Hal yang dirasakan Anis adalah, perawatan bawang merah yang membutuhkan tenaga dan dana ekstra. Dia harus selalu diperhatikan dan dimanja. Obat-obatan dan suplemen tidak boleh telat barang sehari. Lama-lama uang yang dia pinjam dari Pak Rosadi habis untuk membeli suplemen si merah dan membayar orang untuk merawatnya. Anis bingung harus dari mana lagi dia mencari tambahan uang, umur bawangnya belum genap dua bulan, tetapi isi dompetnya sudah kembang kempis.
"Mas, kita sudah tidak ada uang lagi untuk membeli obatnya." Anis mengambil amplop coklat yang dulu tempat menyimpan uang yang diperoleh Antok meminjam Pak Rosadi, ia perlihatkan isinya yang hanya tinggal beberapa lembar uang berwarna merah.
"Tapi obatnya tidak bisa lagi ditunda, Nis. Kalau tidak bakalan banyak ulat menyerang nanti," gerutu Antok sembari mengusap wajahnya kasar.
"Dari mana lagi kita mencari, Mas?" tanya Anis frustrasi. Bahkan jika uang itu tetap diambil Antok untuk membeli obat, dia dan anaknya tidak tahu makan apa esoknya.
Antok menyuruh Anis menyimpan sebagian uang tersebut untuk belanja bahan makanan besok. Ia tergopoh pergi keluar rumah dengan sepeda motor laki warna merahnya, entah ke mana ia pergi.
Sekembalinya Antok yang entah dari mana, dia membawa satu kantong plastik hitam. Dia letakkan di atas meja di ruang tengah, lalu pergi ke belakang untuk mandi. Penasaran, Anis mengintip isi dari kantong plastik tersebut. Dahi Anis mengernyit, ia bertanya-tanya dalam benaknya, dari mana suaminya mendapatkan obat-obat itu. Dia ingat salah satu paman Antok yang mengajari Antok menanam bawang merah. Jadi, dia pikir bahwa Antok mendapatkan obat tadi dari sang paman.
Berpikir obat yang didapat suaminya adalah pemberian atau meminjam dari sang paman, Anis urung mempertanyakan asal usulnya kepada sang suami. Dia berpikir pasti mereka bisa mengembalikannya saat menerima hasil panen nanti. Namun, sebenarnya Anis sudah mulai merasa lelah.
Anis meninggalkan tempat itu, pergi ke belakang untuk mengambil handuk di tali jemuran belakang rumah. Suaminya itu pastinya lupa untuk mengambil handuknya. Masuk ke dalam rumah, terdengar suara suaminya memanggil-manggil namanya untuk membawakan handuk. Anis menghela napas lelah, sudah hampir sepuluh tahun usia pernikahan mereka, tapi kelakuan suaminya yang satu ini masih tetap belum berubah.
Hari berlalu hingga tak terasa kurang dari dua minggu Anis dan Antok bisa memanen bawang merahnya. Kemarin mereka lihat di sawah, bawang merah mereka terlihat gemuk-gemuk dan sudah berwarna merah keunguan. Pasti mereka akan panen banyak, hal itu menyulut harapan dan semangat pasangan suami istri tersebut.
Masih di pertengahan September, seharusnya hujan belum bertandang. Namun, awan-awan kelabu yang seolah membawa beban berat merangkak di cakrawala. Sepertinya musim hujan tahun ini datang lebih awal. Anis sudah meyakinkan Antok membeli plastik untuk menutupi hasil panen bawang merah mereka jika hujan turun. Karena biasanya setelah panen, bawang merah yang sudah dicabut dari tanah harus dijemur di bawah sinar matahari dulu beberapa hari agar daun-daunnya kering sehingga mudah untuk diikat nanti.
Lagi-lagi Antok mendapatkan plastik-plastik untuk menjemur itu tanpa meminta uang dari Anis. Wah, baik benar paman Mas Antok ini, plastik pun dia kasih, pikir Anis. Anis menjereng plastik-plastik tersebut di atas empat anyaman bambu sepanjang lima meter yang disangga dengan enam kaki-kaki batang bambu setinggi setengah meter untuk menjemur hasil panen bawang merahnya. Semua sudah mereka persiapkan dengan hati riang.