adalah, suami mencari nafkah (ranah publik) sementara isti mengurus suami, mengurus anak, dan melakukan pekerjan rumah tangga (ranah domestik). 

Mindset patriarki merupakan kendala terbesar di dalam meraih kesetaraan gender. Pekerjaan merubah mindset masyaraka adalah pekerjaan yang maha besar dan sangat sulit, karena sudah tertanam lama dalam pikiran dan di reproduksi terus menerus oleh lembaga-lembaga keluarga, pendidikan serta agama juga melalui media-media informasi dan komunikasi. Karena ini adalah suatu mindset masyarakat maka diperlukan kebijakan negara di dalam mendukung suatu transformasi halus yang menggeser mindset patriarki kepada budaya yang lebih egaliter antara laki-laki dan perempuan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun