Menurut data dari World Bank, tenaga kerja yang bekerja di sektor perikanan berjumlah 4.105.755 orang dan mayoritas bekerja sebagai nelayan. Sementara itu Kementrian Luar Negeri melaporkan pada tahun 2014 bahwa ada 262.869 ABK migran Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing luar negeri, dan tersebar di beberapa negara yaitu, Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan hinga Puerto Rico.
Mereka bekerja di perairan internasional, kebanyakan mereka terkonsentrasi di Laut Cina Selatan, Laut Andaman, Lautan Atlantik dan Karibia, Lautan Pasifik, Laut Australia, dan Selandia Baru.
Para ABK migran ini direkrut dan ditempatkan oleh perusahaan penempatan pelaut atau awak kapal, yang status perusahaannya justru tidak terdaftar di Kementrian Keteneagakerjaan melainkian terdaftar di Kementrian Perhubungan.
Seharusnya untuk pengaturan  yang berkaitan dengan jenis/identitas kapal serta lalu lintas laut itu wilayahnya Kementrian Perhubungan, sementara yang terkait dengan norma dan standar ketenagakerjaan sudah seharusnya diatur oleh Kementrian Ketenagakerjaan.
Sampai sekarang ini, belum ada kemauan pemerintah untuk membuat formula dan model teknis perlindungan untuk ABK migran. Dan pemerintah juga belum meratifikasi Konvensi ILO No. 188 yang mengatur pekerja perikanan.
Dengan kondisi demikian, pemerintah seyogyanya sebagai pembuat kebijakan semestinya sesegera mungkin membuat kebijakan yang dapat melindungi ABK migran. jangan sampai menunggu korban-korban selanjutnya, dan malah melanggengkan praktik perbudakan di lautan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H