Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dua Sisi Cermin, Supremasi Barat

23 Desember 2018   20:42 Diperbarui: 11 Desember 2019   23:36 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 1993, pada journal Nature, penelitian dari University of California, Irvine yang dilakukan psikolog Frances H. Rauscher dan rekan-rekannya menemukan bahwa setelah diperdengarkan musik Mozart 1781 sonata yang dimainkan dengan dua piano dalam tangga nama D mayor (KV 448) terhadap beberapa siswa, ternyata dapat meningkatkan kemampuan mengerjakan soal-soal mengenai spasial (ruang).

Pada saat itu surat kabar New York Times menulis dengan mendengarkan musik Mozart dapat menjamin anak-anak mendapatkan sekolah yang baik. Beberapa ahli lainnya berkomentar bahwa musik Mozart adalah peluru ajaib untuk mendorong kemampuan intelegensia anak-anak. 

Publisitas yang berlebihan juga dilakukan Gubernur Georgia, Zell Miller pada 1998 yang memastikan setiap ibu yang baru melahirkan anak akan menerima satu paket CD musik klasik. Pada tahun yang sama pemerintah Florida uga mewajibkan setiap pusat pendidikan anak untuk melantunkan musik klasik minimal satu jam dalam sehari.

Lebih dari 15 tahun para ilmuwan terkecoh karena anggapan mendengarkan musik klasik dapat membuat seseorang lebih pintar. Sekarang, sejumlah peneliti dari University of Vienna, Austria yakni Jakob Pietschnig, Martin Voracek and Anton K. Formann menemukan bahwa tidak ada efek apapun terhadap kemampuan kognitif apabila anda atau bayi anda sering mendengar lagu klasik. 

Sebelum melakukan penelitian, Pietschnig dan kawan-kawannya mengumpulkan semua pendapat dan temuan para ahli terkait dampak musik Mozart terhadap tingkat intelegensi seseorang kemudian mereka membuat riset terhadap 3000 partisipator.

Berdasarkan penelitian terhadap ribuan partisipator itu, Pietschnig dan rekan-rekannya menyimpulkan tidak ada stimulus atau sesuatu yang mendorong peningkatan kemampuan spasial seseorang setelah mendengarkan musik Mozart.

Fakta di atas adalah salah satu contoh gagasan gagasan yang dibalut sains,  yang sebanarnya di dasari pada pandangan Supremasi Barat. Fakta bahwa musik klasik adalah produk peradaban barat. Gagasan bahwa musik klasik bisa membuat bayi menjadi manusia yang  cerdas. Gagasan ini seakan-akan ingin memperlihatkan atau membuktikan kedigdayaan peradaban barat. Sekaligus mengatakan musik-musik non-klasik atau bukan produk barat tak bisa menyaingi atau mengalahkan kehebatan musik klasik Barat.

Pandangan bahwa musik klasik barat bisa membuat anak menjadi cerdas sempat mempengaruhi keluarga-keluarga kelas menengah di Indonesia. Banyak dari mereka yang termakan pandangan tersebut. CD  berisi musik-musik klasik pun mengalamai peningkatan penjualan. Sampai sekarang pun masih banyak yang mempercayainya. Meski sudah dibantah oleh banyak penelitian lainnya. 

Fakta lainnya adalah bagaimana barat mendefinisikan dan memnbagi benua di bumi. Berdasarkan istilah geografis,  benua adalah daratan besar yang ada di permukaan bumi. Namun Barat, Eropa, meskipun ia satu daratan dengan Asia, orang-orang Eropa menggap mereka sebagai benua tersendiri, karena alasan budaya yang berbeda dengan Asia. Kalau argumennya begitu, seharusnya benua amerika dan Australia, harusnya masuk benua Eropa karena budaya barat telah menjadi budaya dominan di benua tersebut. 

Seharusnya benua Asia dan Eropa itu Satu benua, yaitu benua Eurasia. Bangsa Eropa, bangsa barat, tidak mau disamakan dengan bangsa Asia. Mereka merasa superior dari bangsa Asia, dan bangsa lainnya.  Argumen mereka yang lain adalah karena Ras mereka berbeda. Mirip dengan argumen budaya, orang-orang Australia dan Amerika harusnya juga masuk benua Eropa, karena ras eropa adalah ras yang dominan di sana. Pun di Asia secara Ras, orang-orang timur tengah secara fisik dan bahasa juga sangat berbeda dengan orang-orang asia lainnya (Terutama di Asia Timur dan tenggara. 

Kalau mengikuti argumen mereka, seharusnya timur tengah itu menjadi benua tersendiri. Begitu pula dengan ras, orang-orang timur tengah, secara fisik mirip dengan orang-orang eropa. Tapi orang-orang Eropa menolak memasukkan orang-orang timur tengah masuk menjadi ras yang sama dengan mereka. Barat tidak mau disamakan dengan orang timur tengah, karena, balik lagi ke argumen budaya. Pandangan yang tidak konsisten dan tidak sesuai fakta ini, masih saja diajarkan di sekolah-sekolah, bahkan di buku-buku sekolah.  

Perspektif Supremasi Barat yang rasis dan kolonialis, sampai sekarang masih direproduksi di dalam buku-buku pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia di sekolah-sekolah. Banyaknya orang Indonesia, bahkan yang terpelajar masih meyakini bahwa Indonesia dijajah bangsa Barat, selama 350 tahun. 

Padahal faktanya tak ada satupun wilayah Indonesia yang dijajah oleh Belanda/Barat selama 350 tahun. Banten/Jakarta benara-benar dikuasai sepenuhnya oleh Belanda pada tahun 1602, Maluku pada tahun 1630, Aceh benar-benar ditaklukkan sepenuhnya pada tahun 1912, Bali pada tahun 1906. Mitos ini malahan mengukuhkan supremasi dan superioritas bangaa barat/Kulit Putih. 

Juga kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Papua, juga tak lepas dari perpektif kolonialisme yang notabenenya merupakan bagian dari supremasi Barat, yaitu merasa yang paling tahu apa yang diiginkan dan dibutuhkan oleh rakyat papua, sehingga kebijakan-kebijakan tersebut seperti dipaksakan kepada rakyat papua. 

Namun isu hak asasi manusia yang diangkat oleh pemerintah AS, juga berstandar ganda, karena Perusahaan Raksasa Free Port, turut berkontribusi dengan pelanggaran-pelanggaran  HAM di Papua. 

 Pandangan rasis terhadap warga tionghoa di Indonesia juga warisan pandangan supremasi Barat atau superioritas kulit putih. Susan Blackburn dalam bukunya  Jakarta: Sejarah 400 tahun menulis bahwa masyarakat Tionghoa sudah ada sebelum kedatangan Belanda. Relasi antara masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat saat itu setara sebagai rekan pedagang. 

Ketika VOC masuk, kondisi berubah. Masyarakat Tionghoa dimanfaatkan VOC sebagai rekan bisnis dan mendapatkan perlakuan istimewa ketimbang kebanyakan masyarakat setempat. Hubungan mesra antara masyarakat Tionghoa dan VOC tidak berlangsung lama. Pada Oktober 1740 seperti yang ditulis Blackburn, warga tionghoa yang sebagian besar petani dan kuli. Sambil membawa senjata buatan sendiri para kuli Cina berbaris menuju kota, tempat ratusan kawan sebangsanya tinggal di dalam dinding kota. 

Meskipun orang Cina yang tinggal di kota sedikit sekali atau sama sekali tak berhubungan dengan orang Cina di luar dinding kota, beredar isu bahwa mereka berencana membantu para pemberontak. Kecurigaan dan paranoia orang Eropa, yang didasari pandangan/prasangka rasialis serta pribumi membuat kondisi memburuk. 

Mereka secara spontan menyerang balik para Tionghoa ini. Tidak hanya membunuh mereka juga menjarah dan membakar sekitar 6.000-7.000 rumah orang Tionghoa. Adrian Volckanier Gubenur Jenderal saat itu mengeluarkan surat perintah: bunuh dan bantai orang-orang Tionghoa. Sebanyak 500 orang Cina yang dipenjara di Balai Kota satu per satu dikeluarkan lalu dibunuh dengan keji. 

Selama seminggu, kota terbakar hebat dan kanal-kanal menjadi merah karena darah dan korban mencapai 10.000 orang. Peristiwa pembantaian orang-orang Cina di Batavia ini dikenal dengan Geger Pecinan. Kolonial Belandalah yang menanamkan pandangan rasialis kepada orang Indonesia, terutama terhadap warga keturunan Tionghoa. Pandangan rasialis, pada tingkat tertentu orang kita memandang rakyat Papua sebagai' orang primitif' dan 'orang belum beradab', tanpa bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita ini 'orang sudah beradab'.

Bahkan Demokrasi yang kita adopsi sekarang ini adalah impor dari Barat. Demokrasi memang masih sistim yang terbaik sampai saat ini, namun harus diwaspadai, karena di Amerika(pemimpin Barat) sendiri, demokrasi telah dibajak dan disetir oleh kepentingan korporasi-korporasi besar. Demokrasi. Harus dijaga jangan sampai demokrasi kita  dibajak dan disetir oleh kepentinga korporasi, baik itu korporasi nasional maupun korporasi-korporasi asing.

Tulisan ini bukan untuk mengajak orang untuk anti-Barat. Fakta-fakta  diatas adalah sedikit dari fakata-fakta yang bersumber dari pandangan-pandangan akan supremasi Barat. Supremasi Barat adalah   suatu pemikiran kolonial yang menceritakan bagaimana Barat itu superior daripada bangsa lain, bagaimana barat bisa sampai mendominasi dunia. 

Turunan dari Supremasi Barat adalah apa yang dikenal dengan "Euro-centrism", "Orientalism" dan "White Supremacy". Pemikiran Supremasi barat ini mencapai puncaknya saat jaman kolonialisme Barat menjajah bangasa-bangsa lainnya (terutama di Afrika dan Asia). Walaupun era kolonialisme Barat telah berakhir dengan merdekanya negara-negara jajahan Barat, bukan berarti pemikiran-pemikiran Supremasi Barat tersebut menghilang. Supremasi Barat tetap dipelihara untuk keberlangsungan kepentingan hegemoni dan dominasi Barat di bumi ini.

Untuk memahaminya, kita perlu menarik  benang merah, bagaimana Barat meraih supremasinya, dan lalu bagaimana ia dijadikan mitos-mitos yang dirasionalisasi agar orang Barat dan non Barat meyakininya, dengan demikian supremasi dan dominasi Barat atas dunia tetap terjaga. 

Pertama-tama, tak seperti imperium-imperium lainnya di masa lalu, Barat adalah satu-satunya impetium yang telah memproduksi aparat-aparat  teoritis (filosofis, moral dan saintifik). Ia juga merupakan sebuah paradoks, yaitu kemampuannya untuk memproduksi dan bahkan dengan kekerasan dalam menggalakkan prinsip-prinsip universal (misalnya demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia) dan lagi, pada saat yang sama, menggunakan kapasitas yang tiada habisnya untuk pembenaran diri atas pelangggaran terhadap prinsip-prinsip universalnya sendiri.

Barat membangun hegemoninya lewat dua proses kembar yaitu pengenyahan dan pencaplokan. Mitos pendirian yunani-romawinya Barat memungkinkan nya untuk menghapus pengaruh non-kristen dan oriental dari peradaban eropa barat. 

Eropa menciptakan dirinya kembali dengan mengenyahkan kontribusi historis, intelektual, kultural, dan sains yang dibuat oleh peradaban bangsa Babilonia, Mesir, India, Islam (Arab), antara lain, agar supaya percaya, dan lalu membujuk yang lainnya untuk menerima bahwa Barat membangun dirinya sendiri dan berhutang kejayaanya hanya pada daya upayanya sendiri. Pengusiran paksa kaum yahudi dan muslim dari Spanyol, contohnya, telah mendeklarasikan sebuah teritori politik baru Barat dan dicocokan dengan pengenyahan pemikiran bangsa yahudi dan muslim dari teritori intelektual barat.

Pengenyahan "yang Lainnya" berparalel dengan pencaplokan tanah-tanah mereka, yang membawa eropa melakukan genosida skala besar dalam sejarah. 

Depopulasi (pengurangan drastis) yang cepat dari penduduk asli Amerika dan perdagangan budak trans-atlantik dirasionalisasikan dengan sebuah ideologi yang melegitimasi ide superioritas rasial dan pemilihan diri sendiri Barat sebagai satu-satunya Manusia Utuh. Tambahan lagi, mitos-mitos baru muncul  dan sejarah-sejarah yang ditulis ulang untuk mensahkan atau memvalidasi sejarah tentang kekukuhan Barat bahwa ekspansinya diperlukan buat mengintrodusir dunia kepada kemerdekaan dan kebebasan dan mempromosikan hak asasi manusia. Sampai saat ini, tak terhitung banyaknya warga amerika yang berpegang pada interpretasi perbudakan dari sebuah buku yang diterbitkan 100 tahun yang lalu.  

Pada tahun 1918, sejarawan Ulrich Bonnell Philips menerbitkan kajiannya yang sangat berpengaruh  yaitu "American Negro Slavery".  Dalam kajiannya itu dia menyimpulkan bahwa lembaga perbudakan adalah sebuah perjanjian kerja yang penuh kebajikan antara tuan majikan yang pemurah dengan budak -budak yang bahagia. 

Sebuah laporan dari Southern Poverty Law Center, mengungkap bahwa masalah perbudakan yang diajarkan di sekolah-sekolah umum, berdasarkan pada perspektif orang Kulit Putih, sehingga gagal menghubungkan lembaga perbudakan tersebut kepada keyakinan-keyakinan dari Supremasi Kulit Putih yang mendukungnya.

Barat mengelola dan mendominasi era pasca kolonial melalui serangkaian standar ganda dan kemunafikan total.  Wajah baru dari misi lama Barat yaitu mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia. Barat , di dalam konteks sejarahnya dan konteks baru-baru ini, menutupi pelanggarannya sendiri sesering ia mengklaim dirinnya sebgai satu-satunya pelindung dan dan penjamin demokrasi, modernitas, dan hak asasi manusia. 

Sekali lagi , masyarakat-masyarakat dipaksa untuk membentuk dan mencetak dirinya sendiri sesuai citra Barat yang diidentifikasi sebagai model yang tak terbantahkan dari sebuah masyarakat yang "beradab", namun tak pernah bisa menjadi sepenuhnya "beradab". Memperbaiki dan menyelamatkan "yang Lain" untuk membuatnya lebih dekat menyerupai Barat adalah tujuan akhir dari bentuk-bentuk baru intervensi dan imperialisme. 

Namun bukan berarti bangsa-bangsa non-Barat tak berdaya dan tunduk begitu saja. Bangsa-bangsa non Barat juga punya banyak cara, secara historis dan sampai sekarang terus mencari cara  untuk memutus, melepaskan, melawan, dan membangun kembali  diri mereka sendiri dan masyarakat-masyarakatnya baik di daerah jantung dan di daerah-daerah pinggiran Barat.  Lagipula, gangguan-gangguan Barat telah menghasilkan ragam bentuk resistensi dan transformasi-transformasi yang membuka paradigma alternatif yang sangat mereka butuhkan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun