Namun, manusia hanya bisa mengusahakan dan berharap, hasil akhir ada di tangan Tuhan. Mendung kelabu yang beberapa hari tampak berduyun-duyun menggantung di langit, hari ini memuntahkan isinya. Air hujan pertama di tahun ini yang datang lebih cepat. Anis dan Antok resah memikirkan nasib tanaman mereka karena bawang merah tidak bisa terkena banyak air. Mereka masih berpikir positif, mungkin hujan hanya turun hari ini saja. Semacam hujan kiriman sebelum musim hujan yang sebenarnya datang. Masih sekitar satu dua bulan lagi seharusnya.
Hal yang tak diprediksikan mereka berdua, ternyata hari muram datang setiap hari lebih dari seminggu ini. Pikiran Anis dan Antok ruwet, obat-obatan pun tak mampu menyelamatkan tanaman mereka dari membusuk. Dengan langkah berat, mereka mau tidak mau harus memanen bawang merahnya sekarang, lebih cepat dari tanggal panen yang sudah di tentukan. Jika tidak ingin gagal panen lantaran satu ladang busuk semua.
“Bagaimana ini, Mas? Sebagian besar membusuk brambangnya. Bahkan setelah panen pun tidak bisa dijemur karena tidak ada panas. Setiap hari hujan deras.” Anis menerawang jauh menuju bedengan dari anyaman bambu yang dilapisi plastik di atasnya yang digunakan untuk menjemur bawang merah di depan rumah. Modal yang diusahakan suaminya dengan meminjam kepada rentenir di desanya amblas karena hasil panennya hampir sebagian tidak bisa dijual.
Antok menghela napasnya pasrah, kopi yang disuguhkan istrinya beberapa puluh menit tadi belum disentuhnya. Uap yang tadi mengepul putih sekarang tak terlihat keberadaannya. Dia memikirkan utang yang harus dibayarnya kepada Pak Rosadi berikut bunganya. Dia menjanjikan akan melunasi tiga kali cicilan setiap selesai panen. Belum lagi obat-obatan penunjang bawang merahnya dan tetek bengek yang dia dapat dengan berutang di toko pertanian desa sebelah.
“Mau tidak mau kita harus merelakan sapi dan pedhetnya, Nis,” gumam Antok hilang akal. Satu-satunya cara membayar hutangnya adalah dengan menjual ternaknya. Meskipun harga induk berserta anaknya masih belum bisa menutup semua hutangnya, tapi itu lebih baik daripada dia tidak bisa membayarnya sama sekali.
Anis menghela napas pasrah, tak ada yang bisa diperbuatnya. Ia memikirkan nasib keluarganya setelah ini, terutama anaknya. Dia menyaksikan satu per satu miliknya diambil dari penjagaannya. Ternaknya, sepeda motor yang baru setahun dibelinya, dan sekarang ada surat dari pihak bank yang akan menyita tanah yang telah dijaminkan. Tidak ada lagi yang tersisa. Hanya tersisa rumah tempat keluarganya berteduh dari hujan yang tiada hentinya mengguyur. Seolah mengejek akan nasibnya yang menjadi kacau karenanya, di saat orang lain merasa terberkati oleh kehadirannya.
Hujan masih belum reda, seperti kegundahan hati Anis memikirkan kapan kira-kira rumahnya akan direnggut darinya. Dalam dinginnya udara yang memeluk kulit tubuhnya, Anis berjalan ke belakang rumahnya. Dia menengok kandang yang dulunya ada ternak yang dia rawat, kini kosong. Matanya kosong menatap di mana dulu ikatan tali untuk mencancang sapinya berada.
Anis mendekat, ternyata tali kekang milik sapinya dulu tidak dibawa serta. Mendadak, Anis melihat tali itu sangat indah. Dia berpikir sepertinya bagus jika tali itu ia lilitkan di lehernya. Tanpa ragu, anis memakaikan tali kekang itu ke lehernya sendiri dan menikmati kenikmatan sakit untuk yang terakhir.
Nganjuk, 28 Juni 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H