Hening malam menyelimuti kamar kecil Rani yang temaram oleh cahaya lampu meja. Di tengah keheningan itu layar ponselnya bersinar dan menarik perhatiannya. Sebuah notifikasi dari Instagram muncul dengan nama akun asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Hai, Rani. Aku suka banget sama tulisan-tulisan kamu di feed. Inspiratif banget.
Rani membaca pesan itu perlahan, alisnya sedikit terangkat. Dia memang sering membagikan puisi dan renungan singkat di media sosialnya tapi jarang ada yang berani mengiriminya pesan seperti ini. Penasaran, ia membuka profil pengirim pesan. Foto-foto pemandangan alam yang menyejukkan mata, beberapa potret buku, dan unggahan tentang kopi memenuhi feed-nya.
Kayaknya orang ini suka baca juga, pikir Rani sambil mengetikkan balasan singkat.
"Terima kasih . Kamu juga suka menulis?"
Balasan itu hanya berselang beberapa menit. "Iya, aku suka menulis, meskipun nggak sebagus kamu. Aku lebih suka mengamati orang lain yang berbakat kayak kamu."
Rani tersenyum kecil membaca kalimat itu. Ada nada pujian yang terasa tulus tapi tidak berlebihan. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa sebenarnya orang di balik akun ini. Tapi rasa penasarannya belum cukup besar untuk langsung bertanya.
Percakapan malam itu terus berlanjut. Dari sekadar membahas puisi hingga berbagi rekomendasi buku, film, bahkan cerita ringan tentang keseharian. Rani merasa nyaman seperti menemukan teman lama yang kembali muncul di hidupnya.
"Eh ngomong-ngomong, nama kamu siapa? Masa aku manggilnya pakai username?" tulis Rani, setengah bercanda.
Butuh beberapa saat sebelum balasan itu muncul. "Namaku Ardi. Maaf ya, tadi lupa kenalan dulu. Kamu pasti Rani, kan?" Rani tersenyum lagi, kali ini sambil menggeleng pelan. "Ya iyalah, kan nama aku di bio. Oke Ardi, senang kenal kamu."
Malam itu percakapan berakhir menjelang dini hari. Rani tertidur dengan senyum kecil di wajahnya. Entah kenapa kata-kata Ardi terasa hangat dan menenangkan, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
Hari-hari berikutnya, percakapan di DM itu semakin rutin. Ardi selalu punya cara untuk membuat Rani tersenyum, entah lewat cerita lucu atau sudut pandangnya yang unik tentang berbagai hal.
"Rani, sudah malam. Kamu belum tidur?" suara Wiwin, teman sekamarnya, terdengar lembut dari balik pintu. Rani bergegas menyembunyikan layar ponsel di bawah bantal. "Belum, Win. Masih baca tugas."
Wiwin masuk sambil membawa segelas susu hangat. "Ini buat kamu. Besok kita ada rapat organisasi, kan? Jangan sampai kamu kesiangan." Rani tersenyum kecil, menerima gelas itu. "Makasih, Win. Kamu memang paling perhatian."
Wiwin hanya tertawa kecil sebelum kembali ke tempat tidurnya. Tapi perhatian Wiwin tidak hanya sampai di situ. Pagi harinya, ia memperhatikan Rani yang tampak sibuk dengan ponselnya sepanjang sarapan. "Kayaknya kamu lagi deket sama seseorang, ya?" goda Wiwin.
Rani nyaris tersedak. "Apaan sih, enggak kok!" Namun, rona merah di pipinya tidak bisa disembunyikan. Hal ini juga tidak luput dari perhatian teman-teman organisasi mereka.
"Rani, ceritain dong, siapa yang bikin kamu senyum-senyum sendiri," kata Kiki saat mereka duduk di ruang rapat. Deny yang sedang mengatur proyektor, ikut menimpali, "Fix, Rani pasti lagi PDKT. Jangan lupa undang kami di akadnya nanti!"
Rani mendengus, mencoba mengalihkan pembicaraan. Tapi Rusdi, teman dekatnya yang terkenal paling jahil, langsung menyambar ponsel Rani dari meja. "Eh, sini! Aku cek dulu siapa pelakunya."
"Rusdi! Balikin!" Rani berusaha merebut ponselnya tapi Rusdi lebih cepat. Ia mengintip layar dan membaca sepintas pesan-pesan di DM Instagram. "Wah, namanya Ardi, ya? Siapa dia, Rani?" goda Rusdi.
Rani akhirnya berhasil merebut kembali ponselnya dan wajahnya merah padam. Ia hanya menggeleng sambil mencoba mengabaikan mereka. Namun dari kejadian itu, Wiwin, Kiki, Deny, dan Rusdi jadi penasaran dengan sosok Ardi. Mereka berulang kali menggodanya untuk cerita. Akhirnya di suatu sore, Rani menyerah dan mulai bercerita tentang Ardi.
"Dia nggak jauh beda sama kita," kata Rani sambil menyeruput kopi. "Dia suka baca, nulis, dan sepertinya orangnya baik."
"Tapi kamu belum pernah ketemu, kan?" Wiwin bertanya hati-hati. "Belum," Rani mengaku. "Tapi dia ngajak ketemu. Aku masih bingung."
"Menurutku, nggak ada salahnya ketemu tapi ajak teman biar aman," saran Kiki.
"Iya, kita temani kamu," tambah Deny sambil mengangguk mantap. "Siapa tahu dia beneran orang baik."
Setelah berpikir panjang, Rani akhirnya setuju. Mereka memutuskan untuk menemani Rani saat pertemuan pertama dengan Ardi di sebuah kafe di pusat kota. Namun hari yang mereka tunggu-tunggu itu justru membawa kejutan tak terduga, Ardi gak jadi datang.
Senja mulai jatuh di ujung langit ketika Rani duduk di balkon kecil kamarnya, menikmati sisa cahaya keemasan yang memantul di gedung-gedung kota. Di tangannya, ponsel itu terasa seperti jendela kecil yang menghubungkannya dengan dunia luar. Dunia yang lebih hidup, penuh obrolan dan cerita orang-orang dari berbagai tempat.
Rani kini bekerja sebagai desainer grafis lepas yang sering berinteraksi lewat media sosial ketimbang bertemu langsung. Pekerjaannya yang fleksibel membuatnya bisa berjam-jam scrolling media sosial, menikmati cerita, karya, atau sekadar komentar lucu dari akun yang ia ikuti.
Ada satu akun yang selalu membuatnya tersenyum diam-diam: @ardiputra_17.
Ardi, sosok pemilik akun itu, sering membagikan foto-foto pemandangan alam dengan caption yang dalam dan menenangkan. Rani bahkan tak ingat kapan tepatnya ia mulai mengikuti akun itu tapi setiap unggahan Ardi selalu terasa spesial. Kata-katanya sederhana namun berhasil menyentuh hati.
Suatu malam Rani memutuskan untuk mengirim pesan singkat lewat DM (Direct Message). Jari-jarinya sempat ragu di atas keyboard namun akhirnya ia memberanikan diri.
"Fotomu yang terakhir indah sekali. Sunrise di puncak Bromo ya? Aku suka caption-nya juga." Pesan terkirim. Rani menarik napas dalam.
"Ah, mungkin nggak akan dibalas," gumamnya. Ia tahu Ardi memiliki ribuan pengikut dan pasti banyak juga yang mengirim pesan seperti dirinya. Namun beberapa menit kemudian sebuah notifikasi muncul.
@ardiputra_17 membalas pesanan Anda.
Jantung Rani berdebar. Dengan cepat ia membuka DM itu.
"Iya, itu di Bromo. Pemandangannya keren banget. Kamu suka sunrise juga? Terima kasih, ya!"
Rani tersenyum lebar. Rasanya seperti sebuah kemenangan kecil. Dari pesan yang ke sekian, obrolan mereka terus berlanjut. Awalnya hanya sesekali membahas foto-foto Ardi dan tempat-tempat yang pernah ia kunjungi. Namun semakin hari, percakapan mereka semakin dalam. Ardi bercerita tentang kegemarannya mendaki gunung, kecintaannya pada fotografi, serta keinginannya untuk menjelajahi lebih banyak tempat di Indonesia.
Rani mulai terbuka tentang pekerjaannya sebagai desainer grafis dan kesukaannya pada seni. Mereka sering berbagi karya, Rani dengan desainnya dan Ardi dengan foto-fotonya. Ardi bahkan pernah berkata, "Desainmu itu seperti seni yang hidup. Kayak bikin orang nggak bisa berhenti lihat."
Kata-kata itu membuat Rani merasa dihargai. Ada sesuatu tentang Ardi yang membuatnya nyaman. Meski mereka belum pernah bertemu, Rani merasa mengenal pria itu lebih dalam daripada banyak orang di sekitarnya.
Hingga suatu malam, Ardi mengirim pesan yang mengejutkan Rani.
"Rani, aku akan ke Jogja minggu depan. Ada acara kantor di sana. Mungkin kita bisa ketemu? Kalau kamu mau, sih."
Mata Rani membelalak. Jantungnya berdebar kencang. Selama ini, ia tak pernah berpikir bahwa hubungan mereka yang terjalin lewat DM akan sampai ke pertemuan nyata. Setelah menenangkan dirinya, Rani mengetik balasan.
"Aku mau. Kabarin aja kapan kita bisa ketemu."
Sejak saat itu, Rani tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Ia mulai membayangkan bagaimana sosok Ardi di dunia nyata. Apakah ia akan seseru seperti di DM? Apakah mereka akan merasa canggung? Pertanyaan itu terus mengganggunya.
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Rani memilih kafe kecil di sudut Malioboro, tempat yang cukup tenang untuk pertemuan pertama mereka. Ia mengenakan dress sederhana berwarna pastel, berharap penampilannya cukup baik.
Tak lama kemudian, seorang pria datang dengan senyum ramah. "Rani?" tanyanya pelan. Rani mendongak dan di hadapannya berdiri sosok yang selama ini hanya ia kenal lewat layar ponsel. Ardi dengan kemeja flanel biru dan kamera tergantung di lehernya, tampak seperti apa yang ia bayangkan. Ramah, sederhana, dan menenangkan. "Ardi?" jawab Rani dengan senyum gugup.
Ardi tertawa kecil. "Akhirnya ketemu juga ya. Kamu terlihat lebih cantik daripada di foto profil." Pipi Rani merona. "Kamu juga nggak kalah keren dari foto-foto di Instagram."
Percakapan mereka mengalir begitu saja seperti dua teman lama yang baru bertemu kembali. Tak ada rasa canggung dan tak ada jeda yang kaku. Rani merasa nyaman dan semakin yakin bahwa perasaan yang selama ini ia rasakan bukan hanya sebatas kekaguman.
Hari itu mereka menghabiskan waktu berkeliling kota Jogja. Ardi tak pernah lepas dari kameranya dan Rani sesekali menjadi model dadakan di antara pemandangan indah kota itu. Senyum mereka merekah seakan dunia hanya milik berdua.
Saat senja datang, mereka duduk di bukit kecil sambil menikmati pemandangan matahari terbenam. Ardi menatap Rani dalam-dalam dan berkata, "Rani, aku senang akhirnya bisa ketemu kamu. Entah kenapa, dari dulu aku merasa kita nyambung banget."
Rani menatapnya balik dan hatinya berdebar. "Aku juga, Ardi. Kamu spesial buatku."
Ardi tersenyum, lalu mengeluarkan ponselnya. "Satu foto terakhir untuk hari ini?"
Rani mengangguk. Ardi mengambil beberapa foto, lalu menunjukkan hasilnya. "Lihat, Ran. Ini foto favoritku hari ini."
Di layar ponsel itu, terlihat wajah Rani yang tersenyum dengan senja yang indah di belakangnya. "Cantik, kan?" ucap Ardi pelan. Rani hanya tersenyum. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan sekadar pertemuan pertama. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih dari sekadar cinta dalam DM.
Setelah pertemuan di Jogja, hubungan Rani dan Ardi semakin intens. Percakapan mereka yang dulunya sebatas DM kini berlanjut ke panggilan telepon malam hari, video call panjang, dan rencana-rencana kecil untuk bertemu lagi. Rani merasa kehidupannya lebih berwarna dari sebelumnya. Ada Ardi, sosok yang mampu membuatnya tertawa lepas dan merasa dihargai.
Di balik senyum bahagianya, ada satu hal yang selalu membuat Rani gelisah tentang keluarganya. Rani berasal dari keluarga yang cukup konservatif. Ayahnya, Pak Rustam adalah seorang pensiunan guru SMP yang dikenal tegas dan disiplin. Ibunya, Bu Sri seorang ibu rumah tangga yang lembut namun penuh kekhawatiran terhadap anak-anaknya. Rani adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya, Rahmat sudah menikah dan tinggal di luar kota, sementara adiknya, Sari masih kuliah semester akhir.
Suatu malam, ketika Rani sedang sibuk bercakap dengan Ardi lewat telepon, Bu Sri mengetuk pintu kamarnya.
"Rani, Ibu mau bicara sebentar," ucap Bu Sri sambil melongokkan kepala ke dalam kamar. Rani buru-buru menutup panggilan. "Iya, Bu. Ada apa?" tanyanya sambil menyimpan ponsel di atas meja.
Bu Sri duduk di tepi tempat tidur. "Akhir-akhir ini kamu sering senyum-senyum sendiri sambil pegang HP. Kamu lagi dekat sama seseorang, ya?"
Rani terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Bu Sri adalah sosok ibu yang penuh perhatian tapi ia juga cenderung khawatir jika anak perempuannya terlalu cepat percaya pada orang lain apalagi yang dikenal lewat media sosial.
"Bukan apa-apa, Bu. Cuma teman," jawab Rani pelan, berusaha menghindari tatapan ibunya. "Teman atau lebih dari itu?" Bu Sri bertanya lagi. Rani akhirnya menghela napas panjang. "Namanya Ardi, Bu. Kami kenal lewat Instagram, tapi dia baik. Kami sudah pernah ketemu juga di Jogja."
Mata Bu Sri sedikit membulat. "Kenal di Instagram? Rani, kamu yakin orang itu baik? Kamu tahu latar belakangnya?" Rani mengangguk cepat. "Dia pekerja kantoran, Bu. Ardi itu orangnya sopan, bertanggung jawab, dan punya hobi fotografi. Ibu nggak perlu khawatir."
"Kalau gitu, kapan kenalkan dia ke Ibu dan Ayah? Kalau serius, kenapa harus sembunyi-sembunyi?" suara Bu Sri terdengar lembut namun penuh arti. Rani terdiam lagi. Membayangkan mempertemukan Ardi dengan keluarganya bukanlah hal yang mudah. Ayahnya dikenal kaku terhadap laki-laki yang mendekati anak-anak perempuannya. Tapi jika memang Ardi serius, Rani tahu cepat atau lambat hal ini harus dilakukan. "Baik, Bu. Kalau ada kesempatan, aku akan kenalkan Ardi ke Ayah dan Ibu."
Bu Sri tersenyum tipis dan menepuk bahu Rani. "Ibu cuma mau yang terbaik untuk kamu, Nak."
       Beberapa minggu kemudian, Ardi mengirim pesan pada Rani. "Ran, akhir bulan ini aku ke kotamu. Aku ingin ketemu sama orang tuamu. Gimana?" Mata Rani berbinar sekaligus gugup. Ia tidak menyangka Ardi akan seberani itu. Setelah meyakinkan dirinya, Rani pun menyampaikan rencana itu pada orang tuanya.
"Ibu, Ayah, minggu depan ada teman Rani yang mau datang ke rumah. Namanya Ardi. Dia ingin kenalan sama keluarga," ucap Rani saat makan malam. Pak Rustam yang sejak tadi tenang, langsung mengangkat wajahnya. "Teman? Maksud kamu pacar?"
Rani menelan ludah. "Iya, Yah. Aku dekat sama dia."
Pak Rustam meletakkan sendoknya dengan pelan. "Kamu tahu orangnya seperti apa?"
"Insyaallah, baik, Yah. Dia juga kerja di kantor yang jelas," jawab Rani berusaha meyakinkan. Suasana makan malam itu agak tegang tapi akhirnya Pak Rustam mengangguk kecil. "Baik. Suruh dia datang. Ayah mau lihat seperti apa laki-laki itu."
Ardi datang tepat waktu, mengenakan kemeja rapi dengan senyum ramah yang menenangkan. Ia membawa buah tangan sederhana untuk keluarga Rani. Rani memperkenalkannya satu per satu. Ardi bersikap sopan dan berbicara dengan santun terutama kepada Pak Rustam yang tampak serius sepanjang percakapan.
Setelah beberapa jam, suasana mulai mencair. Pak Rustam akhirnya bertanya, "Jadi, apa niatmu dekat dengan anak saya?" Ardi menatap Pak Rustam dengan mantap. "Pak, saya serius dengan Rani. Kalau diizinkan, saya ingin melangkah lebih jauh, membangun masa depan bersama."
Jawaban itu membuat Rani nyaris menahan napas. Pak Rustam terdiam sejenak, lalu akhirnya tersenyum tipis. "Bagus kalau begitu. Tapi buktikan dulu keseriusanmu. Jangan hanya sekadar janji."
"Iya, Pak. Saya akan buktikan," jawab Ardi tegas. Setelah Ardi pulang, Rani mendekati Ayahnya dengan wajah penuh harap. "Gimana menurut Ayah?" tanya Rani pelan.
Pak Rustam menatapnya dan berkata, "Dia laki-laki yang tahu sopan santun. Ayah belum sepenuhnya percaya tapi kalau kamu bahagia, Ayah akan beri dia kesempatan."
Rani tersenyum lega dan matanya berbinar. Baginya, ini awal yang baik. Ardi adalah cinta yang datang lewat DM, namun kini ia berhasil menyentuh kehidupan nyata bahkan mendapat tempat di keluarganya.
Dalam hati, Rani berbisik, "Cinta memang bisa datang dari mana saja, bahkan dari layar kecil di genggaman. Tapi ketika kita yakin dan tulus, cinta itu akan menemukan jalannya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H