Namun membuat kebijakan negara yang mendukung kesetaraan gender, bukanlah perkara mudah, bila keterwakilan perempuan di dalam pengambilan keputusan, misalnya di Parlemen atau DPR, keterwakilan perempuan di DPR dipatok 30%. Dari jumlah persentase saja sangat sulit memenangkan atau meloloskan, bahkan bila semua wakil perempuan tersebut mendukung, untuk kemungkinan meloloskan UU yang mendukung kesetaraan gender. Sementara data menunjukkan keterwakilan perempuan dan DPR tak pernah mencapai angka maksimal yaitu 30%, atau baru mencapai kisaran 20%. Pun dari 20% tersebut tak semua wakil perempuan tersebut semuanya bulat mendukung kesetaraan gender. Diantara kalangan wakil perempuan tersebut saja masih berselisih pandangan soal kesetaraan gender. Bahkan banyak juga di kalangan mereka yang berpandangan konservatif, atau sejalan dengan budaya patriarki, dengan argumen kodrat wanita sebagai istri dan ibu. Hal ini nampak jelas dalam proses RUU Kesetaraan Gender di DPR yang sempat dibahas di DPR pada tahun 2015-2016 sebagai salah satu prolegnas DPR.Â
Ada empat RUU yang sampai sekarang tertahan bahkan terhenti di dalam proses legalisasi RUU, yaitu RUU tentang perubahan atau UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU tentang Keadilan dan Kesetaraan gender, dan yang teranyar yaitu RUU Penghapusan Kekeasan Seksual. Keempatnya merupakan RUU yang strategis untuk mewujudkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan di Indonesia.Â
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah diusulkan perubahan sejak tahun 2002, terutama untuk menghentikan praktek perkawinan anak. Batas usia minimal perkawinan bagi perempuan yang diatur dalam UU Perkawinan adalah 16 tahun. Batas usia perkawinan tersebut masih tergolong usia anak. Â Data BPS menunjukkan sekitar 11 % dari jumlah perkawinan setiap tahun adalah perkawinan yang salah satu pihaknya berusia di bawah 16 tahun karena adanya mekanisme dispensasi bagi perkawinan di bawah batas usia yang telah ditentukan. Perkawinan anak, berakibat pada kegagalan menuntaskan wajib belajar 12 tahun dan menyumbang tingginya angka Kematian Ibu dan Anak. Indonesia kini menduduki urutan ke 7 di dunia dan ke 2 di Asia Tenggara sebagai negara yang paling banyak memiliki jumlah perkawinan Anak.
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) dinanti pembahasannya sejak 13 tahun silam. Penundaan pembahasan RUU PRT menyebabkan Pekerja Rumah Tangga belum memiliki perlindungan hukum untuk mengatasi kerentanannya dari tindak kekerasan, eksploitasi kerja hingga perbudakan modern. Upah yang rendah, ketidakpastian hari libur dan cuti, serta pemutusan hubungan kerja secara sepihak masih dialami oleh pekerja rumah tangga.
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah diusulkan perubahan sejak tahun 2002, terutama untuk menghentikan praktek perkawinan anak. Batas usia minimal perkawinan bagi perempuan yang diatur dalam UU Perkawinan adalah 16 tahun. Batas usia perkawinan tersebut masih tergolong usia anak. Â Data BPS menunjukkan sekitar 11 % dari jumlah perkawinan setiap tahun adalah perkawinan yang salah satu pihaknya berusia di bawah 16 tahun karena adanya mekanisme dispensasi bagi perkawinan di bawah batas usia yang telah ditentukan. Perkawinan anak, berakibat pada kegagalan menuntaskan wajib belajar 12 tahun dan menyumbang tingginya angka Kematian Ibu dan Anak. Indonesia kini menduduki urutan ke 7 di dunia dan ke 2 di Asia Tenggara sebagai negara yang paling banyak memiliki jumlah perkawinan Anak.
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) dinanti pembahasannya sejak 13 tahun silam. Penundaan pembahasan RUU PRT menyebabkan Pekerja Rumah Tangga belum memiliki perlindungan hukum untuk mengatasi kerentanannya dari tindak kekerasan, eksploitasi kerja hingga perbudakan modern. Upah yang rendah, ketidakpastian hari libur dan cuti, serta pemutusan hubungan kerja secara sepihak masih dialami oleh pekerja rumah tangga.
Sementara RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender, sempat menjadi pembahasan di tingkat pemerintah dan DPR pada tahun 2015 – 2016, namun kembali terhenti. RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender sangat strategis untuk menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi, stigmatisasi, labelisasi maupun kekerasan terhadap perempuan karena pembedaan perannya di dalam keluarga dan masyarakat. RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender juga merupakan komitmen pemerintah dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dimana target 5.1, Mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting bagi para korban. Â RUU itu nantinya bakal membuka akses yang cukup bagi korban kekerasan seksual untuk mencari keadilan. Akses keadilan bagi korban kekerasan seksual belum terdapat dalam aturan yang ada saat ini. korban kekerasan seksual yang tak mendapat akses cukup untuk keadilan bakal mengalami dampak yang serius. Dampak itu bisa berupa dampak fisik ataupun psikis. akses keadilan bagi korban kekerasan seksual belum terdapat dalam aturan yang ada saat ini. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam KUHP.Â
Mengubah "Mindset" Patriarki
"Menciptakan kesetaraan gender mesti dimulai sejak pendidikan usia dini". Demikian pernyataan Sri Mulyani, Menteri Keuangan dalam salah satu seminar.
" Mindset" patriarki direproduksi, diajarkan sejak anak usia dini di dalam lembaga(informal) Â keluarga dan lembaga pendidikan formal. Salah satu kunci untuk mengubah mindset patriarki menjadi setara gender adalah melalui pendidikan, yaitu pendidikan yang berperspektif kesetaraan gender Pendidikan sebagai alat untuk mentransfer norma-norma masyarakat,pengetahuan dan kemampuan, perempuan akan tidak berdaya jika norma kesetaraan gender tidak terwujud dalam pendidikan. Sebab persoalan ketidak adilan dan ketidaksetaraan gender tidak hanya dalam ruang-ruang perebutan sosial dan ekonomi, politik dan regulasi pemerintah atau dari hasil beragam persilangan tafsir terhadap nilai-nilai budaya dan orientasi agama. Adalah fakta bahwa peningkatan partisipasi perempuan di ranah publik tidak serta merta membawa kepada kesetaraan gender, bagi perempuan yang sudah berkeluarga, partisipasinya di ranah publik justru malah menambah beban, menjadi beban ganda.