Beberapa hari ini kontroversi pemasangan atau penambahan chattra di puncak stupa utama candi Borobudur mengemuka di ruang-ruang diskusi, kanal berita daring, dan tentu saja media sosial. Chattra adalah struktur berbentuk payung yang menjadi bagian penting dalam simbolisme agama Buddha. Keberadaannya menjadi sangat penting dalam ritus agama Buddha. Hal ini diungkapkan Bhiksu Bhadra Ruci Mahasthavira, Ketua Biara Indonesia Tusita Vivaranacarana Vijayasraya seperti dilaporkan laman kompas.com (12/09).Â
Chattra Candi Borobudur adalah struktur bangunan menyerupai payung yang akan dipasang tepat di puncak utama stupa, di lantai paling atas Candi Borobudur. Yang kita bisa tahu adalah bahwa Kementerian Agama berinisiatif memasang chattra di kemuncak Candi Borobudur.Â
Namun, sebagian arkeolog di Tanah Air tak setuju pemasangan chattra. Sebagian yang lain menghendaki adanya kajian yang mendalam terkait tambahan pada stupa Borobudur tersebut. Tulisan singkat ini tak akan membahas chattra dari sudut pandang arkeologis, namun akan difokuskan pada aspek pariwisatanya. Pertanyaan utamanya tents saja adalah apa relevansi chattra Borobudur bagi pariwisata di kawasan UNESCO World Heritage tersebut?
Pariwisata berkepentingan dengan Candi Borobudur karena monumen Buddha terbesar di dunia tersebut sudah sejak lama dikenal sebagai objek wisata, terutama wisata massal dan akhir-akhir ini wisata religi. Sementara itu, Candi Borobudur dan Candi Prambanan juga menyandang status sebagai warisan budaya dunia yang secara resmi ditetapkan Badan Pendidikan dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Irisan antara konservasi cagar budaya dan pariwisata terkadang tidak selalu mulus.Â
Di satu sisi pariwisata menargetkan kunjungan wisata sebanyak-banyaknya (minimal yang selaras dengan apa yang diersyaratkan oleh UNESCO). Di pihak lain, konservasi Candi Borobudur sebagai sebuah warisan dunia tentu harus menjadi prioritas utama. Trade-off antara kepentingan pariwisata dan konservasi inilah yang terus menjadi tegangan, termasuk dengan kontroversi isu pemasangan chattra, yang oleh pemerintah, sebagai salah satu pemangku kepentingan pariwisata tingkat nasional, memang nampaknya didukung.
Kanal berita kompas.com (13/09) memberitakan bahwa setidaknya dua kementerian yang secara substantif menyetujui pemasangan chattra di puncak stupa utama, yakni Kementerian Agama, dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Krearif (Kemenparekraf). Khusus Kemenparekraf, Menteri Sandiaga S. Uno secara  eksplisit mengutarakan apresiasinya atas rencana pemasangan chattra Borobudur.Â
Menurutnya, ini akan menjadi sebuah "peluang luar biasa dari wisata religi" di kawasan Candi Borobudur. Menprekraf juga menekankan bahwa segala infrastruktur dan fasilitas penunjang kepariwisataan di kawasan Candi Borobudur, yang merupakan kawasan destinasi super prioritas, sudah siap. Bahkan, dengan dipasangnya chattra, Menparekraf yakin kunjungan dua juta wisatawan ke Borobudur akan mudah dicapai.
Dari perspektif pariwisata, pandangan Menparekraf tentu dapat dipahami karena sesungguhnya memang raison d'etre pembangunan pariwisata adalah ekonomi. Dari sudut pandang ini, pemasangan chattra dilihat sebagai penambahan elemen atraksi pada sebuah objek yang sudah begitu dikenal.Â
Logikanya, jika ada sesuatu yang baru, yang menarik, maka itu akan menambah daya tarik. Akibatnya, kunjungan meningkat. Lalu apakah seperti itu saja logika kunjungan ke sebuah cagar budaya bernilai sangat tinggi seperti Candi Borobudur? Jawaban singkatnya adalah: jika "mazhab" yang diikuti adalah wisata massal, maka jawabannya adalah ya! Namun, kunjungan ke sebuah kawasan cagar budaya memang tidak sesederhana itu.
Ditilik dari sudut pandang kajian kepariwisataan warisan budaya (heritage tourism), visitasi ke sebuah objek wisata warisan budaya, seperti candi, bangunan suci, atau bangunan peninggalan zaman kolonial, erat kaitannya dengan persepsi pengunjung yang merasa terikat dengan tempat yang mereka kunjungi (Poria et al., 2003).Â