Mohon tunggu...
Pontjo Utomo
Pontjo Utomo Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Jakarta. Suka travelling dan olah raga....Khalash!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sistem di Indonesia dan Dampaknya di Luar Negeri

18 Februari 2014   18:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:42 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillah...Segala Puji Bagi Allah Rob Semesta Alam, shalawat dan salam smg tercurah kpd Nabi SAW.


Kali ini saya mau berbagi pengalaman kepada saudara2 setanah air dan kirim usulan kepada pemerintah Indonesia.


Sudah sepuluh tahun terakhir ini saya bermukim di luar negeri. Beberapa pengalaman yg unik telah cukup banyak kami alami selama sepuluh tahun terakhir ini menjelajah beberapa negara di luar Indonesia. Maksud saya dengan tulisan ini saya ingin juga memberikan usulan2 yang berharga kepada pihak pemerintah Indonesia, agar memperbaiki sistem administrasinya di dalam negeri, sehingga tidak menimbulkan problema bagi rakyatnya yang merantau ke luar negeri dan orang2 yg pernah tinggal di Indonesia.


Sudah menjadi budaya di Indonesia, di beberapa suku lain selain Batak/Ambon/Menado, apabila memberi nama anak, maka tidak dicantumkan nama ayah atau father's name atau family name di dokumen seperti Ijazah atau Passport. Hal ini terjadi dengan kami, ketika kami akan mendaftarkan anak2 kami ke sekolah di Australia. 3 anak kami yg akan sekolah di sana memiliki nama belakang yg berbeda, maka si admin staff bertanya kpd saya:"Maaf, apakah anak2 anda berasal dari Ayah yg berbeda-beda? Soalnya tidak satupun nama belakang mereka sama dengan nama anda...". Saya sempat shock juga ditanya begitu, namun saya menjelaskan kpd dia bhw di Indonesia, byk keluarga atau masyarakat yg menamakan anak2 mereka seprti itu. Ketika staff tersebut melihat akte kelahiran anak2 saya, barulah dia faham bahwa anak2 saya adalah benar anak kandung yg lahir dari ayah dan ibu yg sama. He..he...senep juga hati ini ketika ditanya bahwa anak2 saya adalah anak2 orang lain, bukan anak2 kandung saya..


Kasus berikutnya, ketika saya hendak mengurus surat berkelakuan baik (SKCK) dari kepolisian di Mabes POLRI dari luar negeri. Ketika saya tanya sana sini dan browsing di Internet, tidak ada satupun informasi yg saya temukan yang mengatakan bisa mengurus Surat Kelakuan Baik dari luar negeri, kecuali harus datang ke kantor polisi di Indonesia di mana kita berdomisili. Hal ini jelas2 menyusahkan para WNI yg bermukim di luar negeri dan juga para expatriate yg pernah bermukim di Indonesia. Sekiranya tinggal di Timur Tengah saja, berapa ongkos tiket pesawat yg mesti dikeluarkan? Hanya utk secarik kertas surat kelakuan baik? Sementara surat kelakuan baik saya dari Australia, bisa diproses dari luar negeri. Tinggal download form dari website kepolisian Australia, isi formnya dan kirim via post form dan ongkos pembuatannya. Selesai. Tinggal kasih tahu, kemana harus dikirim certificate-nya. Beres.


Berikutnya masalah Surat Izin Mengemudi (SIM) atau Driver License. Kalau di Bahrain SIM Indonesia masih diakui dan bisa langsung dirubah ke SIM lokal tanpa tes teori dan praktek. Bergerak sedikit ke Qatar, maka SIM Indonesia sudah tidak lagi dipercaya, pemegangnya mesti ikut driving school dan mesti lulus di practical driving test di jalanan betulan. Kalo di Australia, SIM Indonesia pd thn2 sebelum 2004-2005 masih bisa diubah langsung ke SIM lokal di sana, namun belakangan di website Western Australia State Transportation Depratment, di situ disebutkan bhw pemegang SIM Indonesia dan Bangladesh mesti melampirkan surat dari Embassy masing2 menyatakan bhw SIM tersebut adalah asli. Kemudian baru dibolehkan ikut test teori dan ujian praktek. Jadi orang Australia sudah tdk percaya lagi dgn sistem SIM di Indonesia, skill mengemudinya diragukan dan mesti belajar driving dulu di driving school shg tahu aturan lalu lintas di sana...Harap dicatat bhw utk lulus test mengemudi di Australia bukan perkara mudah. Salah sedikit saja si instructor langsung menggagalkan kita...


Berikutnya tentang sertifikasi institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Ketika saya sampai di Bahrain, si employer tanya kpd saya, apakah saya adalah lulusan dari perguruan tinggi yg terakreditasi oleh pemerintah? Saya katakan iya, karena saya alumni salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Terus employer tanya, mana buktinya? Sampai di sini saya gelagepan, krn memang tidak ada website berbahasa Inggris yg mengeluarkan peringkat2 akreditasi perguruan tinggi di Indonesia. Kebetulan ada kesempatan jemput keluarga ke Indonesia, maka sy ambil itu hasil akreditasi perguruan tinggi saya dan sy terjamah ke bhs Inggris. Bermodalkan ini saja saya kasih ke employer, akhirnya dgn berat hati employerpun mau menerima itu.

Beberapa usulan utk pengelola negeri kita.


Dlm proses pembuatan passport, ada baiknya mencontoh Malaysia, India atau Pakistan. Passport Pakistan akan menyebutkan nama orang tua si passport holder dan juga nama suami/istri bila si pemegang passport itu telah menikah. Usulan selanjutnya, ada baiknya menghimbau warga negara indonesia agar mencantumkan nama ayah/father's name di akte kelahiran di belakang nama yg diberikan. Jangan ada orang Indonesia yg namanya cuman satu semacam Soeharto, Soekarno, atau apapun. Di Saudi Arabia, mereka yg namanya cuman satu tidak akan diberi Visa utk Umrah/Haji. Repot kan?


Dalam hal penerbitan Surat Kelakuan Baik (SKCK) atau Police Clearance. Seharusnya pemerintah/Kepolisian Indonesia belajar dari byk negara lain, contohnya Australia. Dgn hanya mengirimkan form yg telah diisi dan ongkos yg ditetapkan, maka siapapun yg pernah mukim di Australia baik itu warga Australia ataupun Warga Asing, bisa mendapatkan Police Clearance tanpa harus ke Australia. Ini mesti segera diterapkan karena menyangkut kepentingan byk orang. Tdk hanya warga Indonesia yg mukim di luar negeri tapi juga WNA yg pernah tinggal di Indonesia beberapa waktu, shg gak perlu balik ke Indonesia utk mengurus ini SKCK.


Berkenaan dgn SIM, dgn tidak diakuinya SIM Indonesia di Australia dan beberapa negara asing, sebetulnya ini mencerminkan ketidakpercayaan negara2 asing dgn sistem perolehan SIM di Indonesia. Orang2 asing sudah tahu, bhw kalu mau ambil SIM di Indonesia bisa "nembak" tanpa test teori dan tes driving. Bangunlah sistem yg baik sehingga orang dpt SIM dgn pengetahun teori dan praktek mengemudi yg memadai. Jangan asal2 seperti sekarang ini...di luar negeri akhirnya direndahkan oleh bangsa lain. Jangankan diakui skill nyetirnya, keasliannyapun diragukan, krn mungkin byk SIM2 palsu yg beredar di Indonesia dan ini diketahui oleh pemerintah Australia.


Lebih jauh, SIM di Indonesia tidak menampilkan tanggal pertama SIM dikeluarkan dan tidak ada bhs Inggrisnya. Shg misalnya SIM baru di-renew 1 tahun, ketika dibawa ke luar negeri, kita dianggap driver yg punya pengalaman nyetir 1 tahun, pdhal kita sudah nyetir puluhan tahun. Ini akan mempengaruhi jenis driver license yg akan diberikan di luar negeri semisal di Australia.

Musti ada lembaga semisal BAN yg mengakreditasi perguruan2 tinggi di yg menampilkan hasil akreditasi perguruan tinggi di seluruh Indonesia dan mesti berbahasa Inggris serta bisa diakses dari Internet. Betapa byk peluang kerja di luar yg bisa diisi oleh talenta2 terbaik Indonesia. Namun krn pihak luar "meragukan" sistem pendidikan tinggi di Indonesia...ya akhirnya jarang ada professional Indonesia di luar negeri terutama di Middle East yg di-hire oleh orang Arab, sementara ini yg byk professional datang dari India dan Pakistan saja di Middle East.

Lebih jauh, byk negera2 di dunia ini yg tdk membolehkan pemegang passport Indonesia utk datang ke sana dengan Visa on arrival (VOA). Hal ini mencerminkan keadaan negara kita, yg secara implisit dikatakan tidak bonafide oleh negara lain sehingga kalo mau masuk negara lain mesti apply visa di Embassy negara yg dituju, dilihat dulu punya duit ato nggak, terlibat terorism ato nggak bla..bla..bla..baru setelah 2 minggu mungkin baru dikasih Visa kalo clear datanya. Hatta, negara sekecil Bangladesh tidak lagi memperbolehkan orang Indonesia untuk datang ke sana mengguanakan VOA. Dulu thn 1999 sih saya masih bisa masuk Bangladesh dgn VOA, tapi belakangan...Hmm, Bangladesh-pun meragukan kredibilitas penduduk Indonesia....


Begitulah sedikit pengalaman kami wira-wiri sana-sini dgn identitas sbg orang Indonesia. Sebuah negeri yg "sepatutnya" makmur, gemah ripah loh jinawi, jamrud khatulistiwa, bermartabat dlsb...telah direndahkan martabatnya oleh rekan2 nya manusia dari negara2 lain..Sungguh miris. Semoga menjadi bahan masukan bagi para pengelola negara Indonesia. Mari bangun Indonesia..!


Subhanallahi Wabihamdihi Subhanaka Allahumma Wabihamdika Asyhadu Allaa ilaaha Illallahu Astaghfiruka Wa Atuubu Ilaihi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun