Wisata warisan budaya (heritage tourism) tidak bisa hanya dilihat sebagai turis yang mengunjungi objek wisata warisan budaya, atau bahkan lebih sederhana lagi sebagai bangunan tua yg dikemas untuk dikunjungi pelancong. Turis yang benar-benar dapat dikategorikan sebagai wisatawan warisan budaya memiliki apresiasi dan keterikatan dengan tempat yang dikunjunginya. Oleh karena itu, jenis wisata ini juga beririsan dengan peziarahan yang masuk ke ranah wisata religi. Bagaimana dengan Borobudur? Â
Dari sudut pandang keagamaan, kompleks Candi Borobudur adalah kompleks bangunan suci umat Buddha, yang fungsinya masih sebagai sebuah monumen suci. Apresiasi umat Buddha terhadap Borobudur sangat tinggi, terlihat dari antusias umat Buddha Indonesia tatkala menggelar upacara detik-detik peringatan Trisuci Waisak yang diperingati setiap tahun. Selain itu, peziarahan para biksu thudong yang berjalan kaki ratusan kilometer menuju Borobudur adalah bukti betapa pentingnya Borobudur bagi umat Buddha, tak hanya dari Tanah Air namun juga dari mancanegara. Dari sisi religius inilah pemasangan chattra menemukan relevansinya.
Kunjungan ke Borobudur oleh umat Buddha yang dimaksudkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, adalah wisatawan dalam konteks wisata religi ini. Memang, potensi jumlah kunjungannya cukup besar. Jika kita merujuk pada pendapat Poria et al. (2003), bahwa ada perbedaan antara wisatawan yang mengunjungi bangunan warisan budaya (tourists at heritage places) dan wisatawan warisan budaya (heritage tourists), maka pemasangan chattra Borobudur relevan dengan karakteristik wisatawan yang dimaksudkan Sandiaga Uno. Apabila para wisatawan yang datang ke Borobudur adalah mereka yang memang "hanya mengunjungi Borobudur" seperti kategori Poria et al. (2003) tersebut, pemasangan chattra pun dapat dilihat sebagai sebuah tambahan atraksi. Memang, dari sudut pandang ini, pariwisata sepenuhnya mengabaikan unsur kelestarian bangunan candi dan keresahan para akademisi dan arkeolog. Â
Kontroversi pemasangan chattra di kemuncak stupa utama Candi Borobudur sekali lagi adalah sebentuk tegangan antara konservasi warisan budaya dan pariwisata, yang memang tidak selalu selaras. Namun demikian, pendapat para akademisi dan arkeolog harus didengarkan karena bagaimana pun konservasi warisan budaya adalah lebih tinggi ketimbang mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan dari sebuah warisan budaya dunia melalui turisme. Setidaknya, kita harus memberikan kesempatan para arkeolog membuat kajian mendalam atas perlu tidaknya chattra tersebut dipasang (kembali) di Candi Borobudur. Â Â Â
----Â
Pustaka:Â
Poria, Y., Butler, R., & Airey, D. (2003). The core of heritage tourism. Annals of tourism research, 30(1), 238-254.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H