Tuk ... tuk ... tuk ...
Anis mengaduk kopi menggunakan sendok kecil searah jarum jam dengan cepat, ketukan sendok dengan permukaan dalam cangkir berwarna putih susu tersebut menghasilkan suara ritmis yang khas.
Cangkir berisi kopi yang masih menguarkan uap putih dipindahkannya ke atas nampan dan segera ia bawa ke ruang tamu untuk disuguhkan. Sore ini rumah Anis kedatangan seseorang yang menjanjikan angin segar untuk Antok--suaminya. Binar wajah yang tak redup sejak kemarin malam menandakan betapa bersemangat Antok menyambutnya.
Seusai tamu pulang, anis bertanya kepada suaminya, "Mas serius mau ambil pinjaman dari Pak Rosadi?"
"Yakin, Nis. Kenapa?" jawab Antok mantap.
"Aku takut kalau sebanyak itu, Mas. Lagian kenapa tidak ke bank saja sekalian?"
"Pinjaman kita yang kemarin belum tutup, Nis. Mau menyekolahkan yang mana lagi?" jawab Antok kemudian melanjutkan, "Kalau sama Pak Rosadi enggak ninggal apa-apa."
"Lagian kita akan mendapatkan berkali lipat tiga bulan lagi. Kamu tenang saja, Nis." Antok sangat yakin jika usahanya nanti akan berjalan mulus.
Satu bulan yang lalu saat Anis dan Antok pergi ke rumah saudaranya yang ada di Kecamatan Rejoso--salah satu kecamatan di Kabupaten Nganjuk sebagai penghasil bawang merah, Antok tertarik dengan cerita pamannya yang sekarang berkecukupan karena menjadi petani bawang merah. Dua atau tiga hari sekali Antok jadi rajin mengunjungi sang paman guna belajar cara menanam salah satu bumbu dapur tersebut.
Uang yang dia pinjam dari Pak Rosadi itu dia gunakan untuk menyewa sawah, nyemplong--membuat tanah sawah untuk media tanam bawang merah, membeli benih, dan membeli obat-obatan. Modalnya ternyata lebih banyak daripada menanam padi. Namun, jika mendengar cerita berapa rupiah yang didapat saat panen, nominal sebesar itu tidak ada artinya.
Persiapan menanam benih berjalan dengan lancar. Anis dan Antok sudah bisa membayangkan berapa pundi-pundi rupiah yang akan dia dapat tiga bulan lagi. Umur bawang merah dari tanam sampai panen kurang lebih sekitar dua hingga tiga bulan.
Hal yang dirasakan Anis adalah, perawatan bawang merah yang membutuhkan tenaga dan dana ekstra. Dia harus selalu diperhatikan dan dimanja. Obat-obatan dan suplemen tidak boleh telat barang sehari. Lama-lama uang yang dia pinjam dari Pak Rosadi habis untuk membeli suplemen si merah dan membayar orang untuk merawatnya. Anis bingung harus dari mana lagi dia mencari tambahan uang, umur bawangnya belum genap dua bulan, tetapi isi dompetnya sudah kembang kempis.
"Mas, kita sudah tidak ada uang lagi untuk membeli obatnya." Anis mengambil amplop coklat yang dulu tempat menyimpan uang yang diperoleh Antok meminjam Pak Rosadi, ia perlihatkan isinya yang hanya tinggal beberapa lembar uang berwarna merah.
"Tapi obatnya tidak bisa lagi ditunda, Nis. Kalau tidak bakalan banyak ulat menyerang nanti," gerutu Antok sembari mengusap wajahnya kasar.
"Dari mana lagi kita mencari, Mas?" tanya Anis frustrasi. Bahkan jika uang itu tetap diambil Antok untuk membeli obat, dia dan anaknya tidak tahu makan apa esoknya.
Antok menyuruh Anis menyimpan sebagian uang tersebut untuk belanja bahan makanan besok. Ia tergopoh pergi keluar rumah dengan sepeda motor laki warna merahnya, entah ke mana ia pergi.
Sekembalinya Antok yang entah dari mana, dia membawa satu kantong plastik hitam. Dia letakkan di atas meja di ruang tengah, lalu pergi ke belakang untuk mandi. Penasaran, Anis mengintip isi dari kantong plastik tersebut. Dahi Anis mengernyit, ia bertanya-tanya dalam benaknya, dari mana suaminya mendapatkan obat-obat itu. Dia ingat salah satu paman Antok yang mengajari Antok menanam bawang merah. Jadi, dia pikir bahwa Antok mendapatkan obat tadi dari sang paman.
Berpikir obat yang didapat suaminya adalah pemberian atau meminjam dari sang paman, Anis urung mempertanyakan asal usulnya kepada sang suami. Dia berpikir pasti mereka bisa mengembalikannya saat menerima hasil panen nanti. Namun, sebenarnya Anis sudah mulai merasa lelah.
Anis meninggalkan tempat itu, pergi ke belakang untuk mengambil handuk di tali jemuran belakang rumah. Suaminya itu pastinya lupa untuk mengambil handuknya. Masuk ke dalam rumah, terdengar suara suaminya memanggil-manggil namanya untuk membawakan handuk. Anis menghela napas lelah, sudah hampir sepuluh tahun usia pernikahan mereka, tapi kelakuan suaminya yang satu ini masih tetap belum berubah.
Hari berlalu hingga tak terasa kurang dari dua minggu Anis dan Antok bisa memanen bawang merahnya. Kemarin mereka lihat di sawah, bawang merah mereka terlihat gemuk-gemuk dan sudah berwarna merah keunguan. Pasti mereka akan panen banyak, hal itu menyulut harapan dan semangat pasangan suami istri tersebut.
Masih di pertengahan September, seharusnya hujan belum bertandang. Namun, awan-awan kelabu yang seolah membawa beban berat merangkak di cakrawala. Sepertinya musim hujan tahun ini datang lebih awal. Anis sudah meyakinkan Antok membeli plastik untuk menutupi hasil panen bawang merah mereka jika hujan turun. Karena biasanya setelah panen, bawang merah yang sudah dicabut dari tanah harus dijemur di bawah sinar matahari dulu beberapa hari agar daun-daunnya kering sehingga mudah untuk diikat nanti.
Lagi-lagi Antok mendapatkan plastik-plastik untuk menjemur itu tanpa meminta uang dari Anis. Wah, baik benar paman Mas Antok ini, plastik pun dia kasih, pikir Anis. Anis menjereng plastik-plastik tersebut di atas empat anyaman bambu sepanjang lima meter yang disangga dengan enam kaki-kaki batang bambu setinggi setengah meter untuk menjemur hasil panen bawang merahnya. Semua sudah mereka persiapkan dengan hati riang.
Namun, manusia hanya bisa mengusahakan dan berharap, hasil akhir ada di tangan Tuhan. Mendung kelabu yang beberapa hari tampak berduyun-duyun menggantung di langit, hari ini memuntahkan isinya. Air hujan pertama di tahun ini yang datang lebih cepat. Anis dan Antok resah memikirkan nasib tanaman mereka karena bawang merah tidak bisa terkena banyak air. Mereka masih berpikir positif, mungkin hujan hanya turun hari ini saja. Semacam hujan kiriman sebelum musim hujan yang sebenarnya datang. Masih sekitar satu dua bulan lagi seharusnya.
Hal yang tak diprediksikan mereka berdua, ternyata hari muram datang setiap hari lebih dari seminggu ini. Pikiran Anis dan Antok ruwet, obat-obatan pun tak mampu menyelamatkan tanaman mereka dari membusuk. Dengan langkah berat, mereka mau tidak mau harus memanen bawang merahnya sekarang, lebih cepat dari tanggal panen yang sudah di tentukan. Jika tidak ingin gagal panen lantaran satu ladang busuk semua.
“Bagaimana ini, Mas? Sebagian besar membusuk brambangnya. Bahkan setelah panen pun tidak bisa dijemur karena tidak ada panas. Setiap hari hujan deras.” Anis menerawang jauh menuju bedengan dari anyaman bambu yang dilapisi plastik di atasnya yang digunakan untuk menjemur bawang merah di depan rumah. Modal yang diusahakan suaminya dengan meminjam kepada rentenir di desanya amblas karena hasil panennya hampir sebagian tidak bisa dijual.
Antok menghela napasnya pasrah, kopi yang disuguhkan istrinya beberapa puluh menit tadi belum disentuhnya. Uap yang tadi mengepul putih sekarang tak terlihat keberadaannya. Dia memikirkan utang yang harus dibayarnya kepada Pak Rosadi berikut bunganya. Dia menjanjikan akan melunasi tiga kali cicilan setiap selesai panen. Belum lagi obat-obatan penunjang bawang merahnya dan tetek bengek yang dia dapat dengan berutang di toko pertanian desa sebelah.
“Mau tidak mau kita harus merelakan sapi dan pedhetnya, Nis,” gumam Antok hilang akal. Satu-satunya cara membayar hutangnya adalah dengan menjual ternaknya. Meskipun harga induk berserta anaknya masih belum bisa menutup semua hutangnya, tapi itu lebih baik daripada dia tidak bisa membayarnya sama sekali.
Anis menghela napas pasrah, tak ada yang bisa diperbuatnya. Ia memikirkan nasib keluarganya setelah ini, terutama anaknya. Dia menyaksikan satu per satu miliknya diambil dari penjagaannya. Ternaknya, sepeda motor yang baru setahun dibelinya, dan sekarang ada surat dari pihak bank yang akan menyita tanah yang telah dijaminkan. Tidak ada lagi yang tersisa. Hanya tersisa rumah tempat keluarganya berteduh dari hujan yang tiada hentinya mengguyur. Seolah mengejek akan nasibnya yang menjadi kacau karenanya, di saat orang lain merasa terberkati oleh kehadirannya.
Hujan masih belum reda, seperti kegundahan hati Anis memikirkan kapan kira-kira rumahnya akan direnggut darinya. Dalam dinginnya udara yang memeluk kulit tubuhnya, Anis berjalan ke belakang rumahnya. Dia menengok kandang yang dulunya ada ternak yang dia rawat, kini kosong. Matanya kosong menatap di mana dulu ikatan tali untuk mencancang sapinya berada.
Anis mendekat, ternyata tali kekang milik sapinya dulu tidak dibawa serta. Mendadak, Anis melihat tali itu sangat indah. Dia berpikir sepertinya bagus jika tali itu ia lilitkan di lehernya. Tanpa ragu, anis memakaikan tali kekang itu ke lehernya sendiri dan menikmati kenikmatan sakit untuk yang terakhir.
Nganjuk, 28 Juni 2022.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI