Perspektif Supremasi Barat yang rasis dan kolonialis, sampai sekarang masih direproduksi di dalam buku-buku pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia di sekolah-sekolah. Banyaknya orang Indonesia, bahkan yang terpelajar masih meyakini bahwa Indonesia dijajah bangsa Barat, selama 350 tahun.Â
Padahal faktanya tak ada satupun wilayah Indonesia yang dijajah oleh Belanda/Barat selama 350 tahun. Banten/Jakarta benara-benar dikuasai sepenuhnya oleh Belanda pada tahun 1602, Maluku pada tahun 1630, Aceh benar-benar ditaklukkan sepenuhnya pada tahun 1912, Bali pada tahun 1906. Mitos ini malahan mengukuhkan supremasi dan superioritas bangaa barat/Kulit Putih.Â
Juga kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Papua, juga tak lepas dari perpektif kolonialisme yang notabenenya merupakan bagian dari supremasi Barat, yaitu merasa yang paling tahu apa yang diiginkan dan dibutuhkan oleh rakyat papua, sehingga kebijakan-kebijakan tersebut seperti dipaksakan kepada rakyat papua.Â
Namun isu hak asasi manusia yang diangkat oleh pemerintah AS, juga berstandar ganda, karena Perusahaan Raksasa Free Port, turut berkontribusi dengan pelanggaran-pelanggaran  HAM di Papua.Â
 Pandangan rasis terhadap warga tionghoa di Indonesia juga warisan pandangan supremasi Barat atau superioritas kulit putih. Susan Blackburn dalam bukunya  Jakarta: Sejarah 400 tahun menulis bahwa masyarakat Tionghoa sudah ada sebelum kedatangan Belanda. Relasi antara masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat saat itu setara sebagai rekan pedagang.Â
Ketika VOC masuk, kondisi berubah. Masyarakat Tionghoa dimanfaatkan VOC sebagai rekan bisnis dan mendapatkan perlakuan istimewa ketimbang kebanyakan masyarakat setempat. Hubungan mesra antara masyarakat Tionghoa dan VOC tidak berlangsung lama. Pada Oktober 1740 seperti yang ditulis Blackburn, warga tionghoa yang sebagian besar petani dan kuli. Sambil membawa senjata buatan sendiri para kuli Cina berbaris menuju kota, tempat ratusan kawan sebangsanya tinggal di dalam dinding kota.Â
Meskipun orang Cina yang tinggal di kota sedikit sekali atau sama sekali tak berhubungan dengan orang Cina di luar dinding kota, beredar isu bahwa mereka berencana membantu para pemberontak. Kecurigaan dan paranoia orang Eropa, yang didasari pandangan/prasangka rasialis serta pribumi membuat kondisi memburuk.Â
Mereka secara spontan menyerang balik para Tionghoa ini. Tidak hanya membunuh mereka juga menjarah dan membakar sekitar 6.000-7.000 rumah orang Tionghoa. Adrian Volckanier Gubenur Jenderal saat itu mengeluarkan surat perintah: bunuh dan bantai orang-orang Tionghoa. Sebanyak 500 orang Cina yang dipenjara di Balai Kota satu per satu dikeluarkan lalu dibunuh dengan keji.Â
Selama seminggu, kota terbakar hebat dan kanal-kanal menjadi merah karena darah dan korban mencapai 10.000 orang. Peristiwa pembantaian orang-orang Cina di Batavia ini dikenal dengan Geger Pecinan. Kolonial Belandalah yang menanamkan pandangan rasialis kepada orang Indonesia, terutama terhadap warga keturunan Tionghoa. Pandangan rasialis, pada tingkat tertentu orang kita memandang rakyat Papua sebagai' orang primitif' dan 'orang belum beradab', tanpa bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita ini 'orang sudah beradab'.
Bahkan Demokrasi yang kita adopsi sekarang ini adalah impor dari Barat. Demokrasi memang masih sistim yang terbaik sampai saat ini, namun harus diwaspadai, karena di Amerika(pemimpin Barat) sendiri, demokrasi telah dibajak dan disetir oleh kepentingan korporasi-korporasi besar. Demokrasi. Harus dijaga jangan sampai demokrasi kita  dibajak dan disetir oleh kepentinga korporasi, baik itu korporasi nasional maupun korporasi-korporasi asing.
Tulisan ini bukan untuk mengajak orang untuk anti-Barat. Fakta-fakta  diatas adalah sedikit dari fakata-fakta yang bersumber dari pandangan-pandangan akan supremasi Barat. Supremasi Barat adalah  suatu pemikiran kolonial yang menceritakan bagaimana Barat itu superior daripada bangsa lain, bagaimana barat bisa sampai mendominasi dunia.Â