Tulisan di http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2011/02/09/Opini/krn.20110209.226563.id.html yang ditulis oleh seorang dosen salah satu universitas ternama berlabel Islam, terus terang bikin saya tersenyum  membacanya. Di dalam opininya sang penulis mengajak pembaca untuk melihat sejarah Islam yang telah memberikan ruang bagi perbedaan paham dalam soal akidah.
Penulis artikel menengok bagaimana para pendukung Sayidina Ali dan para pendukung Sayidina Usman saling mengkafirkan, saling mengeluarkan mereka dari Islam. Padahal mereka semua para pengikut setia Nabi. Mereka berebut pengaruh.
Sejarah menunjukkan bahwa fitnah yang terjadi di masa kedua khalifah itu muncul akibat tumbuhnya pemikiran baru yang tidak sepaham dengan akar Islam semula. Di antara Ali ibn Abi Thalib dan Utsman ibn Affan tidak ada perselisihan, bahkan mereka berdua berlepas tangan dari kelompok-kelompok yang mengaku-aku mendukung mereka. Jadi tuduhan penulis artikel bahwa kedua sahabat Rasulullah itu berebut pengaruh adalah tidak berdasar (kalau tidak boleh dibilang menghina).
Penulis artikel kemudian menengok perdebatan besar para ulama Asyariah (baca: Asy'ariyah) dan Mu'tazilah tentang hakikat wahyu atau Al-Quran, apakah ia kekal (qadim) atau baru (hadis).
Keduanya adalah pemahaman yang lebih mengedepankan akal (logika) dan ilmu kalam (filsafat) daripada wahyu dan sunnah Rasulullah dalam memahami Islam. Bagaimanapun besarnya perdebatan di antara mereka ternyata pemahaman keduanya sepakat pada pernyataan bahwa Al-Quran adalah diciptakan, perbedaannya hanya pada definisi sifat Allah "yang berbicara". Sementara itu ulama Ahlus Sunnah, Imam Ahmad ibn Hanbal yang bersikukuh kepada pemahaman bahwa Al-Quran adalah firman Allah, menjadi salah satu korban kelaliman penguasa saat itu dan harus mendekam di dalam siksaan penjara.
Penulis artikel juga menengok tentang adanya ulama besar tasawuf, seperti Yazid Albustami (baca: Abu Yazid Al-Bustami) atau Al-Hallaj, yang punya ungkapan ganjil bagi awam umat Islam ketika mengatakan, misalnya, "tidak ada Tuhan selain Aku"; "Aku adalah Tuhan", dan seterusnya.
Tasawuf adalah pemahaman yang berlebih-lebihan dalam hal zuhud dan ibadah, terpengaruh oleh ajaran kependetaan nasrani, hindu dan buddha. Abu Yazid Al-Bustami adalah tokoh sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa' untuk mencapai ittihad dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti). Diikuti oleh Al-Hallaj yang mengaku sebagai Tuhan dan diakui oleh pengikutnya. Oleh karena pemahaman  ini ia dikafirkan, dibunuh dan disalib oleh penguasa saat itu.
Penulis artikel mengungkapkan bahwa itu semua wilayah akidah dan, karena itu, beda paham dalam soal akidah juga biasa saja. Dan semuanya (dibolehkan) berdasarkan atas otoritas keulaman mereka.
Dengan pernyataan ini juga penulis artikel seakan sepakat bahwa perbedaan akidah dibolehkan dalam Islam. Padahal akidah adalah sesuatu yang amat mendasar dalam menjalankan agama. Akidah Islam dibangun di atas Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para Sahabat Rasulullah sebagai generasi terbaik umat Islam. Ibarat bangunan, apapun yang dibangun di atas pondasi yang sama masih dapat dikatakan sebagai satu bangunan. Namun sesuatu yang dibangun di atas pondasi yang berbeda tentu ialah bangunan yang lain. Begitupun akidah, jika sudah berbeda, maka ia bukan lagi Islam.
Jika akidah Islam mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan tidak ada nabi sesudahnya, sedangkan pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad mengaku-aku bahwa dirinya adalah seorang nabi.
Penulis artikel menuding para ulama bernafsu mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam dengan memonopoli arti dan makna Islam itu, sehingga paham yang lain harus dimusnahkan. Padahal tanpa perlu dikeluarkan dari Islam, Ahmadiyah dengan sendirinya  bukan Islam.
Lebih dari itu, penulis menganggap para ulama berhasil menciptakan ketakutan di seantero negeri. Padahal boleh jadi justru media yang berhasil mengangkat sudut pandang yang mengerikan dan membuat teror.
Saya sendiri sangat tidak sepakat dengan pelegalan tindakan kriminal untuk menendang Ahmadiyah keluar dari Islam, dan juga saya lebih tidak sepakat jika model Ahmadiyah maupun aliran-aliran sesat lainnya tetap menghubung-hubungkan diri dengan Islam.
Boleh jadi jika ia diakui sebagai agama tersendiri, sebagaimana pernah diterapkan kepada agama Kong Hu Cu, atau dikategorikan ke dalam aliran kepercayaan. Di sinilah diperlukan kebijakan dan upaya penguasa (baca: pemerintah) yang diharapkan mampu menaungi masyarakat untuk tetap hidup damai berdampingan. Mudah-mudahan persinggungan agama dapat diminimalisasi sehingga kekhawatiran penulis artikel akan kuasa umat yang menakut-nakuti seantero negeri dapat ditepis. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H